Muqoddimah

Materi ini judul aslinya adalah AL IRHABU MINAL ISLAMI FAMAN ANKARO DZALIKA FAQOD KAFARO karya Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aziz (Hafizahullah) dan diterjemahkan oleh akhi Abdulloh Khoir Katsir.

Terorisme dan Radikalisme adalah kata yang sering menghiasi berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik. Bahkan di dalam dialog keseharian umat Islam, maupun non Islam.

Kedua kata ini diakui atau tidak biasanya dialamatkan kepada orang-orang Islam yang benar-benar beristiqomah di atas jalan Islam yang lurus yang mengikuti millah Khalilulloh Ibrahim alaihis salam, yaitu bersikap baro’ (berlepas diri) terhadap orangorang kafir baik dalam bentuk memusuhi maupun membenci mereka, khususnya orang-orang kafir semisal Amerika dan sekutusekutunya yang jelasjelas memusuhi Islam dan kaum muslimin.

(lebih…)


Tanya:

”Adakah benar   mengenai perkataan,  bila belum bisa menjalankan hukum Qishos Jinayah dan Hudud, maka tidak perlu adanya Imam yang didhohirkan, artinya bila sudah ada Imam,  maka segala hukum seperti jinayah, qishos dan had mesti diberlakukan ?”

Jawab:

Tidak  benar  ! Melainkan, yang benar yaitu bilamana kondisi dalam berperang atau sedang berada dalam wilayah yang sedang dikuasai musuh, maka tidak diperbolehkan melaksanakan hukum had (potong tangan). Artinya, bahwa dalam kondisi demikian , maka pelaksanaan hukum potong tangan itu harus ditunda. Jadi, bahwa tidak boleh dilaksanakannya hukum had itu bukan disebabkan belum didhohirkannya Iman, melainkan karena kondisi ketidakmampuan kaum muslimin untuk menguasai keadaan orang  yang dikenai hukum potong tangan itu, bilamana dirinya membelot kepada musuh. Dengan demikian untuk melaksanakan hukum had itu, bila sudah di dalam wilayah yang sudah dikuasai dengan sepenuhnya (de facto).

Abul Qosim Al-Khroqi dalam risalahnya meriwayatkan bahwa Bisyr bin Arthaah menangkap seorang tentara (mujahid) yang mencuri barang miliknya. Dia berkata:” Sekiranya aku tak mendengar sabda Rasulullah Saw, diwaktu perang, tangan-tangan tak boleh dipotong, pasti akan kupotong tanganmu”. (Diriwatkan oleh Abu Daud).

(lebih…)


Tanya:

“Ada yang mengatakan bahwa selama sholat tidak dilarang,  maka tidak perlu berperang. Bagaimanakah jawabannya ?”

Jawab:

  1. “Yang dituju oleh kita bukanlah berperang, tetapi bisa menjalankan hukum-hukum Islam secara kaffah,  sehingga pula memperoleh Keridhoan Alloh SWT. Adapun menegakkan Negara Islam Indonesia sebagai prosesnya. Begitu juga berperang sebagai akibatnya, bila musuh berani menyerangnya. Jadi,  berperang itu bukanlah tujuan, melainkan sekedar mempertahankan hak kita Negara Islam Indonesia !
  2. (lebih…)


Tanya:

“Dalam Kitab Ad Da’wah Ilalloh, Ali bi Hasan Al Atsari hal 89-96, dimana diantaranya Imam Ahmad pernah berkata bahwa yang dikatakan Imam ialah yang seluruh kaum muslimin berkumpul dibawah kepemimpinannya. Dimana masing masing mereka berkata : “Inilah dia Imam”.  Maksudnya, tidak ada artinya mengangkat Imam bila seluruh muslimin tidak mengakui dia sebagai “Imam”. Dengan itu bagaimanakah pandangan pihak NII mengenai perkataan Imam Ahmad tersebut itu ?”

Jawab:

Orang terkadang lalai dalam mencermati sejarah. Hanya berpijak pada kata dan kata tanpa melihat konteks peristiwa, “di jaman apa kata kata tersebut diucapkan ?”

(lebih…)


Ketika engkau seorang diri, menjelang tidur atau seusai sholat, dibalik terali besi atau di tengah pengejaran, atau mungkin di saat-saat terakhir ditembak mati, maka fikirkanlah apa sebenarnya yang engkau cari selama ini? Apa dibalik semua ini? Mengapa engkau rela habiskan uangmu, korbankan kebebasanmu, engkau singkirkan kesenanganmu? Jauh dari keluarga, terpisah dari sanak kerabat, apa yang kau cari dibalik semua itu? Ketenaran? Kepahlawanan? Nama baik? Harta rampasan? Kekuasaan? Jabatan atau apa? Jika kau lakukan semua pengorbanan itu hanya demi nama baik semata, sekedar pujian belaka, atau sekedar decak kagum manusia saja, maka alangkah murahnya engkau menjual diri!

(lebih…)


Kehidupan perjuangan bukanlah kehidupan yang menyendiri dan terpencil, kehidupan perjuangan menyangkut lapangan internasional yang universal. Apalagi pada era globalisasi ini, tidak ada lagi perjuangan yang secara mutlak bisa terpisah sendiri, dunia ini kait berkait satu sama lainnya. Ada karena kesamaan edologi dan politik, ada karena kesamaan kepentingan dan sasaran (seperti zionisme dan salibisme), karena senasib, sekeuntungan dsb dsb. Diatas semua, kesamaan aqidahlah yang harus kita jadikan ukuran dalam membangun ukhuwwah dan menggalang harokah jihadiyyah. Semuanya sudah lazim terjadi, jika mereka membangun ikatan dan kerjasama. Inilah yang dinamakan solidaritas.

Untuk mencari kesetiakawanan ini, setiap mujahid harus pandai-pandai memperkenalkan perjuangannya ke dunia internasional, sehingga bisa bantu membantu dalam hal yang mungkin, menurut pertimbangan sekuriti terutama ‘aqidah’.

(lebih…)


Jika persiapkan diri dan keluarga harus demikian matang bagi seorang mujahid, maka bagaimanakah kasus polygami dalam kehidupan mujahid? Dari sudut laki-laki sendiri, ini tinjauan yang jauh ke depan, bersih dari kehendak, memanfaatkan dalil untuk pemenuhan kepuasan nafsu semata. Polygami dalam kehidupan mujahid, tidak terlepas dari kepentingan perjuangan dan restu pimpinan.

Mengapa untuk menikah lagi perlu idzin komandan segala, bukanlah pernikahan hanyalah urusan pribadi semata? Bagi non mujahid nikah adalah urusan pribadi, tapi tidak demikian halnya bagi pejuang Islam yang tengah berbaris rapat dibawah satu komando jihad.

(lebih…)


Isteri yang baik tak sembarangan menantang suaminya apalagi sampai meminta cerai. Bercerai bukan pekerjaan mainan! Begitu juga suami yang baik tidak sembarangan mengiyakan bila isterinya menuntut cerai, sebab mengiyakan berarti jadilah perceraian itu! Jatuh talak satu!

Bagi para mujahid, perceraian dengan isteri harus dipertimbangkan masak-masak, bisa saja rahasia bocor, gara-gara bekas isteri/suami yang sakit hati karena kasus perceraian.

(lebih…)


Dari pembahasan sebelumnya, terbayang betapa banyaknya dana yang harus dimiliki seorang mujahid, sebab dia tidak sekedar menafkahi diri dan keluarganya, tapi juga membiayai sabilillah yang diperjuangkannya. Setiap saat dia berada dalam kondisi perang (fie waqtil harbi), selalu ada musuh mengintai dan memburunya, dia mesti memiliki daya mobilitias tinggi yakni memiliki kemampuan berpindah-pindah tempat secara cepat. Siap pergi kapan saja, dengan demikian tentunya harus ada dana stand by yaitu dana siaga, yang tidak boleh diganggu, hingga kapan saja diperlukan, tersedia.untuk keperluan mendadak tadi. Belum lagi dengan resiko yang tak terduga, tertangkap musuh misalnya (na’udzubillah min dzalik), mesti dipersiapkan sebelumnya, bagaimana agar perjuangan dan keluarga mujahid yang ditinggalkan bisa tetap survive (bertahan), menghadapi kondisi demikian.

(lebih…)


Kita hidup di masyarakat, setiap mujahid pasti mengenal banyak orang, ada yang akrab, ada yang jadi teman dekatnya, walaupun statusnya hari ini beda dengan dirinya. Ia tengah bersungguh-sungguh di jalan jihad, sedang kawannya hanya rakyat biasa, mungkin kawan semasa sekolajh, teman bermain semasa kecil, kawan berkelahi dsb.

Walaupun mereka bukan famili usahakanlah ada pendekatan dengan mereka, karena kalau sudah kenal, apalagi pernah akrab, berarti sudah ada jalan buat bicara Islam, dibanding dengan yang belum kenal sama sekali. Kita pun bisa mengenal watak mereka, ini bermanfaat guna memilih cara, dari sisi mana kita mulai mengajak bicara dengan mereka. Pokoknya gunakan setiap peluang untuk menambah kawan dan saudara perjuangan, kalau bisa semua yang pernah mengenal kita bersimpati dengan apa yang tengah kita perjuangkan. Jangan malah membikin intrik-intrik yang memperbanyak musuh.

(lebih…)