Tanya Jawab tentang NII



Perkataan semacam itu biasanya muncul dari satu di antara tiga keadaan seseorang:

Pertama, Perkataan terkesan/bernada yang putus asa,  yakni tidak mau susah banyak mikir. Padahal susah atau tidak susah,  mikir atau tidak mikir, pada Hari Kiamat tiap diri akan didatangkan pimpinannya. Perhatikan Firman Allah yang bunyi-Nya:

“(Ingatlah) suatu  hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya  ditangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. -(Q.S. Al Israa:71).

Berdasarkan ayat di atas itu,  sadar atau tidak bahwa di bumi ada dua kepemimpinan. Yakni,  jika diri tidak berada dalam kepemimpinan yang haq,  berarti berada dalam kepemimpinan batal. Dengan itu  sekalipun  bagi  yang tidak merasakan dalam suatu kepemimpinan maka kepadanya tetap akan didatangkan saksinya yaitu pemimpin,  terlepas  dari apakah itu  yang bathal atau  yang haq.  Dalam  Al-Qur’an surat 90 ayat 10 dinyatakan  yang bunyinya  :     “وهدينه النجدين”    “Dan Kami telah menunjukkan  kepadanya dua jalan”.Dengan itu jelas  bila tidak dalam yang haq, berarti dalam  bathal.

(lebih…)


Sejak mula diproklamasikan NII menjadikan Islam sebagai asas negara dan menjadikan Al Quran dan Hadits shahih menjadi hukum tertinggi yang berlaku di dalamnya (Lihat Qonun Asasi Bab q pasal 2 ayat 1 dan 2). Bagi seluruh warga NII, Al Quran dengan penafsirannya yang benar, Al Hadits dengan keshahihannya adalah hukum tertinggi dalam Negara Islam Indonesia, seluruh rakyat berjuang wajib mempelajarinya dan berpegang teguh padanya.

Bila kehidupan yang dicita-citakan para ulama salaf adalah kehidupan seperti pada tiga kurun terbaik, yakni masa Nabi dan shahabat, masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, maka ingatlah bahwa mereka itu semuanya berada di wilayah Darul Islam, tidak ada seorang pun dari ulama salaf di zaman itu yang rela menjadi warga Darul Kufr. Maka demikianlah keadaan Salaf yang Mujahidin NII cita-citakan, generasi salaf adalah generasi Darul Islam yang berjuang untuk sebuah Bumi Islam di mana Al Quran dan sunnah berdaulat penuh!! Untuk mencapai itu rakyat Islam berjuang harus giat berjihad, berijtihad dan bermujahadah. Berjuang bahu membahu untuk mencetak figur yang cocok menjadi rakyat negara Islam, struktur yang cukup dan cakap menjalankan syari’at Islam dengan tertib dan menentramkan, serta militer yang mampu menjaga pertahanan dan keamanan.

(lebih…)


Isyu lain yang mengguncang ummat adalah dikatakan bahwa Negara Islam Indonesia memberlakukan sistem kufur, karena sifat negara itu berbentuk Jumhuriyah (republik) bukan sistem khilafah. Hal ini didasarkan pada Qanun Azasy Negara Islam Indonesia Bab I, Padal 1, ayat 2, yang menegaskan bahwa sifat negara bukanlah kerajaan tetapi Jumhuriyah atau Republik.

 

Ada yang lucu ketika saya berdialog dengan mereka yang menerima isyu di atas sebagai sebuah kebenaran, ketika saya tanyakan: “Apa itu sistem Khilafah?” Jawabannya sederhana: “Pemimpinnya disebut seorang kholifah, bukan Presiden, dan negaranya mendunia bukan lokal seperti NII”. Kemudian saya tanya: “Kapan kekhilafahan berakhir?” Dia jawab: “Tahun 1924, dengan jatuhnya khilafah Turki Utsmani.” Saya katakan: “Anda katakan sendiri Khilafah itu Turki, bahkan Utsmani lagi, di mana letak kemenduniaannya? Bagaimana dengan pernyataan Nabi SAW, bahwa khilafah sepeninggalku tiga puluh tahun, kemudian setelah itu akan datang masa kerajaan? Apa itu sistem Khilafah dan apa itu sistem Kerajaan?” Ternyata banyak yang mengelu-elukan sistem khilafah, tetapi tidak tahu hakikat dari sistem khilafah tersebut, bahkan tidak bisa membedakannya dengan sistem kerajaan yang disebutkan Nabi SAW akan menggantikan sistem Khilafah.

(lebih…)


Banyak yang menganggap bahwa Negara Islam Indonesia itu adalah  Gerakan Islam Lokal yang tidak memperdulikan masalah khilafah. Padahal jauh sebelum Negara Islam Indonesia diproklamasikan, khilafah sudah dinyatakan sebagai bagian dari perjuangan pemerintah Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Konferensi Tjisajong (1948) bahwa, langkah perjuangan Ummat Islam Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:

(lebih…)


Tanya:

”Adakah benar   mengenai perkataan,  bila belum bisa menjalankan hukum Qishos Jinayah dan Hudud, maka tidak perlu adanya Imam yang didhohirkan, artinya bila sudah ada Imam,  maka segala hukum seperti jinayah, qishos dan had mesti diberlakukan ?”

Jawab:

Tidak  benar  ! Melainkan, yang benar yaitu bilamana kondisi dalam berperang atau sedang berada dalam wilayah yang sedang dikuasai musuh, maka tidak diperbolehkan melaksanakan hukum had (potong tangan). Artinya, bahwa dalam kondisi demikian , maka pelaksanaan hukum potong tangan itu harus ditunda. Jadi, bahwa tidak boleh dilaksanakannya hukum had itu bukan disebabkan belum didhohirkannya Iman, melainkan karena kondisi ketidakmampuan kaum muslimin untuk menguasai keadaan orang  yang dikenai hukum potong tangan itu, bilamana dirinya membelot kepada musuh. Dengan demikian untuk melaksanakan hukum had itu, bila sudah di dalam wilayah yang sudah dikuasai dengan sepenuhnya (de facto).

Abul Qosim Al-Khroqi dalam risalahnya meriwayatkan bahwa Bisyr bin Arthaah menangkap seorang tentara (mujahid) yang mencuri barang miliknya. Dia berkata:” Sekiranya aku tak mendengar sabda Rasulullah Saw, diwaktu perang, tangan-tangan tak boleh dipotong, pasti akan kupotong tanganmu”. (Diriwatkan oleh Abu Daud).

(lebih…)


Tanya:

“Ada yang mengatakan bahwa selama sholat tidak dilarang,  maka tidak perlu berperang. Bagaimanakah jawabannya ?”

Jawab:

  1. “Yang dituju oleh kita bukanlah berperang, tetapi bisa menjalankan hukum-hukum Islam secara kaffah,  sehingga pula memperoleh Keridhoan Alloh SWT. Adapun menegakkan Negara Islam Indonesia sebagai prosesnya. Begitu juga berperang sebagai akibatnya, bila musuh berani menyerangnya. Jadi,  berperang itu bukanlah tujuan, melainkan sekedar mempertahankan hak kita Negara Islam Indonesia !
  2. (lebih…)


Tanya:

“Dalam Kitab Ad Da’wah Ilalloh, Ali bi Hasan Al Atsari hal 89-96, dimana diantaranya Imam Ahmad pernah berkata bahwa yang dikatakan Imam ialah yang seluruh kaum muslimin berkumpul dibawah kepemimpinannya. Dimana masing masing mereka berkata : “Inilah dia Imam”.  Maksudnya, tidak ada artinya mengangkat Imam bila seluruh muslimin tidak mengakui dia sebagai “Imam”. Dengan itu bagaimanakah pandangan pihak NII mengenai perkataan Imam Ahmad tersebut itu ?”

Jawab:

Orang terkadang lalai dalam mencermati sejarah. Hanya berpijak pada kata dan kata tanpa melihat konteks peristiwa, “di jaman apa kata kata tersebut diucapkan ?”

(lebih…)


Tanya:

“Kebenaran N I I sudah jelas,  nyata dasar-dasar hukumnya berdasarkan Nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw,  tapi apa sebabnya masih saja ada beberapa tokoh yang sudah dianggap mengerti kepada agama Islam,  tetapi masih mencela-cela NII ? ”

Jawab:

Penyebabnya, antara lain yaitu:

Pertama, NII-nya belum menang. Jadi,  sekalipun dalam hati mereka  mengakui bahwa NII itu memiliki nilai kebenaran berdasarkan Al-Quran dan Sunnah,  tetapi jika mereka menganggap NII tidak bakal menang,  maka mereka tidak bakal memihak nya. Bahkan ikut mencelanya hingga memperoleh nilai dari Pemerintah RI. Perhatikan firman Alloh ‘Azza Wa Jalla berikut ini:

“(yaitu) orang-orang yang memilih orang-orang kafir menjadi pemimpinnya dengan mengenyampingkan orang-orang yang beriman. Apakah mereka mengharap kekuatan. Sesungguhnya kekuatan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.S. Annisaa’:139).

“ Mereka mengulas kata:”Andaikan kita kembali ke Madinah,  tentu orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah di sana.”  Padahal kekuatan itu hanyalah kepunyaan Allah,  kepunyaan  Rasul-Nya,  dan kepunyaan orang-orang mukmin. Namun orang-orang munafik tidak mengetahui.” (Q.S. Al Munaafiquun:8).

Kaum munafik pada jaman Nabi Saw mereka mengetahui kebenaran yang dibawa Rasul Saw,  mereka langsung melihat Nabi Saw serta mukzizatnya,  tetapi mereka tetap mengoceh. Padahal mereka berada di wilayah yang dikuasai oleh Daulah Islamiyyah,  tentu  jika yang berada di wilayah yang dikuasai kafir bukan lagi munafik,  melainkan kafir. Maka,  apalagi sekarang yang dikuasai Daulah kafir,  dan NII-nya sa’at ditulisnya tanya jawab ini belum berkuasa. Dengan demikian untuk komitmen kepada NII tidak cukup dengan mengerti mengenai kebenarannya,  tetapi harus disertai kesiapan menjual diri kepada Allah (Q.S.9:111).

(lebih…)


Tanya:

“Apa dasarnya bahwa  Negara Islam Indonesia,  7 Agustus 1949 akhirnya akan memperoleh kemenangan de fakto, sedangkan Nabi Saw menerangkan bahwa ummat Islam akan berpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan?”

Jawab:

1. Alloh telah berjanji akan memberi kekuasaan di bumi kepada orang-orang beriman, pahami ayat berikut ini:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,  sebagaimana Dia telah menjadikan orang-arang yang sebelum mereka berkuasa,  dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,  dan Dia benar-benar akan merobah( keadaan ) mereka,  sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah(janji) itu,  maka mereka itulah orang-orang fasik.”_(Q.S. An-Nuur:55).

Dari ayat  di atas  itu dipaham bahwa untuk memperoleh  kekuasan (kemenangan de facto/ Futuh) dari Allah akhirnya bakal dicapai. Hanya,  soal kapan waktunya tidak ditentukan,  sebab dalam ayat itu disebutkan “minkum”     (di antara kamu) yakni sebagian dari orang-orang beriman. Dikaitkan dengan  perjuangan NII hal itu mengandung arti bahwa kemenangan (futuh) perjuangan NII tidak mesti dialami oleh yang sedang memperjuangkannya,  melainkan bisa juga oleh generasi penerusnya. Akan tetapi bisa juga kekuasaan itu dialam oleh kita jika Allah mengizinkannya, sebab Allah Maha berkuasa.

(lebih…)


Tanya:

“Bagaimana jika  Ikrar Bersama,  1 Agustus 1962 itu diniatkan sebagaimana yang terjadi pada Amar bin Yasir atau juga sebagai siasat perang ?”

Jawab:

1. Bukan Ijtihad

Sebagian Tentara Islam Indonesia yang menyerahkan diri kepada musuh pada tahun 1962 atau sebelumnya itu bukan merupakan ijtihad. Sebagai dasarnya antara lain yaitu :

(lebih…)

Laman Berikutnya »