Ada yang mengira-ngira sewaktu K.U.K.T. itu ditawan tahun 1953-1963 ada lagi yang diangkat menjadi K.U.K.T., sehingga K.U.K.T. itu tidak hanya satu. Tanggapan kami terhadap hal itu ialah bahwa dalam Islam diwajibkan menentukan hokum dengan kenyataan atau dengan yang sudah bukti. Dengan itu kami bertanya, mana buktinya ada pengangkatan K.U.K.T., sewaktu K.U.K.T. Abdul Fatah Wirananggapati ditawan dari tahun 1953-1963 selain daripada dirinya ? Kalau ada, maka mesti dibuktikan dengan fakta sejarah mengenai apa yang pernah dilakukan olehnya dalam tugas K.U.K.T., jika tidak berani muncul apalagi ummat telah mencarinya, maka berarti tidak bertanggung jawab terhadap Allah SWT, juga ummat dan Negara. Dan berarti pula telah menggugurkan jabatannya atau desersi.

Sekiranya masih saja ada yang berkata : “Ya, pengangkatan itu ada, Cuma sekarang orangnya entah dimana adanya…, entah sudah mati atau belum, nanti dicari dulu, mungkin merahasiakan dirinya”. Maka, harus kita jawab lagi dengan pertanyaan, “Mengapa mesti mencari dulu yang belum pasti, bukankah dia yang mesti merasa bertanggungjawab hingga memberi penjelasan terhadap ummat, apalagi ummat telah mencarinya”? “Mengapa mencari pemimpin yang sudah tidak mau tampil di kala ummat ingin mendapat konfirmasi kebenarannya ?”

Bagi yang terus menunggu Imam belum jelas adanya, berarti tidak menjalankan Qur’an surat An-Nisa ayat 59, yang mewajibkan Ummat taat pada pemimpin. Sebab, selama menunggu-nunggu itu, selama itu pula tidak punya pemimpin. Selama itu juga potensi jihadnya tak tersalurkan dengan benar.

Dalam Islam menentukan pemimpin tidak boleh dengan jalan kira-kira, tidak jelas legalitasnya, tidak dibuktikan wujud orangnya. Memang, dalam keadaan darurat ini, tidak setiap diri kita gampang bertemu dan mengetahui tempat tinggalnya pemimpin karena masalah sekuriti. Tetapi, setidaknya mesti diketahui mengenai dasar-dasar keberadaan sebagai pemimpin, sehingga ummat bisa menentukan mana pemimpin yang sah dan mana yang tidak sah.

Pada zaman Rasulullah saw pun tidak semua ummat dengan mudah bisa bertemu dengan Nabi saw (pemimpin), karena tempat tinggalnya jauh dari jangkauan mereka, tetapi data-data kerasulannya itu sungguh jelas. Contohnya sebagai berikut :

  1. Nama                                          : Muhammad bin Abdullah
  2. Jabatan                                     : Nabi yang terakhir
  3. Fungsi / Tugas                     : Utusan Allah
  4. Diangkat                                   : Oleh Allah SWT
  5. Keterangan legitimasi    : Dicantumkan dalam Al-Qur’an

Kesimpulannya, jika tidak ada bukti, berarti tidak ada pengangkatan lagi. Dan seandainya ada bukti, tetapi yang diangkat itu kini orangnya tidak muncul atau karena sudah mati, maka langsung saja kita komitmen kepada yang sudah jelas ada. Kita wajib berpegang pada Kaidah: “Fahkum biddhowaahir”. Yakni, berhukum dengan yang nyata. Karena, setiap yang “tidak nyata” tidak bisa dipertanggungjawabkan di Hadirat Allah SWT.