Tanya:

“Kebenaran N I I sudah jelas,  nyata dasar-dasar hukumnya berdasarkan Nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw,  tapi apa sebabnya masih saja ada beberapa tokoh yang sudah dianggap mengerti kepada agama Islam,  tetapi masih mencela-cela NII ? ”

Jawab:

Penyebabnya, antara lain yaitu:

Pertama, NII-nya belum menang. Jadi,  sekalipun dalam hati mereka  mengakui bahwa NII itu memiliki nilai kebenaran berdasarkan Al-Quran dan Sunnah,  tetapi jika mereka menganggap NII tidak bakal menang,  maka mereka tidak bakal memihak nya. Bahkan ikut mencelanya hingga memperoleh nilai dari Pemerintah RI. Perhatikan firman Alloh ‘Azza Wa Jalla berikut ini:

“(yaitu) orang-orang yang memilih orang-orang kafir menjadi pemimpinnya dengan mengenyampingkan orang-orang yang beriman. Apakah mereka mengharap kekuatan. Sesungguhnya kekuatan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.S. Annisaa’:139).

“ Mereka mengulas kata:”Andaikan kita kembali ke Madinah,  tentu orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah di sana.”  Padahal kekuatan itu hanyalah kepunyaan Allah,  kepunyaan  Rasul-Nya,  dan kepunyaan orang-orang mukmin. Namun orang-orang munafik tidak mengetahui.” (Q.S. Al Munaafiquun:8).

Kaum munafik pada jaman Nabi Saw mereka mengetahui kebenaran yang dibawa Rasul Saw,  mereka langsung melihat Nabi Saw serta mukzizatnya,  tetapi mereka tetap mengoceh. Padahal mereka berada di wilayah yang dikuasai oleh Daulah Islamiyyah,  tentu  jika yang berada di wilayah yang dikuasai kafir bukan lagi munafik,  melainkan kafir. Maka,  apalagi sekarang yang dikuasai Daulah kafir,  dan NII-nya sa’at ditulisnya tanya jawab ini belum berkuasa. Dengan demikian untuk komitmen kepada NII tidak cukup dengan mengerti mengenai kebenarannya,  tetapi harus disertai kesiapan menjual diri kepada Allah (Q.S.9:111).

Kedua, disesatkan setan. Perhatikan ayat yang bunyinya:

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah mengaku beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu ? Mereka hanya   mau berhukum kepada hukum Thagut,  sekalipun mereka sudah diperintahkan untuk mengingkarinya. Setan hendak menyesatkan  mereka sejauh-jauhnya.” (Q.S. Annisaa’:60).

Mereka yang dikemukakan oleh ayat diatas itu  adalah orang-orang yang sudah ngerti akan kebenaran, pada waktu itu masih ada Nabi Saw,  langsung melihatnya,  permasalahan agama sungguh jelas tidak jadi persoalan,  karena Nabi masih ada,  tetapi tetap bertahkim kepada Thogut. Hal itu sama saja dengan sekarang yang sudah tahu dan ngerti hukum-hukum Allah, tetapi yang dibelanya hukum Thogut. Artinya, tidak aneh bila sekarang didapati yang mengerti bahwa kebenaran NII itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah,  tetapi membela pemerintah RI karena setuju dengan hukum-hukum thogut. Sekedar mengerti sedangkan tidak sadar bahwa dirinya berhadapan dengan setan dari jenis jin dan manusia,  maka bisa disesatkan setan !

Ketiga, sudah menjadi ketentuan adanya yang menyembunyikan yang haq,  sedangkan mereka mengetahuinya. Perhatikan ayat yang bunyinya:

“Orang-orang yang telah kami beri kitab,  mengenal Muhammad seperti mengenal anaknya sendiri. Tetapi sebagian mereka menutup kebenaran itu,  padahal mereka mengetahuinya.” (Q.S. Al-Baqarah:146).

Didalam hati mengakui kebenaran yang sudah diketahuinya,  tapi pada dhohirnya tidak mengakuinya,  bahkan mencelanya demi kepentingan pribadinya. Ada ayatnya,  berarti ada orangnya.

Keempat, Merasa cukup dengan pengetahuan yang ada pada mereka. Perhatikan ayat yang bunyinya:

“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada ) mereka dengan membawa keterangan-keterangan,  mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan.” (Q.S.Al-Mukmin:83).

Mereka yang digambarkan oleh ayat di atas itu ialah orang-orang yang sudah merasa cukup dengan ilmunya. Artinya, karena merasa sudah lebih pintar,  maka merasa gengsi bila diberikan penjelasan,  sehingga mencari-cari jalan untuk menyalahkannya,  padahal dirinya sudah mengetahuinya.

Kelima, Cenderung kepada duniawi sehingga mendustakan ayat-ayat Allah. Perhatikan ayat-ayat yang bunyinya:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita yang mengagumkan tepatnya berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami,  kemudian dia berpantang mempercayainya,  lalu dia dihubungi rapat oleh setan untuk menggodanya. Sehingga ia menjadi sesat.” (Q.S. Al-A’raaf:175).

“Jika Kami kehendaki,  tentu Kami dapat mengangkat derajatnya. Namun dia ketagihan kesenangan dunia,  dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing. Bila kamu halau,  dia menjulurkan lidahnya,  atau jika kamu biarkan iapun mengeluarkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Ceritakanlah cerita ini,  semoga mereka berpikir.” (Q.S. Al A’rof:176).

Sebagian penafsir mengatakan ayat ini berkaitan dengan Abu Amir bin Nu’man, seorang rahib yang menjalankan kesederhanaan dan kesalehan. Ketika Nabi Saw datang ke Madinah ia merasa posisinya tersaingi,  ia mencoba menyusun kekuatan untuk menyerang Nabi. Upayanya gagal. Ia mengetahui kitab suci (tahu bahwa Muhammad Saw sebagai nabi terakhir),  tetapi ia terpedaya karena memiliki posisi tinggi di tengah kaumnya.

Sebagian penafsir berpendapat bahwa ayat ini merujuk kepada Umayah bin Ubay Al-Tsaqafi. Ia banyak membaca kitab suci yang lama. Ia tahu bahwa di negeri Arab akan dibangkitkan seorang Rasul. Ia berharap dirinyalah Rasul itu. Pernah dia mau masuk Islam,  tetapi mengurungkannya. Ia banyak menulis puisi yang memuja kebesaran Allah,  menceritakan hari pembalasan dan mengajarkan kebaikan. Ketika puisi-puisi itu dibacakan di depan Nabi Saw. Beliau bersabda, ”Puisinya mukmin,  hatinya kafir”.

Inti dari Firman Allah (Q.S.7:175-176) di atas tadi,  supaya kita tidak boleh terpedaya dengan sikap orang alim  /ulama yang sudah terbius oleh rayuan para elit daulah kafir,  atau oleh ulama yang takut kalah pengaruh kehilangan wibawanya,  akibat keterlanjuran mencela risalah kebenaran yang  kita sampaikan. Kita harus tabah, sebab selama kita belum memperoleh kemenangan (futuh),  selama itu pula ulama sedemikin itu akan mencela kita. Untuk itu camkan petikan ayat yang menjelaskan bahwa diantara sifat mujahid ialah “…laa yakhaafuuna laumata laa-im  (…tidak takut terhadap kecaman orang).”(Q.S.5:54).

Keenam, Bisa ditakut-takuti oleh syaitan dari jenis jin dan manusia sehingga tidak takut kepada Allah Swt. Perhatikan ayat yang bunyinya:

“Sesungguhnya mereka itu hanyalah syaitan yang mengancam kamu  agar takut kepada pemimpin-pemimpinnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,  tetapi takutlah kepada-Ku,  jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imron:175).

Akibat rasa takut yang mendominasi diri terhadap barisan thogut, sehingga takut dianggap tidak memihaknya, maka keluarlah ungkapan -ungkapan yang bernada memojokkan pejuangan NII, meski dalam hatinya  mengakui kebenarannya.

Demikianlah di antara penyebab dari adanya mereka yang sudah mengerti mengenai kebenaran NII,  tetapi tidak berpihak kepada NII.