Permulaannya tersebat kata Hudaibiyah atau Case Fire (genjatan senjata) dalam kalangan TII, setelah banyak komandan mereka yang menyerahkan diri ke pihak musuh. Sedangkan pada waktu itu sebagian prajurit TII terus bertahan tidak mau menyerah. Di lain pihak, sebagian eks pimpinan mereka yang dekat dengan penguasa RI mengadakan propaganda kepada bekas anak buah mereka supaya ikut turun meletakkan senjata dan menyerahkan diri ke Pemerintah RI.

Pada umumnya prajurit TII itu tidak menyadari bahwa berita Hudaibiyah itu sebagai tipuan supaya mereka mau turun dengan membawa masing-masing persenjataannya. Sebenarnya sebagiannya akan bertahan bersemboyan Yuqtal au Yaghlib (Q.S. 4 : 74), jika bukan karena tipuan yang dilontarkan oleh sebagian bekas pimpinan mereka atau oleh adanya selebaran-selebaran yang direkayasa musuh mengatasnamakan pimpinan DI / TII. Secara analisa data ada dua kemungkinan sebab dimunculkannya isu Hudaibiyah oleh sebagian komandan TII, yaitu :

  1. Ada yang tujuannya supaya pasukan TII itu turun gunung mengikuti jejak pimpinan yang sudah menyerah sehingga pimpinan itu dianggap masih berwibawa.
  2. Ada yang tujuannya supaya terkesan dimata prajurit TII bahwa para komandan itu bukanlah menyerah atau kalah mental melainkan karena adanya “Hudaibiyah” atau genjatan senjata

Untuk menilai apakah itu benar “Hudaibiyah”, maka bandingkan saja dengan Perjanjian Damai Hudaibiyah yang sebenarnya terjadi pada zaman Nabi SAW diantaranya ialah :

  1. Mulai diajukannya permintaan Perjanjian Damai Hudaibiyah, yakni gencatan senjata (Hudaibiyah suatu tempat di dekat kota Makkah) adalah dari pihak Musyrikin Quraisy, karena gentar menghadapi tentara muslimin yang sudah berbai’at (Q.S. 10, 18) bertekad untuk menggempur kota Makkah. “Sidang para pengambil kebijaksanaan Quraisy ini tak ubahnya sebuah kecemasan dan sekaligus sebuah kebingungan mereka. Mereka seperti masih traumatis atas beberapa perang yang pernah dilakukannya. Bahwa, Perang Badar dengan pasukan yang jauh lebih kecil dan persenjataan yang juga minim, tapi toh mampu memporakporandakan angkatan bersenjata Quraisy. Bagaimanapun, kondisi ini menunjukkan sebagian dari kejatuhan mental para petinggi Quraisy (Agus Wahid PERJANJIAN HUDAIBIYAH Telaah Diplomasi Muhammad Saw, halaman 46, cetakan pertama 1991. Penerbit  Jakarta) “Pihak Quraisy meminta kerelaan Muhammad dan jama’ahnya untuk menunda niat berhaji. Permintaan ini menunjukkan posisinya tidak lagi di papan atas sebagai pihak yang bisa menekan dengan paksa dan semena-mena. Yang namanya permintaan biasa saja dikabulkan, tapi juga sebaliknya. Jawabannya tergantung pihak yang diminta. Yang jelas, secara sadar para pemuka paganis Quraisy mengakui kekuatan muslim bisa mengalahkannya” (Ibid, halaman) Artinya, pihak Tentara nabi Saw adalah pihak yang unggul. Sedangkan pihak musyrikin Quraisy adalah pihak yang tertekan.
  2. Tentara Nabi Saw tidak dilucuti dari persenjataannya. Artinya, tetap keberadaannya sebagai tentara Islam yang mengawal kedaulatan Negara Islam secara de facto.
  3. Pemerintahan Nabi SAW tetap diakui secara de facto (dhohir). Artinya, tidak diserbu atau dikejar-kejar oleh pihak Quraisy, yakni sesuai dengan peraturan gencatan senjata pada zaman sekarang dimanapun
  4. Para pimpinan atau para komandan militer Nabi Saw tidak membuat pernyataan setia mengabdi pemerintahan musyrikin Quraisy, serta tidak mencaci-maki Negara Islam di Madinah. Yaitu tidak seperti dalam “Ikrar Bersama”, 1 Agustus 1962 yang ditandatangani oleh sebagian eks pimpinan TII. Bisa saja mereka dipaksa. Tapi itu akibat didahului oleh menyerahkan diri kepada musuh, sehingga musuh bisa memaksanya.

Berdasarkan empat point saja, jelas bahwa pada tahun 1962 itu bukanlah “Perdamaian Hudaibiyah”. Dengan demikian jika ada yang memaksakan bahwa tahun 1962 itu sebagai Perjanjian Damai Hudaibiyah, maka secara tidak langsung mencoreng sejarah Perjanjian Damai Hudaibiyah”. Naudzubillahi min dzalik !

Sebaliknya dari “Hudaibiyah”, kalau mau mengkiaskan Tahun 1962 di Indonesia ini paling juga bisa disamakan dengan kejadian kaum Bani Israil yang ketika diperintahkan oleh Nabi Musa a.s. untuk maju ke daerah Muqaddas, tetapi mereka tidak melakukannya, karena takut terhadap tekanan dari musuh yang dianggap sangat kuat. Sehingga dengan penolakan terhadap perintah itu, maka Allah menghukum kaum Bani Israil selama empat puluh tahun tidak memiliki pemimpin. Selama empat puluh tahun tidak bisa berperang melawan musuh (perhatikan Al-Qur’an S. Al- Maidah ayat 21-26).