Arti bangsa dalam Arti Etnis dan Politik      

 Bila disini disebutkan kata bangsa, yang dimaksud bukanlah bangsa dalam arti etnis,dimana identifikasi bangsa tadi diletakan pada warna kulit, bentuk tubuh ataupun bahasa. Tetapi bangsa yang dimaksud adalah bangsa dalam arti politik dimana identitas kebangsaan itu diidentifikasi oleh ideologi, dan hukum yang ditegakkan didalamnya.

Walaupun kata “bangsa” sudah demikian akrab di telinga kita, tapi saya merasa bahwa hari ini kita harus ungkapkan kembali definisinya secara jelas. Seperti diungkapkan dalam pidato Dies Prof Ernest Renan tahun 1882, dan ini pula yang dijadikan referensi ketika Mr Muhammad Yamin berpidato dalam Kongres Pemuda 1928. Dalam pidato nya yang berjudul Qu’est ce cu ‘une nation? Yang berarti Apakah Bangsa itu, Prof Ernest Renan mengatakan : “Marilah kita mencoba untuk bertindak teliti dalam soal soal yang sulit ini, kekeliruan yang paling kecil, yang mengenai arti kata kata , yang dibuat pada peremulaan keterangannya, akhirnya dapat menyebabkan penyesatan (pendapat) yang paling membahayakan[1].”

Secara etnis bangsa cina adalah mereka yang berkulit kuning bermata sipit berbahasa Tiong Hwa, tetapi secara politik Bangsa Cina adalah mereka yang berkewarganegaraan RRC, setia kepada haluan politik dan ideologi negara tersebut, tidak peduli apakah mereka berkulit kuning, sawo matang atau bahkan negro sekalipun.

Didalam peristilahan Islam kata “Ummat” dan “Masyarakat”senapas bahkan lebih tegas maknanya dengan kata “Bangsa” dalam arti Ideologis tadi[2]. Ummat berasal dari kata ‘Amma yang berarti menuju dan berniat. Makna ini terdiri dari tiga arti : Gerakan, Tujuan dan Ketetapan Kesadaran. Dan kerena kata ‘Amma pada asalnya mencakup makna kemajuan (taqaddum), maka sekaligus makna Ummat ini tersusun dari empat arti : Ikhtiar, Gerakan, Kemajuan dan Tujuan[3]. Ummat Islam adalah kesatuan manusia yang dengan sadar memilih jalan Islam, bergerak memenangkan Islam, dengan satu satunya tujuan dalam bergerak maju dan membangun ini yakni semata mata beribadah kepada Allah “Sang Pemberi Jalan”.

Sayid Qutb menegaskan bahwa satu satunya ciri adanya masyarakat Islam adalah ditegakkannya hukum Islam yang mengatur masyarakat itu. Kaum Muslimin yang hidup di luar tatanan hukum Islam tidak bisa disebut Masyarakat Islam, mereka adalah “Komunitas/kaum muslimin” yang menjadi bagian dari masyarakat lain.

Untuk mempertegas inilah maka Majlis Islam tahun 1948, komunitas muslimin di Indonesia yang menyadari misi mereka membangun kekuatan sendiri mempertegas keberadaannya dengan kalimat “Ummat Islam Bangsa Indonesia”, dimana bangsa Indonesia pada kalimat itu tidak memiliki dimensi ideologis, semata mata sebagai alamat keberadaan mereka saja, sedangkan secara politik ideologis mereka membangun Ummat Islam dalam arti yang sesungguhnya, terpisah dari Republik Indonesia yang membangun “kebangsaan” Indonesia sebagai landasan kelahiran negara tersebut.


[1] Apakah Bangsa itu, Ernest Renan, ahli bahasa Prof. MR. Sunario, Alumni, 1999, Bandung, hal 3.

[2]Nation berasal dari kata Naitre yang berarti “lahir”. Dengan demikian pada asalnya penamaan ini mengungkap sendi dasar yang menjadi ikatan alami yang disucikan dan terhujam dalam perasaan kebangsaan dalam arti etnis, bahwa yang mengikat antar individu dalam sebuah bangsa adalah kekerabatan, kesatuan darah dan ras. Lihat Ummah dan Imamah, Ali Syari’ati Yapi, Jakarta, 1990. hal 32.

[3] Ummah dan Imamah, Ali Syari’ati Yapi, Jakarta, 1990. hal 36.

Tidak Ada Ummat Islam di Republik Indonesia

Apakah muslimin di Republik Indonesia adalah sebuah Bangsa Islam / Ummat Islam atau Masyarakat Islam. Jawabnya jelas Tidak, mereka adalah Bangsa Pancasila, Ummat Pancasila dan Masyarakat Pancasila. Mereka adalah kaum muslimin yang merupakan bagian dari masyarakat Pancasila. Mengapa demikian ? Karena Indonesia sebagai bangsa tidaklah dilahirkan atas dasar Islam. Pada tahun 1928 Bangsa Indonesia lahir atas dasar : sejarah bahasa dan hukum adat[1]. Demikian juga pada tahun 1945 ketika Bangsa Indonesia berhasil menegakkan negara, mereka memperjelas identitas politik bangsanya sebagai bangsa bukan Islam, dengan mengganti teks proklamasi yang disiapkan PPKI yang ditindak lanjuti keesokan harinya dengan mencoret kewajiban (negara untuk) menjalankan hukum Islam bagi para pemeluk pemeluknya[2].

 Dengan diproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti bahwa Bangsa Indonesia telah manyatakan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada Bangsa Indonesia sendiri, bahwa mulai saat itu bangsa Indonesia telah Merdeka. Merdeka berarti bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang. Dalam al kehidupan, kenegaraan, berarti Bangsa Indonesia akan menyusun negara sendiri. Sedangkan dalam hal hukum, Bangsa Indonesia akan menentukan hukum sendiri, yaitu hukum Bangsa Indonesia sendiri, serta akan melaksanakannya sendiri.

 Oleh karena itu pernyataan kemerdekaan, berarti bahwa mulai pada saat itu telah berdiri negara baru, yaitu negara Republik Indonesia. Bersamaan pada saat itu berdiri pula Tata Hukum beserta dengan Tata Negaranya[3]. Proklamasi merupakan Norma Pertama bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan sejarah proklamasi ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa Islam.

Semenjak itu tumbuhlah bangsa Indonesia ini sebagai bangsa kufur yang terus membangun negaranya, membenahi tata hukum yang mengatur kehidupan warganya. Karena pengaruh dan tekanan Bangsa Belanda, maka hukum nasional RI selanjutnya mengacu pada hukum Belanda bukan lagi hukum adat seperti yang diserukan pada Kongres Pemuda 1928.

Adalah mengherankan dimana kaum muslimin rela menjadi bagian dari bangsa yang kufur ini, menjadi bagian dari satu negara yang pada saat lahirnya dengan tegas mencoret kewajiban negara untuk melakasanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya. Dan semangat persatuan serta pengikatan diri pada kedzaliman seperti ini dikenal dalam Islam sebagai ikatan Ashobiyyah yang terkutuk dan membawa kemurtadan. Dalam banyak keterangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alayhi wa Alihi wa sallam menyatakan : Bukan dari golongan kita orang yang menyeru kepada Ashobiyyah (kebangsaan) dan bukan dari golongan kita orang yang berperang atas dasar kebangsaan, dan bukan dari golongan kita (walaupun tidak ikut menyeru atau berperang, tetapi sekedar) mati di atas dasar kebangsaan. HR. Abu Dawud.

 Dari Watsilah bin Asqa ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah : Apa yang dikatakan Ashobiyyah ? Sabdanya : Bahwa engkau menolong kaummu dalam kedzaliman.”HR. Abu Dawud.

 Dua pertanyaan itu jelas bahwa dukungan muslimin atas Republik Indonesia, berwali kepadanya adalah pertolongan mereka atas berdirinya sebuah negara yang tidak berhukum kepada hukum Allah, sedang Al Quran mengatakan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang orang yang zalim (S. Almaidah (5) : 45.

 “Barang siapa yang terbunuh di bawah panji kesesatan, ia menyeru kebangsaan (Ashobiyyah) atau menolong kebangsaan (Ashobiyyah), maka bangkainya ialah bangkai jahiliyyah.” (H.S.R. Muslim)

 “Barang siapa yang keluar dari taat kepada imam dan berpisah dari jama’ah lalu ia mati, maka matinya itu sebagai matia jahiliyah. Dan barang siapa berperang di bawah bendera kesesatan, yaitu ia marah karena kebangsaan atau mengajak orang orang kepada kebangsaan atau menolong kebangsaan, lalu ia terbunuh, maka bangkainya itu, ialah bangkai jahiliyyah.” (H.S.R. Muslim dan An Nasai)

 Dan pernikahan pada hukum Non Islam sebagaimana yang ditegakkan di Republik Indonesia, jelas merupakan keberpihakan kepada hukum Jahiliyyah seperti yang disinyalir dalam Al Quran :

 Apakah Hukum Jahiliyyah yang mereka cari, maka hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang yakin ?” S. Almaidah (5) : 50.

 Ini bukan berarti bahwa anda sama sekali harus melupakan bahwa anda adalah orang Indonesia, atau tidak mau menyebut nama Indonesia sama sekali. Sebab secara etnis kehadiran bangsa di muka bumi adalah kehendakNya[4] demikian juga dengan berbeda beda bahasa dan raut muka[5]. Keberadaan suatu bangsa diakui dalam Islam, namun Islam idak mengakui kedaulatan sebuah bangsa dalam arti politik dan ideologis dimana karena mereka merupakan bangsa yang berbeda kemudian berhak menegakkan hukum hukum yang khas produk bangsa itu sendiri. Tegasnya kalau anda sebagai bangsa Indonesia ingin agar hukum hukum yang mengatur hidup anda adalah hukum buatan bangsa Indonesia sendiri[6], maka anda kafir, zalim dan fasiq, bangkai anda adalah bangkai Jahiliyyah. Tetapi bila anda sebagai bangsa Indonesia, ingin agar hukum yang mengatur hidup anda adalah hukum dari yang menciptakan bangsa ini yakni Allaz Azza wa Jalla, maka anda telah mensyukuri nikmatNya. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW ketika seseorang bertanya kepada beliau : “Telah bertanya seorang laki laki : Ya Rasulullah, adakah termasuk Ashabiyyah seseorang yang mencintai kaumnya ? Sabdanya : Tidak ! Tetapi yang dimaksud bagian dari Ashabiyyah itu adalah jika seseorang menolong kaumnya atas kedzaliman..” H. R. Ahmad dan Ibnu Majah.

  Sudahkah hal ini disadari oleh para peserta Kongres Mujahidin I di Jogja ? Untuk apa mereka berkumpul disana ? Bila – sekali lagi saya katakan ; Bila – ternyata apa yang mereka lakukan adalah berusaha memberi warna pada Bangsa Indonesia dalam konteks wadah Republik Indonesia agar terasa Islami maka jelas ini merupakan sebuah kemubadziran yang memilukan. Bukan berarti saya menuduh bahwa niat hati para tuan tuan itu yang tidak tulus, tapi paradigma berfikir mereka yang keliru. Mereka mengidentikkan diri mereka sebagai bagian dari sebuah bangsa hanya karena mereka lahir di bumi Nusantara, kemudian dengan serta merta memihak kekuatan struktural yang dikelola kulit sewarna, bahasa yang sama padahal jelas jelas menolak Islam sejak awal kelahirannya.

 “Tidakkah kamu memperhatikan orang orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran (dalam konteks RI adalah mencoret kewajiban menjalankan syari’at Islam  -pen) dan menjatuhkan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan. Yaitu neraka jahannam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk buruknya tempat kediaman” (Surat Ibrahim : 28-29)

 Tidakkah mereka menyadari bahwa Republik Indonesia adalah sebuah Struktur Kekafiran yang jelas jelas menjalankan Kafirisasi Struktural dengan menjalankan Hukum Hukum Non Islam. Dan kekafiran struktural[7]tidak pernah akan menerima Islam kecuali dihancurkan. Berbeda dengan kekafiran pribadi yang sangat mungkin akhirnya berubah menjadi muslim, demikianlah Nabi kita diperintah mendakwahi mereka[8]. Adapun terhadap Struktur yang kafir maka yan harus dipersiapkan adalah kekuatan[9]. Sebab mereka tidak mengerti bahasa apapun selain bahasa kekuatan.

 Seharusnya mereka mengerti bahwa mentaati, memberikan loyalitas walaupun hanya sebagian, dipilih yang dirasa sesuai dengan syari’at Islam misalnya, tetap saja merupakan kemurtadan, sebab apa yang sedang dilakukan bukanlah membangun sistem Islam yang seharusnya mereka utamakan.

 “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (set back, riddah) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa, dalam konteks ini adalah talbisul haq bil bathil) dan memanjangkan angan-angan mereka (fikiran mereka.

Dipenuhi impian bahwa inilah jalan terbaik untuk secara evolutif dan lembut menerapkan ajaran Islam setahap demi setahap) Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka.

Bagaimanakah (keadaan mereka) nantinya apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul mukul muka mereka dan punggung mereka?

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka (tidak berdampak apa apa -pen). Surat Muhammad :25 – 28

Namun apabila – dengan penuh harapan saya katakan sekali lagi ; Apabila – Kongres ini benar benar merupakan upaya kearah kebangkitan Bangsa Islam di Indonesia, sebuah perjalanan menuju kejayaan Ummat Islam Bangsa Indonesia dalam arti yang telah disebutkan di atas, maka inilah kilat harapan. Bukan kilat ketakutan, sebab petir bukan saja pertanda hujan akan datang, tetapi juga bisa isyarat kemurkaan Allah yang ditimpakan kepada orang orang yang berbantah bantah tentang ajaran Allah[10]. Semoga demikian adanya, Amin.

 Tentu saja, bila arah tujuannya adalah membangun Bangsa Islam dalam arti ideologis, maka tentu paradigma berfikirnya haruslah dalam format Negara Islam, sebab dalam Negara Islam inilah Ummat Islam tumbuh dan berkembang. Sebab tidak ada Ummat Islam kecuali dalam kerangka Negara Islam, sedang di luar Negara Islam, muslimin hanyalah anak bangsa kufur belaka, bagian dari sebuah sistem buikan Islam. Dan ini berbahaya bagi status keummatan mereka di hadapan Allah, seperti dinyatakan dalam beberapa hadits :

 “Saya (Rasul SAW) berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal (merasa tentram) bersama kaum musyrikin.”

 “Janganlah kamu tinggal bersama sama dengan orang musyrik, dan janganlah kamu bergaul dengan mereka. Barang siapa yang tinggal bersama mereka, maka ia termasuk golongan musyrikin (minhum).

” H. R Tirmidzi[11].”

 Ini bukan berarti menutup kemungkinan berjuang di kandang lawan, bertempur di front musuh. Bisa saja seorang mukminin berada di struktur kuffur, selama kehadiran mereka di sana merupakan taktik infiltrasi (penyusupan) atas dasar tugas dari front Islam (S.3 : 28). Seperti yang pernah dilakukan seorang mukmin yang menyembunyikan imannya dalam struktur elit fir’aun (S.40 : 28), atau yang dilakukan Nabi Yusuf AS, menjadi tenaga Ahli dalam Darul Kufur (lihat Lampiran 2). Sebab kata <<sakana>> yang dimaksud pada hadits di atas menunjukkan kerelaan dan pemihakan, akan berbeda kasusnya bila tinggal di sana dengan sebuah mision. Maha suci Allah yang telah menunjukkan strategi jihad seperti ini, sehingga menjadi jalan bagi kebangkitan bangsa Islam pada jaman Tholut berlanjut hingga Nabi Dawud dan Sulaiman. Demikian juga peran Abbas pada masa perjuangan Rasulullah SAW. Mengenai hal ini kita akan coba ulas pada diskusi yang berbeda di lain masa, Insya Allah. Amiin.


[1] Ibid hal 91 – 95. Lampiran 1 : Pidato Mr. Muhammad Jamin dalam Kerapatan Pemuda Indonesia tanggal 27 – 28 Oktober 1928. Dimana Mr. Moh Jamin mengatakan : Kami kemukakan di sini, karena kita percaya bahwa hidupnya bangsa kita sebagian besar diatur oleh hukum kebangsaan, hukum adat, atau adat recht. Benar zaman sekarang (1928) pengaruh hukum barat lama kelamaan bertambah tambah di tanah kita, tetapi sebagian besar dari bangsa kita hidupnya bernaung di bawah adatnya dan masih percaya akan hukum yang berurat berakar dalam adat. Hukum yang tertulis dan disyahkan tiada sekali kali bersimaharajalela di tanah kita, melainkan terletak dan dipakai di sebelah hukum adat……. Sebab itu marilah kita memalingkan mata kita kepada hukum adat, yaitu hukum tempat kita dibesarkan, hukum yang diturunkan moyang kita, hukum yang kita muliakan seperti pusaka. Marilah kita berbalik kepada rumah kita sendiri dan mengenali bagaimana duduk letaknya………

 [2] Lihat lampiran I (sejarah Proklamasi Republik Indonesia)

[3] Joeniarto, S. H., Sejarah Ketatanegaraaan Republik Indonesia, Bumi Aksara, 1996, hal 4

[4]S. Al Hujurat (49) : 13

[5] S. Ar Rum (30) : 22

[6] Bagaimana kalau malah menggunakan hukum dari yang pernah berabad abad menjajah Indonesia ?

[7] S. Al Baqarah (2) : 6

[8] S. Ar Ra’du (13) : 30

[9] S. Al Anfal (8) : 60

[10] S. Ar Ra’du (13) : 12

[11] Lebih jelas lihat Said Hawwa, Aksioma tentang Islam, Al Islahi Press, Jakarta, 1990 hal 76 – 11.