Setiap Mujahid hendaknya berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan dirinya dari hasil tangannya sendiri. Dalam QS 78:11 “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”, menunjukkan bahwa الله telah memberikan peluang waktu agar manusia berusaha memenuhi penghidupannya di muka bumi. Disamping itu, dengan berusaha di muka bumi ini sang Mujahid memiliki kesempatan untuk bisa berlaku seutuhnya. Sebab ia mengetahui bahwa penggalangan dana sebelum futuh lebih tinggi derajatnya di sisi الله (QS 57:10).

الله memulai kalimat zakat dengan ungkapan thu’tiya zakat yang mengandung arti mendatangkan zakat. Yang dimaksud dengan mendatangkan zakat tentunya adalah upaya dari Ummat Islam sehingga dirinya mampu dengan kekuatan tangannya sendiri menghasilkan zakat, dalam arti menjadi muzaki. Karena itulah kemudian Rosul bersabda (melalui jalur Abu Hurairah) dalam Hadits shahih Bukhori-Muslim bahwa: ”Sungguh sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu dan dipikul di atas pundaknya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain baik diberi atau ditolak”. Sehingga dengan hadits ini menjadi tegas bahwa para Mujahid dihimbau untuk berdikari: berdiri di atas kaki sendiri tidak tergantung kepada orang lain dalam memenuhi hajat hidupnya. Dengan beriri di atas kakinya sendiri berarti ia telah berusaha untuk tidak terlalu menjadi beban perjuangan. Ia menyadari bahwa perjuangan yang bergenerasi ini memerlukan amwal yang tidak terbatas pula. Ia akan merasa kurang enak kalau belum-belum dirinya sudah merepotkan Negara. Infaq yang sedianya bisa difokuskan untuk dana penggalangan terpaksa dialihkan kepada kepentingan di bawah kenegaraan. Lebih-lebih dalam kondisi prafutuh yang mana الله menjanjikan derajat lebih baik yang mau berinfaq (QS 57:10), maka sudah tentu para Mujahid berlomba-lomba untuk menyisihkan hartanya untuk kepentingan perjuangan di Jalan الله tersebut. Dan untuk hal ini tidak ada pilihan lain bagi Mujahid kecuali ia harus menjadi seorang pengusaha (maksudnya tidak menjadi penganggur) sebab ia menyadari bahwa Rosul pernah bersabda: ”jagalah dirimu dari api neraka walau hanya bersedekah dengan separuh biji kurma” .

Untuk bisa berbuat seperti itu tentulah seorang Mujahid harus mempunyai sumber penghasilan (ma’isyah). Sekecil apapun, sebab yang dipandang bukan besar kecinya tetapi nilai dari usaha itu sendiri. Bukankah الله  telah menjelaskan agar manusia mempersiapkan hari akhiratnya tetapi juga jangan sampai melupakan dunianya (QS 28:77)?. Bukankah Rosul juga pernah mengingatkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?

Disela-sela tugas kenegaraan, Khalifah Abu Bakar As-Shidiq masih menyempatkan menggadaikan pakaiannya untuk menghidupi keluarganya walaupun pada akhirnya Dewan Imamah memutuskan memberikan uang belanja bulanan kepada Beliau. Disela-sela tugasnya sebagai pengawal keamanan Negara, Ali bin Abu Tholib RA masih menyempatkan diri bekerja sebagai buruh untuk mendapatkan roti kasar yang bakal dimakan keluarganya. Bahkan Rosulpun tidak kehilangan derajat kerosulannya hanya lantaran Rosul juga sering nampak berjalan di pasar-pasar untuk ber ma’isyah (QS 25:7). Jadi sepanjang tidak melanggar kaidah syar’I, jenis usaha apapun di dalam Islam tetap dibenarkan. Bahkan di setiap lini kehidupan ekonomi, ummat Islam hendaknya ada di sana sehingga jika kelak الله memperkenankan syariat Islam Berjaya, maka dari sisi ekonomi, telah siap menuju ekonomi Islam.

Karena itu, memperkuat diri dalam lapangan ma’isyah sangat dianjurkan untuk menopang jalannya roda perjuangan dalam arti menopang terwujudnya “Laa syarqiyyatin wala ghorbiyyah” (QS 24:35) yaitu kemampuan menghidupi Islam dengan tidak menceburkan diri ke dalam atau menggunakan cara-cara barat (idealistic) ataupun cara-cara timur (materialistik). Islam memiliki corak sendiri, karena itu akan tumbuh dengan caranya sendiri pula. Islam akan hilang ruh juangnya kalau terjadi talbis (pencampuadukan) antara Islam dengan yang bukan islam.