Seorang Mujahid haruslah menyadari bahwa negaralah yang menshibghah ummat yang ada di dalamnya, bukan seperti perkiraan banyak orang bahwa ummatlah yang menshibghah Negara. Jadi sesungguhnya warna ummat atau rakyat suatu Negara ditentukan oleh warga Negara itu sendiri. Pada sebuah Negara yang berwarna komunis tentu saja akan terbentuk masyarakat komunis. Demikian pula halnya pada Negara sekuler, sudah barang tentu masyarakat yang tercipta adalah masyarakat sekuler meskipun di dalamnya ada orang-orang islam yang taat. Bahkan meskipun jumlah penduduk muslim di Negara tersebut mencapai 80% akan tetapi karena Negara tempat mereka tinggal adalah Negara sekuler otomatis kehidupannya akan berwarna sekuler.

Mungkin dirinya, keluarganya, tetangganya atau jamaahnya telah menjalankan ibadah dengan sempurna dan sesuai dengan kaidah Qur’an maupun hadits shohih, tetapi ia pasti tidak bisa lepas dari lingkungan dimana dia tinggal. Mungkin ia rajin sholatnya, tetapi ia tidak bisa mengadukan kepada Pak RT agar menertibkan orang-orang islam yang tidak sholat karena Negara tidak pernah menyuruh Pak RT menindak orang-orang Islam yang meninggalkan sholat. Mungkin ia dan jamaahnya bisa meninggalkan perjudian dan maaf main perempuan, menjauhi minuman haram atau narkoba, tetapi karena Negara dimana ia tinggal menganggap ma’ruf terhadap perjudian, lokalisasi dan produksi bir atau narkoba (bahkan dikukuhkan dengan UU) maka ia dan jama’ahnya tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak bisa mencegah tetangganya yang muslim untuk menjauhi semuanya itu. Polisi yang ditugasi menjaga keamanan juga tidak bisa berbuat banyak. Polisi hanya akan mengamankan si pemabuk dan tidak akan pernah menghancurkan pabriknya. Sebab meenghancurkan pabrik bir berarti menghancurkan asset Negara sedangkan menghancurkan asset Negara sama dengan meruntuhkan Negara. Dan tentu saja tidak dikehendaki oleh Negara itu sendiri.

Jadi, kembali kepada pokok persoalan bahwa negaralah sebetulnya yang menshibghah rakyatnya. Adanya Kiai, Ustadz, cerdik cendikia, pesantren-pesantren atau perguruan tinggi Islam tidaklah lantas identik bahwa hukum Islam bila dengan mudah diterapkan kalau negaranya sendiri tidak menghendaki demikian.  الله انشا  tidak mungkin terjadi Islam Kaafah sebagaimana yang الله perintahkan dalam QS 2:208 jikalau memang Negara tidak menghendakinya.

Dengan demikian sudah jelas bagi seorang Mujahid bahwa untuk menerapkan Islam secara totalitas (kaafah) hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah Negara yang memang mencita-citakan tegaknya hukum Islam. Tidak peduli apakah Negara tersebut masih dalam taraf diperjuangkan atau sudah terbentuk embrio atau mungkin malah dalam pengasingan, bagi seorang Mujahid adanya Negara dengan cita-cita tinggi menerapkan syarat Islam seperti ini sudah mencukupi bagi dirinya untuk bergabung bahu membahu dalam rangka membesarkannya. Memang demikianlah contoh yang bisa dikaji dari kisah Musa as (QS 10:87), kisah Rosul Muhammad Saw dengan Darul Arqomnya dan makna tersirat dari QS 24:35. Ia juga tidak peduli dengan tuduhan keji yang merusak citra Negara yang sedang ia perjuangkan sebab ia menyadari bahwa jika terjadi pertikaian antar Negara maka Negara yang lebih kuat akan memberitakan hal-hal yang sifatnya negatif dan bila perlu Negara tersebut melakukan pengrusakan dengan mengatasnamakan Negara lawan. Tentu Mujahid bisa belajar dari perang Arab-Israel atau AS-Libya, dll.

Inilah penjelasan tentang kesadaran Mujahid dalam hal bernegara. Sekali lagi tidak ada kamus bagi seorang Mujahid untuk memperjuangkan Islam dalam wadah yang bukan Islam. Lebih baik dia seperti pengikut Isa yang mungkin harus mati sebelum Islam jaya (QS 61:14) asalkan dalam perjuangannya tidak mencampurkan diri dalam system thogut karena الله memang melarangnya (QS 16:36). Dan selamanya yang namanya thogut pasti menyesatkan (QS 4:60). Sebaik apapun sistem thogut tetap serapuh-rapuh system (QS 29:41).

Sebaliknya sesederhana apapun sebuah Negara yang mencita-citakan tegaknya aturan Islam. الله انشا berangsur-angsur akan menuju kesempurnaan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (QS 2:286). الله juga telah menentukan “Sesungguhnya Aku dan Rosul-rosulKu akan menang”. Sesungguhnya الله Maha Perkasa (QS 58:21). Wallahu ‘alam bissawab…