Di dalam QS 17:78-82, secara tersirat tahapan kemenangan Islam sebagai system dimulai dari kemenangan ruhiah (QS. 17:78-79), kemudian kemenangan structural (QS. 17:80-81), dan tahap berikutnya adalah kemenangan hukum Islam (QS. 17:82). Jadi, pasti tidak “nyunnah” mengharapkan kemenangan secara kaffah (QS. 2:208), manakala kemenangan ruhiah belum diraih. Karena itu seorang Mujahid hendaknya senantiasa memperhatikan aspek ibadahnya. Ia harus berusaha agar ibadahnya bernilai ibadah “Shohihah” yaitu ibadah yang memiliki dasar secara structural : Al-Qur’an, Hadits Sholih, dan Keputusan Pemerintah.

Seorang Mujahid harus piawai dalam persoalan-persolaan kaidah ibadah. Ia seyogyanya mengerti betul hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah yang dilakukannya. Jangan sampai ibadah yang dilakukannya atas dasar sangka-sangka sebab persangkaan tidak akan bermanfaat bagi kebenaran (QS. 53:28). Jangan pula ibadah tadi melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Rosul (QS. 49:1) dan jangan pula ibadah yang dikerjakannya karena mengharap pujian manusia sebagaimana orang munafik melakukannya (QS. 4:142). Jadi, ibadah seorang Mujahid adalah ibadah yang tidak sekadar berhenti dikerongkongan tetapi harus tembus ke jantung hatinya (QS. 4:43).

Perlu kiranya seorang Mujahid mengetahui bahwa arti ibadah tidak hanya terbatas pada ibadah sholat, zakat, puasa dan haji. Tetapi sesungguhnya seluruh kegiatan hidupnya dari bangun tidur sampai tidur kembali bisa bernilai ibadah manakala dilandasi dengan kaidah Rosul (QS. 24:55). Tanpa kaidah Rosul ini, aktifitas hidup  الله انشا bisa menjadi bernilai maksiat. Sedangkan hadirnya maksiat akan melemahkan kekuatan Al-Haq. Simaklah penggalan surat Amirul Mukminin Umar bin Khottob yang ditujukan kepada para Mujahidnya dalam perang Qodisia melawan Persia dengan ungkapan sebagai berikut:

“… Dan aku perintahkan kepadamu dan seluruh Mujahidin agar menjadi orang yang waspada terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan oleh musuh-musuhmu. Sebab dosa yang dilakukan oleh seorang Mujahid lebih berbahaya dari pada musuh yang dihadapinya.

                Sesungguhnya seorang Mujahid akan mendapat pertolongan الله apabila ia menjauhkan maksiat dari dirinya. Seandainya tanpa menjauhkan diri dari maksiat, kita tidak mempunyai kekuatan sedikitpun. Sebab Mujahid kita berjumlah jauh lebih sedikit dari pada musuh yang dihadapi. Begitupun perlengkapan kita, tidak selengkap peralatan yang dimiliki musuh. Jika kita menyamai mereka di dalam kemaksiatan tentu mereka lebih unggul dari kita. Dan bila kita tidak dibantu dengan keutamaan yang kita miliki, maka kita hanya mengandalkan kekuatan fisik dan tidak akan mampu mengalahkan musuh.

                Ketahuilah bahwa di atas kalian ada penjaga dari الله yang mengetahui seluruh perbuatanmu. Karena itu malulah terhadap mereka dan janganlah berbuat maksiat kepada الله padahal kalian sedang berada di jalanNya…

Akhirnya pada Mujahid yang dikomandoi oleh Shahabat Sa’ad bin Abi Waqosh ini memenangkan peperangan di Qodisia ini. Dan inilah hikmah kekuatan ibadah shohihah yang dapat menghancurkan kebatilan. Fa’tabiru ya Mujahidin…..