Wahyu yang pertama turun kepada Rosululloh SAW adalah lima ayat pertama dari surat Al-‘Alaq. Kelima ayat ini turun mendahului ayat-ayat syari’at, hijrah, dan jihad serta hukum-hukum islam lainnya. Wahyu pertama ini seolah-olah ingin memberi pelajaran kepada manusia bahwa sebelum manusia menerima secara utuh Al-Islam maka sikap pertama yang harus dimilikinya adalah kemampuan beriqra yaitu kemampuan untuk membaca dengan seluruh indrawi yang telah الله anugerahkan kepada dirinya.

Arti Iqra yang sesungguhnya adalah mengumpulkan yang terserak sehingga memberi makna. Jadi kalau pengertian iqra dikaitkan dengan membaca maka iqra berarti mengumpulkan serakan huruf sehingga memberikan makna dan berdaya guna. Di QS. 62:2-3, الله berfirman “Dialah الله yang telah membangkitkan di antara orang-orang ummi seorang Rasul dari kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata. Dan juga kepada orang-orang lain yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Memperhatikan QS. 62:2-3 tersebut, maka sesungguhnya makna iqra bukanlah sekadar melafalkan huruf yang sudah tersusun saja, tetapi juga mampu mensucikan dan sekaligus memandaikan. Mensucikan artinya bahwa apa-apa yang telah dibacanya memberi daya dorong untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama sedangkan memandaikan artinya apa-apa yang dibacanya tetap menghujam dalam dadanya sehingga menjadi pelita, menjadi penerang setiap langkah kehidupannya sehingga manusia di sekelilingnyapun ikut menerima cahaya kebenaran yang ia bawa.

Karena itu, sudah seharusnya setiap Mujahid memiliki kesadaran untuk mau membaca. Sebab dengan membaca akan banyak menyerap informasi dan memperluas cakrawala berfikir. Semakin luas cakrawala berfikir semakin mampu menimbang informasi untuk kemudian mengambil yang terbaik. Kemampuan mengambil informasi yang terbaik dalam Al-Qur’an disebut dengan Ulul Albab. Dan Ulul Albab inilah yang memiliki hak mendapat petunjuk dari Robbnya (QS. 39:18). Sedangkan sebaliknya orang-orang yang tidak mengerti sesuatupun tentang kebenaran (tidak mendapat petunjuk), maka الله menyebutnya sebagai seburuk-buruk binatang melata (QS. 8:22).

Seorang Mujahid hendaknya terbuka untuk menerima informasi dari mana saja datangnya. Sekalipun informasi tersebut datang dari anak kecil, atau dari bawahannya atau datang dari orang yang sangat junior sekalipun. Kalau itu memang benar, wajib bagi Mujahid menerimanya. Sebab الله menginformasikan kebenaran tidak selalu melalui para utusanNya tetapi adakalanya melalui orang-orang biasa. Dan bahkan kadangkala melalui binatang yang kelihatannya tidak berguna (QS. 2:26). Jadi, tidaklah menjadi tabu kalaulah Mujahid menerima dari pintu mana saja, jika kebenaran itu bisa dipertanggungjawabkan di hadapan الله, Rasul dan Ulil Amri.