Pengakuan terhadap pemimpin tidak bisa atas pertimbangan adanya jasanya yang terdahulu karena telah membina diri kepada keislaman. Perhatikan petikan ayat yang bunyinya:

“…sebenarnya Allah Dia-lah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Q.S. Al Hujurat : 17).

Dengan memperhatikan petikan ayat diatas itu, jelas yang menunjukkan kita ke jalan yang haq, pada hakekatnya ialah Allah SWT. Tidak didapat dalam sejarah Rasul SAW bahwa pengakuan terhadap pemimpin itu didasari karena jasa dalam pembinaan atau dakwahnya. Bila ukurannya demikian, bisa-bisa jika ada seratus pendakwah yang diidolakan, maka ada seratus pemimpin yang masing-masing diangkat oleh masing-masing yang mengidolakannya, atau oleh masing-masing yang merasakan jasa-jasanya.


Musa Terhadap Fir’aun

Pengakuan terhadap pemimpin merupakan hak. Maka, tidak boleh atas dasar jasanya terhadap kita dalam bentuk apapun. Sama saja dengan “hak pengakuan” seorang anak terhadap ayahnya. Bilamana si anak itu dari kecil hingga dewasa diurus oleh orang lain, maka hak pengakuan dan waris serta kewajiban-kewajiban si anak terhadap ayahnya tetap tidak putus, walau ayahnya itu dianggap tidak berjasa membesarkan si anak tadi.

Untuk yang berpegang pada yang “Haq” tidak bisa dihadang oleh “jasa” seseorang yang telah diberikan terhadap kita. Berkenaan dengan “jasa”, perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai sebagian dialog antara Nabi Musa dengan Fir’aun :

“Fir’aun menjawab : “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (Q.S. Asy Syu’araa : 18).

“Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas jasa.” (Q.S. Asy Syu’araa : 19).

“Berkata Musa : “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf”. (Q.S. Asy Syu’araa : 20).

Shahabat Besar Terhadap ‘Usamah bin Zaid

Kepemimpinan adalah hak yang menyangkut pemerintahan dengan sendirinya menyangkut kepada peraturan. Jadi, tidak bisa ditentukan oleh berjasa atau tidak berjasa, melainkan ditentukan oleh peraturan sehingga memiliki azas legalitas. Contohnya, Rasulullah SAW telah mengangkat Usamah bin Zaid menjadi Panglima Perang pada usia 17 Tahun, sedangkan yang menjadi prajuritnya diantaranya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tentu jika ditinjau dari segi jasa terhadap Daulah Islamiyah maka kedua sahabat besar itu yang lebih tinggi dari pada Usamah. Akan tetapi, karena eksistensi pemimpin itu tidak ditentukan oleh jasa melainkan ditentukan oleh legalitas, maka sekalipun Abu Bakar dan Umar bin Khattab itu adalah lebih berjasa tapi jika tidak diangkat oleh yang berhak maka bukanlah pemimpin, keadaannya tetap di bawah komando Usamah bin Zaid yang umurnya di bawah 20 Tahun.

Azas Legalitas

Negara tegak di atas undang-undang/peraturan, karena itu tidak bisa di atas kehendak pribadi atau kemauan individu. Dari itu semua posisi kepemimpinan dan tugas yang dijalankan harus berdiri di atas azas legalitas. Artinya atas dasar aturan mana dia diberi izin tampil memegang tanggung jawab. Tampil tanpa dasar aturan, sungguh bertentangan dengan tertib hukum NII.

Apalagi jika sikap itu dilakukan oleh yang telah melarikan diri meninggalkan medan jihad, yaitu meninggalkan Imam NII. Jelas ini merupakan sikap tidak menghargai undang-undang. Sikap tidak proporsional itu, sama sekali tidak sesuai dengan kapasitas yang diakuinya sebagai pemimpin Negara Islam Indonesia. Inilah namanya sikap semena-mena terhadap hukum, seakan-akan negara ini milik kakeknya yang diwariskan kepadanya. Maukah anda menerima kehadiran seorang pemimpin yang sejak awal tampilnya saja sudah melanggar hukum-hukum dasar NII ??