Pengakuan terhadap pemimpin tidak bisa atas pertimbangan adanya jasanya yang terdahulu karena telah membina diri kepada keislaman. Perhatikan petikan ayat yang bunyinya:
“…sebenarnya Allah Dia-lah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Q.S. Al Hujurat : 17).
Dengan memperhatikan petikan ayat diatas itu, jelas yang menunjukkan kita ke jalan yang haq, pada hakekatnya ialah Allah SWT. Tidak didapat dalam sejarah Rasul SAW bahwa pengakuan terhadap pemimpin itu didasari karena jasa dalam pembinaan atau dakwahnya. Bila ukurannya demikian, bisa-bisa jika ada seratus pendakwah yang diidolakan, maka ada seratus pemimpin yang masing-masing diangkat oleh masing-masing yang mengidolakannya, atau oleh masing-masing yang merasakan jasa-jasanya.
Musa Terhadap Fir’aun
Pengakuan terhadap pemimpin merupakan hak. Maka, tidak boleh atas dasar jasanya terhadap kita dalam bentuk apapun. Sama saja dengan “hak pengakuan” seorang anak terhadap ayahnya. Bilamana si anak itu dari kecil hingga dewasa diurus oleh orang lain, maka hak pengakuan dan waris serta kewajiban-kewajiban si anak terhadap ayahnya tetap tidak putus, walau ayahnya itu dianggap tidak berjasa membesarkan si anak tadi.
Untuk yang berpegang pada yang “Haq” tidak bisa dihadang oleh “jasa” seseorang yang telah diberikan terhadap kita. Berkenaan dengan “jasa”, perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai sebagian dialog antara Nabi Musa dengan Fir’aun :
“Fir’aun menjawab : “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (Q.S. Asy Syu’araa : 18).
“Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas jasa.” (Q.S. Asy Syu’araa : 19).
“Berkata Musa : “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf”. (Q.S. Asy Syu’araa : 20).
Shahabat Besar Terhadap ‘Usamah bin Zaid
Kepemimpinan adalah hak yang menyangkut pemerintahan dengan sendirinya menyangkut kepada peraturan. Jadi, tidak bisa ditentukan oleh berjasa atau tidak berjasa, melainkan ditentukan oleh peraturan sehingga memiliki azas legalitas. Contohnya, Rasulullah SAW telah mengangkat Usamah bin Zaid menjadi Panglima Perang pada usia 17 Tahun, sedangkan yang menjadi prajuritnya diantaranya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tentu jika ditinjau dari segi jasa terhadap Daulah Islamiyah maka kedua sahabat besar itu yang lebih tinggi dari pada Usamah. Akan tetapi, karena eksistensi pemimpin itu tidak ditentukan oleh jasa melainkan ditentukan oleh legalitas, maka sekalipun Abu Bakar dan Umar bin Khattab itu adalah lebih berjasa tapi jika tidak diangkat oleh yang berhak maka bukanlah pemimpin, keadaannya tetap di bawah komando Usamah bin Zaid yang umurnya di bawah 20 Tahun.
Azas Legalitas
Negara tegak di atas undang-undang/peraturan, karena itu tidak bisa di atas kehendak pribadi atau kemauan individu. Dari itu semua posisi kepemimpinan dan tugas yang dijalankan harus berdiri di atas azas legalitas. Artinya atas dasar aturan mana dia diberi izin tampil memegang tanggung jawab. Tampil tanpa dasar aturan, sungguh bertentangan dengan tertib hukum NII.
Apalagi jika sikap itu dilakukan oleh yang telah melarikan diri meninggalkan medan jihad, yaitu meninggalkan Imam NII. Jelas ini merupakan sikap tidak menghargai undang-undang. Sikap tidak proporsional itu, sama sekali tidak sesuai dengan kapasitas yang diakuinya sebagai pemimpin Negara Islam Indonesia. Inilah namanya sikap semena-mena terhadap hukum, seakan-akan negara ini milik kakeknya yang diwariskan kepadanya. Maukah anda menerima kehadiran seorang pemimpin yang sejak awal tampilnya saja sudah melanggar hukum-hukum dasar NII ??
November 16, 2009 at 2:56 pm
Ass…. pk ust yg mdah2an sllu istiqomah dlm berjuang. ana mau nanya mngenai status Ust Abdul Qodir Hasan Baraja dan KHILAFATUL MUSLIMINnya. tolong jlskan dgn sejelas2nya. apa hubungannya dgn NII. atas jwabnnya jazakumullah….
Abuqital1:
Wa’alaikum salam warohmatulloh….
Ust. Abd. Qodir Hasan Baraja adalah dulunya “Pejuang DI/ NII” kemudian dengan adanya pemahaman dari personil bahwa pemerintahan NII sudah tidak berjalan maka dia dengan beberapa orang mendirikan “MMI” di jogja. Dalam perjalanannya beliau tidak sepaham dengan arah perjuangan MMI maka dia mendeklarasikan “Khilafatul Muslimin” dan didaulat menjadi kholifah. Padahal kita tahu bahwa Kholifah itu terangkat setelah adanya “Dewan Imamah Dunia” yang terdiri dari negara-negara Islam yang eksis, sedangkan khilafatul muslimin tidak sejengkal tanahpun yang dikuasainya.
Jadi, secara struktural tidak ada hubungannya NII dengan Khilafatul Muslimin walau secara ideologi mempunyai kesamaan dalam memperjuangkan cita-cita.
April 6, 2010 at 2:44 pm
Puji Syukur bagi Allah, Shalawat serta Slama semiga untuk Rosulullah.
Keinginan kuat dari Khilafatul Muslimin dan kita semua tentunya, adalah adanya kesadaran bersatunya Ummat Islam dalam satu jama`ah dalam sebuah sistem(Khilafah)yang kembali akan dibangun berdasarkan contoh dari Nabi(Khilafah `Ala Minhajin Nubuwah). Bersatunya ummat dlm satu kepemimpinan merupakan kekuatan Awal yang kemudian dilanjutkan dengan langkah lanjut menyempurnakan sistem itu sendiri sesuai dengan kebutuhan, memperluas da`wah, membangun aqidah,ekonomi,dll.
Melihat sejarahnya Khilafatul Muslimin didirikan pada tanggal 8 Juli 1997(13 Rabiul Awal 1418H) sedangkan MMI di selenggarakan pd tgl 5-7 Agustus 2000(5-7 Jumadil Ula 1421H), jadi Khilafatul muslimin lahir terlebih dulu. Prakarsa diselenggarakannya MMI salah satunya adalah dari Khilafatul Muslimin guna menyatukan kaum Muslimin dan memilih figur Khalifah, namun ternyata itu tdk terlaksna, sehingga MMI dan Khilafatul Muslimin berjalan sesuai dengan visi dan misi masing-masing.
Dalam Maklumat pada point 9. dikatakan bahwa”Jama’ah / Khilafatul Muslimin ini telah menunjuk seorang figur sebagai Khalifah / Amirul Mu’minin untuk sementara, yaitu :
“ Al Ustadz ABDUL QADIR HASAN BARAJA”
sampai saat terselenggaranya Musyawarah di tingkat Internasional yang akan diikuti Insya Allah oleh para Amir dan Cendikiawan Muslim untuk memilih dan menetapkan Khalifah / Amirul Mu’minin bagi segenap ummat Islam secara konvensional
Secara struktural memang tidak ada hubungan antara NII dengan Khilafatul Muslimin(banyak warga khilafatul Muslimin semula adalah warga NII).
Abuqital1:
Jazaakalloh atas partisipasinya. Tentang Khilafatul Muslimin yg dipimpin Ust. Abd. Qodir Hasan Baradja, Alhamdulillah kami sudah “Shilah” dan “Bermudzakaroh” dengan beliau. Pada waktu itu (-+ 3 thn yg lalu) secara general banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab tentang program perjuangan khususnya di Indonesia, namun kabar baiknya sudah terjadi kesepakatan untuk meneruskan koordinasi dengan beliau, dan sampai saat ini dengan beliau belum bertemu lagi. Mungkin kiranya ikhwah yang di khilafatul muslimin ada yang bisa memfasilitasi pertemuan dg beliau.
Oktober 5, 2010 at 12:40 pm
Salam,
Tidak sulit bertemu dengan Beliau… asal ada kemauan beliau bersedia 24 jam melayani Ummat. Alamat-nya sangat Jelas, dan mudah dijangkau oleh siapa-pun..
Oktober 5, 2010 at 12:42 pm
Salam,…
Afwan,.Kalau NII emang punya berapa Jengkal?..
November 17, 2009 at 4:24 am
Assalamu’alaikum wr.wb.
bapak..mohon penjelasannya tentang Lembaga Kerasulan Indonesia (LKI), Harrakah Nubuwwah Islamiyyah (HANI), Harakah Dakwah Islam (HDI) dari segi legitimasi kepemimpinan. wkt kecil(1984an/SD) sy prnh baca tertangkapnya mereka yg mengaku sbg aktivis organisasi trsebut. Skr sy terdata sbg warganya dari 1998..
Mohon jawaban via email. Terima kasih
Abuqital1:
Wa ‘alaikum salam Wr. Wb.
Jazaakalloh atas partisipasinya. Jawaban sudah dikirim via email akhi.
November 21, 2009 at 3:59 am
Assalamu’alaikum.. Ust. Saya mau tanya tntang hukum islam sekarang di NII, bgmn seandainya ada warga NII yg melanggar hukum, siapakah yg akan menghukumnya dan tempat dilaksanakannya hukuman tsb dimana?
Abuqital1:
Semua warga NII baik mas-ul maupun ummat jika melanggar hukum maka harus mengajukan tahkim (QS. An Nisa [4]: 65). Yang akan memproses hukumnya adalah “Mahkamah NII” dengan mengacu pada Strafrceht (Qonun Uqubat) NII. Jika keputusan hukumnya telah keluar maka eksekusi dari pelaksanaan hukum tersebut disesuaikan sesuai hukum islam di masa perang. Hal ini dikarenakan NII belum mempunyai daerah kekuasaan atau daerah hukum sendiri disebabkan “WILAYAH KEKUASAANNYA TELAH DIRAMPAS OLEH RI” akibat kekalahan perang pada tahun 1949-1962.
April 11, 2010 at 10:06 pm
kok kalah perang tho? katanya tidak kalah. gimana ini?
Abuqital1:
Jawabannya silakan klik link ini https://abuqital1.wordpress.com/2009/10/16/yang-tegar-di-jalan-jihad/
April 12, 2010 at 12:29 pm
Tulisan bapak menyatakan bahwa Islam Taliban tidak kalah, demikian juga perjuangan NII, di https://abuqital1.wordpress.com/2009/10/16/yang-tegar-di-jalan-jihad/
Tetapi bapak di komen 3 blog ini bilang NII kalah perang pada tahun 1949-1962. Barangkali bapak lupa dengan tulisan sendiri. Sangking sibuknya. Atau ada maksud lain dari dua pernyataan berbeda yang tersirat ini?
Abuqital1:
Cobalah anda pahami lagi konteks kalimat tersebut yang sebenarnya sedang menerangkan tentang pelaksanaan hukum.
Insya Alloh saya tidak lupa. Pasca kekalahan perang (1949-1962) yang efeknya dirasakan hingga saat ini yakni https://abuqital1.wordpress.com/about/
“Kalah perang” atau “belum berkuasa/ belum merdeka” BUKAN BERARTI NII SUDAH TIDAK ADA. NII saat ini masih ada dan masih eksis pemerintahannya, para pejuangnya dan konstitusinya. YANG BELUM ADA adalah wilayah kekuasaannya, inilah yang akan kita perjuangkan sehingga HUKUM ISLAM dapat tegak 100%.
Skali lagi saat ini NII SADAR BETUL bahwa NII sedang dijajah oleh RI akibat kekalahan perang sehingga saat ini dalam kondisi DARUL ISLAM FI WAQTIL HARBI (NII dalam masa perang) sehingga dalam pelaksanaan hukumnya pun adalah HUKUM ISLAM DALAM MASA PERANG, silakan klik link ini https://abuqital1.wordpress.com/category/proklamasi-nii-dan-penjelasannya/
April 13, 2010 at 2:04 pm
Benar juga bapak Abuqital, bahwa untuk menjadi sebuah negara harus dilengkapi: adanya pemerintah (aparat dan hukum), punya rakyat, punya wilayah, dan adanya pengakuan negara lain. Sementara itu NII belum punya wilayah, belum punya rakyat, dan belum diakui negara lain. Dengan demikian NII tidaklah disebut sebagai negara apalagi sudah kalah perang.
NII merasa dijajah oleh RI, tapi mengapa kristen, budha, hindu, dsb, tidak juga merasa dijajah??. Padahal hindu ada sejak majapahit, diawal nusantara ini. Apa Tuhannya agama-agama itu tidak memerintah untuk berjuang mendapatkan negara??? Koq tidak mau ikutan berebut. Malahan Islam sendiri saling berebut sesama Islam dan dalam sesama bendera NII lagi.
Dimana salah ini??? Apakah Rasul SAW dulu berangkat hijrah juga berniat untuk mendapatkan negara??? Kalau misalnya iya, mencari dukungan rakyat duluan, apa harus memperoleh negara duluan. Yang saya ingat Rasul mendapat dukungan rakyat terus dapat mendirikan negara. Tidak dibalik dan tidak terbalik.
Tapi kalau misalnya setiap Rasul harus membuat negara, mengapa Rasul Isa AS tidak juga bikin negara. Bahkan Rasul Yusuf AS menjadi pegawai negara lain dan berhasil menjadi pemuka di negara Mesir.
Abuqital1:
Sebaiknya kita sama-sama belajar tentang “Ahkamu Sulthoniyah”. Silakan anda cari sendiri lalu pahami. Satu lagi baca juga tentang Prinsip Hijrah.
Januari 20, 2011 at 12:53 pm
@seyulieang: mau tanya lagi…
Rasul Isa AS dan nabi yusuf berhukum dengan hukum apa?? syukron
April 14, 2010 at 8:57 am
Bacaan satu kubaca aku terbius bacaan satu. Bacaan dua kubaca aku terbius bacaan dua. Bacaan tiga kubaca aku terbius juga. Karena itu aku kembali kepada awal bacaan yaitu AlQur’an. Adakah satu contoh disini yang ramai dibicarakan orang secara bisik-bisik??? Supaya aku tidak terbius dengan bius-biusan serupa.
Abuqital1:
Al Quran itu bukan sekedar bacaan saja, namun jauh lebih dari itu yakni untuk mengatur system kehidupan antar manusia, manusia dengan robbnya dan manusia dengan alam semesta. Untuk itulah Al Quran harus dijadikan sebagai SUMBER HUKUM dalam tatanan kehidupan di negeri ini.
1. https://abuqital1.wordpress.com/2010/01/07/memahami-marifatulloh-bentuk-skema/
2. https://abuqital1.wordpress.com/2009/12/17/memahami-makna-diizinkannya-berperang/
April 16, 2010 at 6:54 am
Bapak Abuqital lebih memahami AlQur’an sebagai apa. Setelah dibaca diambil intisari dan jalan ceritanya sebagai pedoman manusia berhubungan dengan sesama, dengan alam lingkungannya, dan dengan Tuhannya.
Karena itu AlQur’an harus dulu dibaca. Jangan dulu mengutamakan baca-an yang selain AlQuran, karena berbagai bacaan membius pembacanya sebagaimana versi yang dikendaki penulisnya. Jadinya malah bingung.
Beruntung sekali kita manusia, karena Allah SWT memberi kita dengan pedoman AlQur’an dan dengan cara memahaminya yaitu AlHadist. Saya terbius ini dan itu setelah membaca ini dan itu. Dengan AlQur’an inilah kita mengadukan/mengkonfirmasikan permasalahan ini. Apakah benar aku harus memihak dengan ini itu??? Dan AlQur’an ternyata mampu menjelaskan dengan netral tidak membius siapapun kecuali orangnya yang sudah terlanjur kecanduan bius.
Idealnya memang negara ini berisi umat Islam yang menggunakan hukum bersumber AlQuran. Idealnya begitu. Kemudian kenyataan berkembang sampai sekarang ini dan seperti ini. Kembalilah kita konfirmasi kenyataan ini dengan AlQur’an. Adakah di semua zaman dan untuk semua Rasulullah di dalam AlQur’an, semua mendirikan negara atau bernama apapun yang secara faktual dijalankan dengan hukum kitab Allah?? walaupun idealnya tentu begitu. Ada Rasul yang hijrah, ada yang tidak. Ada yang mempunyai kerajaan, ada yang tidak. Ada yang kaya raya, ada yang miskin. Tetapi apakah perjuangan masing-masing semua rasulullah itu terkurangkan daripada dikatai/dibacakan ayat kafir oleh sebagian umat sekarang yang berpihak-pihakan dengan versinya??. Banyak contoh rasul yang tidak hijrah dan tidak mendirikan negara berhukum agama, tetapi adakah keterangan/hujjah yang menyatakan bahwa rasul itu ybs kafir???
Ingat bahwa tugas semua rasulullah adalah sama. “AQ.16:36 Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Dengan demikian AQ menjelaskan bahwa yang dimaksud menjauhi thaghut bukan sepengertian sebagian umat yang sekarang ini. Harus menolak RI dengan segala hukumnya. Kalau misalnya menjauhi thaghut adalah se-pengertian NII maka rasul-rasul terdahulu kena dampak kafir para penulis yang menulis sebagaimana versinya. Bukan begitu bapak??
Abuqital1:
Menggunakan hukum Islam bukanlah masalah ideal atau tidak ideal TAPI KEWAJIBAN yang sudah jelas DIPERINTAH OLEH ALLOH SWT. Adapun dengan kondisi yang ada itulah UJIAN dan RESIKO sebagai seorang MUKMIN. Kita sebagai hamba-Nya hanyalah SEKEDAR MELAKSANAKAN PERINTAHNYA.
1. https://abuqital1.wordpress.com/2009/07/23/sekedar-menjalankan-perintah-alloh-azza-wa-jalla-dengan-semaksimal-kemampuan-berusaha/
2. https://abuqital1.wordpress.com/2009/07/28/sadar-bahwa-tidak-luput-dari-ujian/
Januari 20, 2011 at 12:47 pm
@seyulieang: Rasul mana yang terkena dampak kafir menurut anda dengan pemahaman NII ini??
kemudian mengutip kata kata anda
“Harus menolak RI dengan segala hukumnya. Kalau misalnya menjauhi thaghut adalah se-pengertian NII maka rasul-rasul terdahulu kena dampak kafir para penulis yang menulis sebagaimana versinya. Bukan begitu bapak?”
Rasul mana menurut anda yang tidak menolak hukum penguasanya yang kafir??
atau mungkin menurut anda, penguasa RI tidak kafir??
atau pancasila tidak bertentanga dengah Aqidah islam??
mungkin agar jelas, bisa di jelaskan terlebih dahulu.syukron
April 16, 2010 at 9:28 am
Menggunakan hukum Islam bagi umat Islam adalah kewajiban yang sudah jelas. Itu saya setuju. Memang seharusnya begitu, setiap umat harus menggunakan hukum Islam secara kaffah dan tentu semaksimal mungkin sesuai situasi. Dimulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, masyarakat, dst. Kontek pembicaraan ini tentang menggunakan hukum Islam dalam rangka bernegara. Yaitu NII. Bahwa kenyataan ini adalah kita hidup bersama dalam satu gerbong dengan berbagai umat, belum lagi yang sama-sama Islam-pun terbagi dalam berbagai pemahaman. Kalau persitegangan itu hanya di soalan hukum yang digunakan dalam gerbong ini harus hukum Islam?, apakah tidak menimbulkan yang seperti sekarang ini??? bahkan sesama Islam-pun masih saling berebut.
Dipersoalkan, apakah untuk menegakkan kalimatillah hanya dan harus dengan “hukum Islam di negara ini?(Harus??)”. Padahal tidak semua Rasul berbuat begitu. Padahal lagi tugas semua Rasul ya sama saja, yaitu “Mengajak menyembah Allah dan menjauhi Thaghut” Apakah rasul-rasul yang tidak seperti NII terus tertolak??? Apakah Rasul seperti Rasul Isa AS, Rasul Ibrahim AS, dsb itu tidak berjuang dijalan Allah?? Padahal beliau tidak juga membuat tegak hukum dalam negara/kerajaan dst.
Pendeknya untuk mewaris para Rasulullah dalam menegakkan hukum Allah dapat melalui berbagai cara.
Memang dengan adanya negara NII, ada peluang seseorang dapat memperoleh kekuasaan sebagai pemimpin negara atau aparat. Ada kesempatan yang bukan siapa-siapa dapat menjadi siapa-siapa. Tentu bukanlah seperti sesempit itu perjuangan. Karena orang menduga belum apa-apa sudah berebut, “Akulah NII yang sejati”.
Sekali lagi, saya katakan bahwa menegakkan kalimatillah dengan cara memberlakukan hukum Islam di negara ini adalah baik, dan seharusnya memang begitu. Tapi demikian itu bukanlah satu-satunya cara yang dipertimbangkan membawa keberhasilan tegaknya kalimatillah. Kalau ada cara lain yang dipertimbangkan lebih memberi dampak keberhasilan, mengapa memaksakan kehendak??? Yang justru membawa pertikaian antar umat dan sesama umat. Yang sama-sama meneriakkan gaung “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut”
Januari 20, 2011 at 12:35 pm
maksud antum, cara yang bagaimana yang salah??? dan bagaimana sepengetahuan akhi yang benar??
mudah2an bisa mencerahkan, klo memang itu HaQ
dan, maaf.. thogut itu sendiri yang bagaimana??
kemudian, yang anda kritik dari NII yang mananya???syukron
Oktober 11, 2010 at 6:18 pm
ustad,mohon penjelasan tentang Harakah Nubuwah Islamiyah (HANI) jawaban nya via e-mail ya ustad.salam
Oktober 11, 2010 at 6:33 pm
ustad,tolong kasih tau penjelasan NII mana aja yang masih istiqamah dan murni aqidah nya,dan NII mana yang sdh sesat dan menyimpang dr khittah perjuangan
Juli 5, 2011 at 9:09 am
Khifatul Muslimin ( KM ) Ajaran bukan Ahli Sunnah wal jamaah
1. USt KM Menganggap Orang yang baca Al Qur’an tidak tau artinya dibenci oleh Allah SWt “menurut kami pendapat itu menyesatkan”
2. Lebih Parah lagi kata Ust KM dan Anak Buahnya Orang Yang baca Al Qur’an tidak tau maknanya KUFUR “menurut kami Sangat Sesat”
Khifatul Muslimin tu Adik Kandung NII dapat merusaka Aqidah Umat.. begitu yang diungkapkan oleh Ust dan Anak Buahnya.
Juli 5, 2011 at 9:11 am
Khifatul Muslimin ( KM ) bukan Ahli Sunnah wal jamaah gimana mau jadi khalifah ajaranya ada yang menyesatkan umat…
1. USt KM Menganggap Orang yang baca Al Qur’an tidak tau artinya dibenci oleh Allah SWt “menurut kami pendapat itu menyesatkan”
2. Lebih Parah lagi kata Ust KM dan Anak Buahnya Orang Yang baca Al Qur’an tidak tau maknanya KUFUR “menurut kami Sangat Sesat”
Khifatul Muslimin tu Adik Kandung NII dapat merusaka Aqidah Umat.. begitu yang diungkapkan oleh Ust dan Anak Buahnya.
September 24, 2011 at 11:09 pm
bapak abuqital1, saya mohon penjelasan sejelas2nya yang bapak ketahui tentang HANI/HDI..Dalam blog ini jg pernah dijelaskan terutama bahwa gerakan ini sebagai pecahan dari KW 7. Apa penyebab terjadinya perpecahan hingga terbentuknya faksi-faksi yang salah satunya HNI/HDI. Lalu, apakah HANI/HDI hingga kini masih exist & apa hubungannya dengan Bapak Abuqital. Mohon penjelasan (via email) atas kebingungan saya.
Mei 16, 2013 at 7:19 am
Aslamualaikum pak mau nny siapa ulil amri Nii sekarang,sekarang sy jd anggota adah jaelani itu bisa disebut ulil amri bukan,tolong kirim kealamat email saya terima kasih wslm…