1. Perintah dari Allah Tidak Bisa Dianalisa Dengan Akal yang Tanpa Keimanan Kepada-Nya

Menghayati hidup ini yang mana tujuan kita untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Sudah tentu tujuan berjuang pun sekedar mengemban tugas dari-Nya. Perhatikan kembali ayat yang bunyinya :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ…

“Dan hendaklah kamu menghukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka….”. (QS. Al Maidah : 49)

Dengan ayat diatas itu kita diberi amanat (tugas) menjalankan undang-undang Al-Qur’an. Karena itu yang merasa diberi amanat sedemikian, maka tidak berpangku tangan sebelum Kitabbullah itu bertegak secara nyata sebagai Konstitusi Kerajaan Allah dimuka bumi.

Adapun supaya diri merasa diberi tugas dari Allah, maka membutuhkan rasa keimanan yang mendalam, harus “benar-benar yakin” terhadap ke-Agungan/ke-Kuasaan-Nya ; yang paling berkuasa dalam segala hal. Sehingga hukum-hukum Al-Qur’an itu dirasakan mutlak harus dilaksanakan dalam segala segi kehidupan.

2. Akal yang Disertai Keimanan Menyadari Hakekatnya Kemenangan

Bagi yang meyakini bahwa ketetapan dari Allah itu, tidak bisa ditawar lagi, maka menegakkannya pun merupakan perintah mutlak. Dia masuk ke dalam barisan perjuangan itu tidaklah karena atas dasar memastikan dirinya bakal menang dalam arti fisik. Menang atau kalah, bukanlah persoalan utama bagi selaku petugas yang sejak semula menyatakan diri menerima tugas, dan menyadari tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah. Jadi, persoalan kalah juga diserahkan kepada yang telah memerintah-Nya. Apa saja yang akan menimpa dirinya tidak akan lebih dari akan kembali kepada Allah SWT.

Suatu kemenangan dalam Islam pada hakekatnya bukanlah kemenangan dalam arti fisik semata, melainkan yaitu adanya kesuksesan menghadapi ujian dalam rangka mematuhi tugas beribadah. Sebagaimana Firman Allah yang bunyi-Nya :

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (111)

“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan memberikan surga untuk mereka ; mereka berperang pada jalan Allah kemudian mereka membunuh dan dibunuh, sebagai janji yang benar dari Allah, di dalam Taurat, Injil dan Qur’an. Siapakah yang menepati janjinya daripada Allah ? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 111).

3. Kekalahan Fisik Bagi yang Beriman Merupakan Peluang untuk Mati Syahid

Setelah menyadari “sekedar menjalankan tugas”, kita renungkan mengenai tugas yang telah diberikan kepada Nabi Saw beserta umatnya yang mana jumlahnya masih beberapa belas orang. Diberi tugas mengamalkan perintah-perintah Ilahi di tengah-tengah bangsa yang penuh dengan kebiadaban dan kemusyrikan. Dalam situasi seperti itu, maka tidak sedikit pengorbanan dalam penderitaan. Namun, segalanya itu dapat diatasi. Tentu dalam hal itu tidak didasarkan perkiraan akan meraih kemenangan yang di mengerti oleh akal belaka, melainkan pula dengan keyakinan terhadap “perintah Allah” beserta kekuasaan-Nya. Juga berpedomankan “sekedar pengabdian diri” yang kesudahan urusannya diserahkan kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an maupun hadist tidak didapat keterangan harus menang. Yang ada hanyalah perintah menyusun kekuatan setinggi batas kemampuan (QS. Al Anfal : 60). Perintah menyusun kekuatan tetap berlaku walau dimulai dengan beberapa orang. Sebab, bilamana telah konsisten terhadap perintah tersebut itu, maka tentu tidak terpaku oleh persoalan hidup atau mati. Disitulah letak tawakkal. Berbuat, kemudian berserah diri kepada Allah SWT.

Belum terpisah dari uraian itu, kita lihat petikan ayat yang bunyinya :

… وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ

“…..dan masa-masa kemenangan itu Kami pergilirkan di antara manusia, supaya jelas diketahui oleh Allah, orang-orang yang beriman itu, dan dijadikan-Nya sebagian di antara kamu mati syahid…” (QS. Ali Imron : 140).

Ayat di atas itu diturunkan setelah terjadinya perang Uhud. Pihak muslimin telah mengalami kemenangan fisik pada “Perang Badar”. Kemudian menemui kekalahan dalam “Perang Uhud”. Maka, dengan kekalahan itu diperingatkan jangan berkecil hati. Sebab, bahwa kekalahan pun kemenangan, pada hakekatnya adalah dipergilirkan Allah. Yang mana dari kekalahan itu dapat dijadikan pelajaran guna mengoreksi di mana letaknya kelemahan. Juga, supaya sebagian mu’min didapat yang mati syahid. Dan tersedia pula generasi penerusnya, kesempatan melanjutkan perjuangan.

4. Tidak Sirna oleh Ocehan Musuh, Tidak Membeku Terpendam Waktu, Tidak Mengandalkan AnakCucu

Keunggulan, pula kekalahan ; diputarkan Allah SWT (QS. Ali Imron : 140), maka kekalahan fisik yang pernah dialami umat Islam Indonesia juga bukanlah kepastian untuk terus kalah, meski dalam hal itu telah sekian lama keadaannya dipaksa bernaung di bawah hukum-hukum peninggalan manusia-manusia kafir. Bagi pihak pancasilais bisa saja beranggapan bahwa ideologi mereka itu sakti dan tahan uji. Padahal berapa pun lamanya sesuatu kekuasaan itu bercokol, maka pada hakekatnya belum menjadi kepastian untuk terus berkuasa. Sebab bahwa masa mendatangnya pun belum diketahui. Yang mana bisa juga bila kekuasaan thagut itu telah ditumbangkan, kemudian kekuasaan Islam (penterapan hukum-hukum Islam) akan lebih lama bertegak dari pada yang dialami oleh pemerintah  RI — Pancasila.

Walhasil, karena “Sekedar mematuhi tugas”, maka tekad perjuangan tidak akan membeku terpendam waktu, juga tidak menyusut oleh teriakan berbagai slogan jahiliyah versi modern. Perhatikan ayat yang bunyinya :

وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (65)

“Dan janganlah ocehan-ocehan mereka menggusarkan hati engkau ; karena sesungguhnya kemenangan dan kebesaran, adalah kepunyaan Allah semuanya, Dialah yang senantiasa mendengar dan senantiasa mengetahui.” (QS. Yunus : 65).

Yang akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, hanyalah dalam kehidupan kita. Karena itu kita tidak usah mengutamakan berhitung mengenai masa mendatang yang belum tentu menjadi kehidupan kita. Tegasnya, kita tidak dapat melepaskan diri dari kancah perjuangan dengan mengandalkan anak-cucu yang belum ketentuan. Itu adalah tanggung jawab mereka. Hanya kita kewajiban mendidik dan mengarahkan mereka sebagai penerus. Akan  tetapi, ingatlah jangan mengharap generasi setelah kita menjadi pelanjut perjuangan, bila hal itu hanya untuk alasan ma’af  bagi diri tidak aktif dalam perjuangan sekarang. Allah Maha Mengetahui hati seseorang. Jika anda merasa gentar…, maka tak usah mengutarakan tentang kehidupan anak-anak anda. Nanti bisa-bisa syaitan semakin berani menggoda diri anda. Adakah dibenarkan oleh Islam bila anda mengandalkan anak-cucu, sedang diri sendiri tidak berbuat ? Siapakah yang harus didahulukan dalam mengabdi kepada Allah, serta bertanggungjawab kepada-Nya, kita atau mereka ? Bayangkan saja bahwa sebagian pengikut Nabi Saw pada waktu dahulu pun mempunyai anak-cucu toh kewajiban berperang tetap berjalan.

Mengenai masa yang akan datang tidak dapat kita ketahui dengan pasti, “….Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok….”.(QS. 31 : 34). Apakah kita akan tahu datangnya hari ketentuan dari Allah sehingga anak-anak kita tidak sempat berjihad ? Atau seandainya jangka tempo itu masih panjang, bisakah kita memastikan mereka akan hidup sesudah kita mati ? Sudahkah kita memastikan bahwa keturunan kita itu akan menjadi wakil dalam jihad fiisabilillah ? Dapatkah kita mempertanggungjawabkan diri kepada Allah dengan dalil bahwa tugas menegakkan hukum-hukum Allah itu sudah kita serahkan kepada anak-cucu ?