A. MENEMPATKAN POLA PERJUANGAN RASULULLAH SAW SEBAGAI STRATEGI

Di dalam pemerintahan Islam (pada masa Khalifah Rasyidin), apabila di antara yang beragama luar Islam terdapat yang kemudharatan, maka pemerintah Islam harus memberi pertolongan. Hal itu bukan atas dasar supaya yang ditolongnya itu masuk Islam, melainkan sebagai timbal balik dari kepatuhannya terhadap mayoritas Islam.

Adalah kenyataan bila diantara yang mengaku Islam di Indonesia khususnya dan di negeri lain pada umumnya dewasa ini, merasa bangga dengan adanya kwantitas yang beragama Islam meski dalam pengakuan. Sehingga dari kebanggan itu mengakibatkan hampir-hampir kehilangan jejak perjuangan Rasulullah Saw. Dan sebagian mereka itu lupa terhadap dimana sebenarnya posisi mereka berada. Hampir tidak membedakan mana kawan dan mana lawan. Sehingga sukar menyaring mana informasi dari pihak Islam dan mana yang dari thagut. Segala yang didengar dan dibaca, langsung diterima tanpa dibanding-banding lagi dengan aqidah Islam.

Memang demikianlah keadaannya bila dalam kekuasaan musuh. Sengaja situasi seperti diatas itu diciptakan oleh sebagian yang telah mengaku Islam, sedang perilaku mereka sama dengan syaitan. Maka, celaka bilamana mengekor dalam mengikuti paham mengenai agama yang dikemukakan oleh siapa saja tanpa kita mengetahui landasan kebenarannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Kita dibolehkan berijtihad tetapi, yang hanya pemecahan persoalannya tidak ditemui dalam kedua pedoman yang kita sebutkan itu. Menurut Islam, urusan terbagi dua : yaitu urusan “agama” dan urusan “dunia”. Sebagaimana sabda Nabi Saw :

وَاِذَا كَانَ شَيْئٌ مِنْ اَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَاَنْتُمْ اَعْلَمُوْا بِهِ فَاِذَا كَانَ مِنْ اَمْرِ دِيْنِكُمْ قَالِيْ (رواه امام احمد)

“Apabila ada sesuatu urusan mengenai duniamu, maka kamu lebih mengetahuinya, dan apabila ada sesuatu dari agamamu, maka hendaklah kamu mengikuti aku”. (HR.Imam Ahmad).

Berkenaan dengan tema “Proses Perjuangan yang Wajib Dihadapi”, kita kemukakan bahwa perjuangan Islam bukanlah merupakan taktik. Melainkan, adalah strategi, karena telah digariskan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi Saw. Sebab itu, bahwa berjuang dengan mengikuti sunnah Nabi Saw itu hukumnya “wajib”. Perhatikan sabdanya :

اَلسُّنَّةُ سُنَّتَانِ: اَلسُّنَّةُ الَّتِي فِى الْفَرِيْضَةِ اَصْلُهَا فِى كِتَابِ اللهِ تَعَالَى, اَخْذُهَا هُدًى وَتَرْكُهَا ضَلاَلَةٌ وَالسُّنَّةُ اَصْلُهَا الَّتِى اَصْلُهَا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ تَعَالَى, اَلاَخْذُ بِهَا فَضِيْلَةٌ وَتَرْكُهَا لَيْسَ بِخَطِيْئَةٍ (رواه الطبرانى)

“Sunnah itu ada dua macam : Sunnah di dalam faridhah (wajib), pokoknya di dalam kitab Allah Ta’ala. Mengambilnya menjadi petunjuk , meninggalkannya menjadi sesat. Adapun sunnah yang di dalamnya tidak faridhah, asal pokoknya bukan dari Kitab Allah Ta’ala, mengambilnya menjadi keutamaan dan meninggalkannya tidak bersalah.” (diriwayatkan oleh Thabrani).

Telah dikemukakan bahwa memperjuangkan Islam itu merupakan strategi yang telah dijalankan oleh Nabi Saw, yakni:

  1. Berhijrah atau membuat garis pemisah dari kepemimpinan yang bathil (QS. 5 : 51 dan QS. 7 : 3, QS. 3 : 28).
  2. Menyusun kekuatan militer (QS. 8 : 60, QS. 4 : 71).
  3. Bersikap keras (tegas) terhadap yang merintangi jalannya hukum Islam (QS. 48 : 29, QS. 4 : 89 dan 91, QS. 2 : 191, QS. 8 : 39).

Kesemuanya itu merupakan strategi Islam yang tidak boleh di tawar lagi. Memperjuangkannya itu jelas merupakan urusan agama, maka dalam hal itu harus mengikuti pola dari Rasulullah Saw. Adapun pemecahannya yang dibolehkan dalam pengaturannya oleh kita hanyalah yang berupa “taktik”.

B. ADANYA JAMA’AH YANG RIIL

Kita perhatikan sekilas tentang perjalanan Rasulullah Saw. Beliau mengajak kaum Quraisy untuk masuk Islam di dahului dengan penanaman aqidah Islam terhadap yang diserunya itu. Sehingga bila telah masuk Islam, mewujudlah keislaman yang terisi oleh pengertiannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat berarti masuk ke dalam barisan jihad. Karena itu harus adanya persaksian dari aparat pimpinan Islam. Jadi, ketika mengucapkan syahadat dihadapan saksi-saksi ketika itu pula mereka telah merasa memisahkan diri dari yang bathil. Serta merasa dibebani tugas hingga bersedia melakukan pengorbanan.

Dalam mewujudkan apa yang diperintahkan Allah, tidak pernah kompromi dengan golongan musyrik. Sehingga umat itu tidak mengharapkan pembagian materi dari pemerintah jahiliyah. Semuanya sadar bahwa yang dimiliki oleh muslimin pada waktu itu bukanlah kemewahan hidup, melainkan “hanya keyakinan” terhadap ajaran-ajaran Islam.

Faktor lain yang membuat anggota jama’ah yang riil, bukan saja karena keyakinan terhadap kebenaran Islam, tetapi juga adanya ikatan antara yang dipimpin dan yang memimpin. Sudah tentu bahwa yang dimaksud dengan “ikatan” disini bukanlah suatu ikatan yang mesti resmi diketahui oleh pemerintah musyrik atau kafir, disana pusatnya disini rantingnya. Melainkan, suatu ikatan batin yang dijalin dengan janji (bai’at) antara yang dipimpin dan yang memimpin. Dan diperkokoh dengan silaturahmi antara mereka. Pemimpin harus menyaksikan kekuatan yang kongkrit dari yang dipimpin. Kita perhatikan ayat yang bunyinya : “…dan agar Rasul itu menjadi saksi terhadap kamu sekalian…(QS. Al Baqoroh: 143).

Dengan demikian, maka seseorang menjadi mu’minin itu tidak sekedar meyakini kebenarannya saja, tetapi harus pula menyatakan diri dalam hal keislamannya di hadapan pemimpin yang terdekat.

Bagi pribadi yang mengucapkan kalimat tauhid serta menyadari risikonya dan disaksikan oleh para penegak Kebenaran Ilahi, maka sama dengan yang mengisi formulir selaku aparat Kerajaan Allah yang diwakilkan kepada hamba-Nya di muka bumi. Dan berarti telah berjanji menyerahkan jiwa raga untuk bertugas sesuai dengan aturan-aturan Al-Qur’an dan hadist, sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan-Nya tersebut tadi.

Kesediaan Umar memprolamirkan syahadatnya di hadapan umat yang sedang konfrontasi menghadapi kekuatan bathil, hal itu telah menghilangkan rasa kecurigaan dari pihak mu’minin terhadap dirinya. Sehingga beliau pun diikutsertakan bergerak menunjang perjuangan. Dan terciptalahyassyuddu ba’dhohu ba’dhon (saling kuat menguatkan sebagian dengan sebagiannya lagi). Nyatalah bahwa kesempurnaan Islamnya seseorang itu tidak cukup dengan pengakuan yang cuma dalam konsepsi atau teori, tidak cukup hanya dengan membenarkannya. Melainkan, harus pula dirinya terjun dalam segalanya.  Bila tidak demikian, maka batal pula syahadatnya. Mengucapkan syahadat Islam berarti memproklamasikan diri siap mempertahankan nilai-nilai yang dikandung dalam syahadat, darinya harus siap pula mengkikis perangkat politik lawannya. Sungguh jelas bahwa menjadi penyandang tugas dari Allah tidak boleh puas menjadi mustam’i (pendengar). Akan tetapi, harus menjadi ma’ahu yaitu pengikut Nabi Muhammad Saw (Qs. Al-Fath : 29). Jika sudah mendengar, maka wajib mentaatinya “…dan dengarlah serta taatilah ; dan nafkahkanlah….(QS. Ath Thaghobun : 16). Sebab, jika sekedar mendengar dan mengetahuinya, tetapi tidak menjadi pengikut, maka apa bedanya dengan yang “Mudzabdzabiin (QS. An Nisa : 143).

Insyaflah, bahwa syariat Islam secara sempurna tidak dapat ditegakkan oleh satu orang. Sebab itu bila menjadi muslim yang kaaffah, maka tidak dapat berpisah dari kepemimpinan (kelembagaan). Pribadinya harus terlibat dalam kancah perjuangan dengan pernyataan setia (berba’iat) terhadap sesama mu’min, sebagai titik awal penyerahan diri kepada Allah, dengan risikonya. Masih berkaitan dengan masalah itu, kita perhatikan ayat yang bunyinya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً…(208)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan…..” (Al-Baqarah : 208).

Bagi yang sudah kaaffah itu, berarti sudah berpihak pada Islam dalam segalanya, termasuk tata cara perjuangan Rasul Saw yang dicantumkan pada Al-Qur’an. Karena itu, bahwa berjama’ah yakni berpadu (komitmen) pada kepemimpinan yang menuju terwujudnya kekuasaan yang terpisah dari yang bukan Islam, maka hukumnya fardhu ‘ain (wajib mutlak) walau dalam bentuk (scoup) yang kecil. Soal kecil, adalah soal terbatasnya kemampuan. Lebih lanjut kita lihat ayat yang bunyinya :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا…(103)

“Dan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (batas ketentuan) Allah secara bersama-sama dan jangan bercerai-berai…” (QS. Ali Imron : 103).

C.  BERADA DI DALAM FURQON

1. Penentuan Siapa Kawan dan Siapa Musuh

Menegakkan kekuasaan Islam haruslah didahului dengan tekad berpisah dari struktur kebathilan sehingga terjadi furqan, nyata siapa kawan dan siapa lawan. Nyata pula apa yang harus dipertahankan dan apa yang musti dileburkan. Juga, nyata siapa yang harus dibela dan siapa yang harus dibunuh. Sebagaimana telah terjadi pada Perang Badar dimana terdapat beberapa orang pemuda yang sudah masuk Islam di kota Makkah, tetapi mereka tidak ikut berhijrah kemudian dipaksa oleh konco-konconya Abu Jahal, untuk ikut menyerang muslimin di Madinah. Ketika berkecamuk perang, maka mereka beserta Abu Jahal dibunuh oleh tentara Islam. Sehubungan dengan itu turunlah Firman Allah yang bunyi-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلاَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97)

“Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan malaikat ketika keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya : “Bagaimana keadaanmu ? Mereka mengatakan : “Kami adalah orang-orang yang lemah (terpaksa) di bumi”. Kata malaikat : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu boleh berhijrah padanya. Maka, tempat mereka itu jahannam, dan itulah seburuk-buruknya tempat.” (QS. 4 An-Nisa : 97).

2. Wajibnya Berhijrah

Berada dalam furqon, berarti kita telah berhijrah (dengan arti perjuangan). Mengenai masalah ini penulis membaginya kepada dua makna :

Pertama, Hijrah Tempat Perjuangan. Kita paham bahwa hijrah umat Islam pada zaman Nabi, dari Makkah ke Madinah adalah kejadian sejarah yang telah menambatkan tali persaudaraan guna bahu membahu antara muhajirin dan anshar. Hijrah dalam artian tempat seperti itu bukanlah tujuan utama bagi kita dewasa ini. Sebab, hijrah tempat itu adakalanya harus dilakukan, adakala pula tidak, karena tidak diperlukan. Jadi, tergantung pada situasi dan kondisi. Berarti, hijrah sedemikian itu tidak cukup satu kali, dua kali. Berkenaan dengan itu Rasulullah Saw bersabda :

اِنَّ الْهِجْرَةَ لاَ تَنْقَطِعُ مَا دَامَ الْجِهَادُ (رواه امام احمد)

“Sesungguhnya hijrah itu tidak putus selama berlangsung jihad”. (HR. Imam Ahmad).

Tegasnya, bahwa selama konfrontasi dengan musuh, sedang kita terdesak maka tetap berlaku hijrah tempat. Sabda Nabi Saw pula :

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا قُوْتِلَ الْعَدُوُّ (رواه النسائى, وصحيح ابن حباب)

“Tidak putus hijrah selama diperangi oleh musuh”. (HR. Nasa’i dan Shahih Ibnu Hibbab).

Adakalanya pula hijrah tempat dalam artian perjuangan itu tidak ada, bila telah kembali ke tempat semula. Dalam arti lain, jika tempat yang kita tinggalkan itu telah kita kuasai kembali .

Kedua, Hijrah I’tiqaad. Dalam sejarah umat Islam pada periode Madinah, yaitu masa berhijrah atau setelah mempunyai pemerintahan tersendiri, didapat yang bertugas infiltrasi kedaerah yang dikuasai oleh pemerintah musyrikin. Selaku yang sedang menjalankan misi perjuangan, juga berpedomankan Al Harbu Khud’atu”, artinya “perang itu tipu daya”, maka umat itu memperlihatkan seolah-olah bersikap tunduk terhadap pemerintah musyrik. Berdomisili di dalam kekuasaan serupa itu bukanlah untuk membantunya. Malah sebaliknya, yakni guna melumpuhkannya dari dalam.

Seseorang yang duduk dalam struktur musuh dapat dikatakan sebagai siasat bila didasari perjuangan untuk menumbangkannya. Artinya, bukan tujuan dunia semata. Sebab itu harus didahului dengan pernyataan taat (berbai’at) terhadap pimpinan Islam yang terdekat dengannya sebagai bukti telah berhijrah ke jalan Allah. Mudah dimengerti, bagaimana akan disebut siasat dalam mendobrak kebathilan., bila dirinya sendiri tidak terlebih dulu memiliki bukti kesetiaan terhadap “Lembaga Kebenaran Allah”. Sejalan dengan hijrah dalam bentuk aqidah, kita lihat ayat-ayat Al-Qur’an yang bunyinya :

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ(28) قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلاَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (29) يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (30)

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa-Nya). Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali-Imran : 28).

“Katakanlah : “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, Allah mengetahuinya. Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran : 29).

“Pada hari ketika mendapati kebaikan dihadirkan (kehadapannya), begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya ; ia ingin antara ia dengan masa itu ada tempo yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (Ali-Imran : 30).

Mengenai hijrah aqidah (I’tiqody)  ini, haruslah pula mengetahui perbedaannya dengan hijrah dalam artian geografi (tempat perjuangan). Antara lain sebagai berikut di bawah ini :

  1. Tidak setiap hijrah aqidah mencapai pada hijrah tempat perjuangan. Akan tetapi, setiap hijrah tempat perjuangan, maka harus melalui adanya hijrah aqidah dalam bagaimanapun. Jadi, hijrah dalam bentuk geografi itu akan sangat berat risikonya dari pada hijrah dalam bentuk aqidah.
  2. Melakukan hijrah dalam bentuk geografi harus mempertimbangkan situasi dan kondisi. Artinya, tergantung daya kemampuan. Adapun hijrah dalam bentuk aqidah, adalah wajib dalam kondisi dan situasi apa pun. Sebab, bila tidak melakukannya, maka berarti diri bercampur aduk dengan yang bathil. Yakni masih menginginkan adanya masa yang lama berlindung di bawah pemerintahan yang durhaka terhadap Allah. Soal ini kita sambung lagi pada bagian kelima dalam pembahasan mengenai merobah kemungkaran. Juga, dalam hal hijrahnya umat Islam Indonesia.
  3. Hijrah tempat dalam arti perjuangan, maka tidak terbatas. Yaitu bisa dilakukan “satu kali” atau “berkali-kali” tergantung keadaannya dan kondisinya. Bila daerah yang dikuasai pejuang Islam itu kemudian terdesak oleh musuh, maka bisa saja berhijrah lagi ke tempat lain. Dan untuk selanjutnya mungkin akan beberapa kali pula kota atau daerah yang disinggahi. Sehingga berulang kali berhijrah. Hal itu sesuai dengan bunyi dari dua hadist yang dikemukakan pada uraian di muka tadi : “Tidak putus hijrah selama diperangi oleh musuh.” Dan “Sesungguhnya hijrah itu tidak putus selama berlangsung jihad.” Adapun untuk hijrah dalam bentuk aqidah, hanya dilakukan “satu kali”.