Menghayati hidup ini yang mana tujuan kita untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Sudah tentu tujuan berjuang pun sekedar mengemban tugas dari-Nya. Perhatikan kembali ayat yang bunyinya :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ…

“Dan hendaklah kamu menghukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka….”. (Qs. Al Maidah : 49)

Dengan ayat diatas itu kita diberi amanat (tugas) menjalankan undang-undang Al-Qur’an. Karena itu yang merasa diberi amanat sedemikian, maka tidak berpangku tangan sebelum Kitabbullah itu bertegak secara nyata sebagai Konstitusi Kerajaan Allah dimuka bumi.

Adapun supaya diri merasa diberi tugas dari Allah, maka membutuhkan rasa keimanan yang mendalam, harus “benar-benar yakin” terhadap ke-agungan/kekuasaan-Nya ; yang paling berkuasa dalam segala hal. Sehingga hukum-hukum Al-Qur’an itu dirasakan mutlak harus dilaksanakan dalam segala segi kehidupan.

Sang buruh yang tahu diri, maka akan menyerahkan segala urusan mengenai hal pengabdiannya kepada yang memerintahnya. Dan berusaha sedaya-dayanya agar tidak kena murka dari atasannya. Jadi, kalau sang buruh itu akan menggunakan “akalnya”, paling juga berpikir ; bagaimana bila tugasnya itu tidak dia patuhi, sedang tiada lagi tumpuan hidup selain majikannya. Dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh majikannya itu, maka seandainya proyek atau pekerjaannya itu belum dapat dirampungkan, namun bila dalam melaksanakannya itu sudah sesuai dengan pola yang telah ditetapkan dalam surat perintah (SPK) dari atasan, maka hal itu dapat dipertanggung jawabkan. Berbeda lagi dengan buruh yang menyepelekan kekuasaan majikannya juga ragu terhadap kebijaksanaan dalam surat perintah kerja yang diberikan oleh majikannya, hingga memakai konsep/cara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan dari majikannya, maka pegawai sedemikian rupa itu tetap dalam tuntutan hukum akan ditindak.

Begitu juga bagi seorang hamba yang akalnya disertai keimanan, tentu menyadari bahwa ilmu yang diberikan kepada manusia itu hanya sedikit (QS. 17 : 85) dan sangat banyak ilmu yang tidak diketahui oleh manusia secara realita. Maka, bagaimana pun pandainya manusia, tetap sebagai hamba yang kemampuan berpikirnya terbatas. Jadi, selaku hamba yang takut akan ancaman dari penguasa-Nya, maka dalam melaksanakan perintah Allah tidak menunggu pertimbangan terlebih dulu untuk mengetahui tentang “sebab” atau latar belakangnya. Bila ingin “terlebih dulu” mengetahui latar belakangnya dari pada mematuhi-Nya, berarti tidak percaya terhadap kebijaksanaan dari Allah SWT. Diartikan pula tidak tunduk terhadap keputusan hukum dari-Nya. Sama artinya dengan tidak meyakini Kekuasaan Allah. Juga, berarti tidak berserah diri kepada-Nya.

Dalam hal itu kita perhatikan satu contoh mengenai perintah yang diterima Nabi Nuh As berserta para pengikutnya. Mereka telah diperintah membuat bahtera (QS. 11 Hud : 37). Sedang dalam pada itu dilaksanakannya ditempat yang jauh dari tepi laut. Pada waktu belum terjadi topan dan badai melanda bumi, maka bagi yang akalnya tidak disertai keimanan akan kekuasaan Allah, tentu mengatakan bahwa perintah serupa itu sebagai hal yang tidak dimengerti oleh akal. Sehingga mereka mencemoohkannya.

Apa yang diperbuat oleh Nabi Nuh beserta pengikutnya, membikin kapal ditengah ejekan dari kebanyakan manusia, jelas menandaskan bahwa perintah dari Allah SWT hanya dapat dipatuhi tidak atas dasar pertimbangan akal yang tanpa keimanan. Hanya akal yang disertai keimanan akan membuat analisa, bahwa semua perintah dari Allah adalah sudah dalam kebijaksanaan-Nya. Dan dalam jaminan-Nya.

Sejenak merenung, bagaimanakah sikap kita seandainya perintah serupa itu ditujukan kepada kita, membuat kapal ditengah daratan seperti dulu itu, sedang kita belum tahu banjir akan melanda…..? Dari itulah kita masih beruntung, sebab hanya diperintah dalam hal yang masih terjangkau oleh akal pikiran. Yaitu melawan antek-antek pemerintah thagut yang sama saja dengan kita butuh makan !

KESIMPULAN

  1. Perintah dari Allah Tidak Bisa Dianalisa Dengan Akal yang Tanpa Keimanan Kepada-Nya
  2. Selama masih ada penjegalan terhadap hukum Islam; selama itu pula menuju REVOLUSI ISLAM