RAMBU PERTAMA:
JIHAD AKAN TERUS BERLANGSUNG (ADA) HINGGA HARI KIAMAT

Hari ini, seluruh dunia –kecuali yang dirahmati Alloh— berdiri satu barisan dengan kekuatan ediologinya, politiknya, ekonominya, informasinya, teknologi dan nasionalismenya, dan dengan segala kekuatannya, di hadapan salah satu syiar agama kita yang hanif (lurus), syiar itu adalah jihad fi sabilillah. Sebuah syiar yang Alloh wajibkan kepada kita dengan firman-Nya:


“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal perang itu kalian tidak suka; bisa jadi kalian tidak suka kepada sesuatu padahal itu lebih baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Alloh Maha tahu sedangkan kalian tidaklah mengetahui.”  (QS. Al-Baqoroh: 216)

Dan dengan firman-Nya:

“Wahai Nabi, jihadlah melawan orang kafir dan munafik dan bersikap keras-lah kepada mereka, tempat tinggal mereka adalah jahannam, dan sungguh itu sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. At-Taubah: 73)

Orang-orang kafir berusaha menghapus syiar jihad ini dan memberikan label kepadanya dengan label terorisme dan tindak kejahatan, menjuluki para pelakunya sebagai kaum teroris, orang-orang ekstrim, fundamentalis dan radikal.

Ditambah lagi, orang-orang mu-nafik ikut membantu mereka dengan menjelekkan dan menghalang-halangi jihad dengan cara-cara syetan, ada yang mengatakan jihad dalam Islam hanya bersifat membela diri (defensive), tidak ada jihad ofensiv (menyerang terlebih dahulu). Ada juga yang mengatakan bahwa jihad disya-riatkan hanya untuk membebaskan negeri terjajah. Ada juga yang mengatakan bahwa jihad menjadi wajib kalau sudah ada perintah dari penguasa –padahal penguasa itu menjadi antek yahudi dan salibis—. Sekali waktu ada yang mengatakan bahwa jihad sudah tidak relevan untuk zaman kita sekarang, zaman kedamaian dan undang-undang baru internasional, Na`udzubillah min dzalik, kita berlindung kepada Alloh dari kesesatan-kesesatan ini.

RAMBU KEDUA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN TOKOH

Yang menjadi fokus kami dalam pembahasan ini adalah menegaskan bahwa jihad tidak bergantung dengan pimpinan atau tokoh-tokoh tertentu. Menggantungkan jihad dengan tokoh, baik itu komandan (qiyadah) ataupun mujahidin merupakan bahaya besar yang mengancam kekokohan akidah tentang syiar jihad dalam hati kaum muslimin di sepanjang zaman. Ini akan melemahkan keyakinan diri bahwa jihad akan tetap berlangsung dan relevan di setiap zaman. Bahkan, ini akan menjadi penghalang utama secara psikologis dan manhaj ketika seseorang hendak menapaki jalan jihad serta ingin mengkonsentrasikan diri terhadap syiar agama yang agung ini.

Alloh Ta‘ala telah mendidik shahabat Muhammad SAW untuk hanya bergantung kepada-Nya jua dan kepada agama- Nya. Alloh menerang-kan kepada mereka bahwa menggantungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar, akan berdampak kepada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut sehingga bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya seorang tokoh.

Alloh Ta‘ala melarang para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu, belum pernah Alloh melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka, Alloh melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Alloh ciptakan, dialah Muhammad bin Abdulloh SAW. Alloh melarang mereka bergantung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, Alloh berfirman:

“Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan mem-beri balasan kepada orang-orangyang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 143)

Ayat ini turun untuk mendidik shahabat –Ridhwanulloh ‘Alaihim—, melarang mereka untuk menggunakan methode (manhaj) yang rusak, yang bisa merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu.

RAMBU KE TIGA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN NEGERI

Di antara kekeliruan memahami jihad sehingga pemahanam itu menyimpang adalah menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, ketika di bumi tersebut jihad telah runtuh atau mengalami kehancuran maka secara otomatis akan mengakibatkan ibadah jihad ditinggalkan,ahami jihad yang ke ini akibat menggunakan cara memliru seperti ini, selanjutnya pemahaman itu akan mengkaburkan arti jihad, atau orang yang memiliki pemahaman tersebut akan mengatakan jihad belum waktunya dilakukan.

Sebelum kita lebih dalam menyelami apa itu ibadah jihad, ada satu pemahaman agung yang mesti kita tancapkan dengan kokoh dalam rangka menggembleng diri dengan ibadah yang satu ini, yaitu bahwa jihad ini bersifat ‘alami (global, mendunia), tidak dibatasi oleh garis negara dan sekat-sekat tertentu.

Harus dipahami juga bahwa orang Islamlah yang memerlukan ibadah jihad ini jika ia konsisten dalam menyampaikan agama Alloh Ta‘ala dan menyeru manusia untuk kembali kepada robbnya. Seperti yang dilakukan para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— ketika mereka merambah berbagai pelosok dunia sejak dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka membawa risalah yang isinya seperti yang diungkapkan seorang sahabat bernama Rib‘i bin ‘Amir ketika ia ditanya panglima Rustum dari Romawi:
“Apa yang mendorong kalian datang ke mari?” Rib‘i menjawab: “Allohlah yang mengirimkan kami, Allohlah yang menakdirkan kami datang dalam rangka membebaskan orang-orang yang Dia kehendaki dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Alloh saja,membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam, kami dikirim Alloh dengan mengemban agama-Nya untuk kami ajak manusia memeluknya, jika ia menerima maka kamipun terima dia, siapa yang tak mau terima kami perangi dia sampai kapanpun hingga kami menjumpai janji Alloh.”

“Apa itu janji Alloh?” tanya Rustum, “Surga bagi yang mati ketika meme-rangi orang-orang yang membang-kang masuk Islam, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” Jawab Rib‘i.

Jadi, para shahabat datang dengan membawa pedang sekaligus Al-Qur’an untuk menaklukkan negeri-negeri di dunia. Karena seorang muslim harus selalu sadar kalau dirinya mengemban risalah Nabi Mu-hammad, maka ia juga harus paham bahwa jihad ini cocok untuk segala zaman dan tempat.

RAMBU KE EMPAT:
JIHAD TIDAK TERGANTUNG DENGAN HASIL PERTEMPURAN

Di antara musibah yang merusak keyakinan banyak umat Islam adalah mengkaitkan jihad dengan pertempuran, artinya jika kita menang dalam pertempuran tersebut berarti prinsip dan landasan jihad kita benar, tapi jika kita mengalami kekalahan berarti prinsip dan manhaj kita keliru.

Keyakinan seperti ini tentu saja batil, baik secara akal maupun syar‘i. Keyakinan ini lahir dari lemahnya kepercayaan diri, minimnya iman dan ketidak mampuan untuk bersabar dan mempertahankan kesabaran tersebut. Mengapa secara akal batil? Karena tidak ada hubungan baik menurut pendapat orang dan akal antara prinsip dan hasil yang dicapai, sehingga kegagalan hasil sebuah perjuangan tidak bisa menunjukkan batil tidaknya suatu prinsip atau manhaj.

Adapun kebatilannya secara syar‘i, ditunjukan oleh sebuah hadits Nabi SAW di dalam Shohih Bukhori Muslim bahwa beliau bersabda:

“Ditampakkan kepadaku umat-umat manusia, ada nabi yang lewat hanya dengan beberapa kelompok orang, bahkan ada nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali.”

Lihat, nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali, ia datang tanpa membawa hasil sedikitpun dari dak-wahnya. Tidak adanya seorangpun yang masuk Islam bersamanya tentu tidak menunjukkan bahwa dakwah yang ia emban itu batil atau salah –Mahatinggi Alloh dari itu—ketika ia diutus pada waktu dan tempat yang sudah sesuai. Keyakinan kalau berarti dakwah Nabi ini batil tidaklah diyakini selain oleh orang zindiq.

RAMBU KE LIMA :
KEMENANGAN TIDAK SELALUNYA BERUPA KEMENANGAN DI MEDAN TEMPUR

Banyak sekali kaum muslimin menyangka bahwa orang yang melakukan ibadah jihad ini pasti akan meraih kemenangan di medan pertempuran yang bisa dilihat mata, mereka menyangka bahwa Alloh mensyariatkan jihad dan pasti di belakangnya nanti Alloh akan memberi kemenangan yang nampak mata saja. Ini dikarenakan kebanyakan orang memahami makna kemenangan terbatas dengan kemenangan militer dan kemenangan di medan tempur saja.

Padahal Alloh Ta‘ala mensyariat-kan jihad ini kepada kita dan tidak memberikan jaminan kepada orang yang mengalami suasananya yang mencekam untuk selalu menang, bahkan Alloh menetapkan kekalahan bagi kaum muslimin sekali waktu, seperti dalam firman-Nya:

“Jika kalian mendapatkan luka maka musuhpun mendapatkan luka, dan hari-hari itu Kami pergilirkan antar manusia…” (QS. Ali Imron:140)

TENTANG MAKNA-MAKNA KEMENANGAN

Makna kemenangan pertama: Makna terbesar dari sebuah kemenangan –yang pasti telah dicapai oleh siapa saja yang mau berjihad, baik sendirian atau bersama sama umat— adalah ketika seorang mujahid berhasil mengalahkan nafsunya, mengalahkan syetan yang menggodanya serta mengalahkan ‘delapan perkara yang disukai semua manusia’ dan kesukaan-kesukaan yang menjadi cabangnya, menga-lahkan urusanurusan duniawi yang menarik dirinya, di mana dalam hal ini banyak sekali kaum muslimin yang gagal, bahkan bisa dibilang hampir seluruh umat gagal untuk mengalahkan perkara-perkara ini. Alloh menyebutkan kedelapan perkara ini dalam firman-Nya:

Katakanlah:“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Alloh dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Makna kemenangan kedua: Jika seorang hamba keluar untuk berangkat berjihad, berarti ia telah mewujudkan kemenangan atas syetan yang senantiasa mengintai dan berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk menghalanginya dari jihad. Sebagaimana tercantum di dalam Shohih Bukhori dari Abu Huroiroh t bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:

“Syetan duduk menghadang anak Adam di atas jalan iman, syetan itu berkata kepadanya: “Apakah kamu mau beriman dan meninggalkan agamamu dan agama ayahmu?” Anak Adam itu tidak memperdulikannya dan terus beriman. Kemudian syetan duduk di jalan hijrah, ia berkata kepa-danya: “Apakah kamu mau berhijrah dengan meninggalkan harta dan keluargamu?” ia tidak memperdulikannya dan terus berhijrah. Kemudian syetan duduk di atas jalan jihad, ia berkata kepadanya: “Apakah kamu mau berjihad? Nanti kamu terbunuh dan isterimu akan dinikahi orang, hartamu akan dibagi-bagikan kepada orang lain.” Ia kembali tidak memperdulikannya dan terus berjihad hingga terbunuh. Siapa yang seperti ini keadaannya, menjadi hak Alloh untuk memasukkannya ke surga.”

Jadi, hanya dengan jihadlah kemenangan atas syetan itu tercapai dan seorang hamba bisa menggapai surga Alloh Yang Mahapengasih.

Makna kemenangan ketiga: Jika seorang hamba keluar untuk berjihad, ia telah mencapai kemenangan dan termasuk orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Perhatikan firman Alloh dibawah ini:

“Dan orang-orang yang berjihad di (jalan) Kami, pasti akan Kami tun-jukan kepadanya jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Alloh bersama or-ang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Ankabuut: 69)

Makna kemenangan ke-empat: Ketika seorang telah berhasil keluar untuk berjihad, berarti ia telah menang atas orang-orang yang menghalanginya yang mana mereka ini berasal dari saudara sekulit dan sebahasanya sendiri, bahkan di antara mereka ada yang menggunakan nash-nash syar‘i untuk melegitimasi sikap menghalangi mereka terhadap umat dari jihad. Alloh Ta‘ala telah hinakan mereka dalam firman-Nya:

“Kalaulah mereka keluar bersama kalian, mereka tidak akan menambah-kan apapun bagi kalian selain keka-cauan, mereka mencari-cari fitnah di dalam tubuh kalian dan di antara kalian ada yang suka mendengarkan mereka. Dan Alloh Mahamengetahui akan orang-orang dzalim.” (QS. At-Taubah: 47)

Di antara orang-orang yang menghalangi jihad adalah yang ter-cantum dalam firman Alloh:

“Orang-orang yang tidak ikut berjihad itu merasa senang dengan kedudukan mereka di belakang Rosululloh dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Alloh serta mengatakan: “Janganlah kalian berperang dalam terik panas.” Katakanlah (Hai Muhammad): “Neraka Jahannam itu jauh lebih panas,” kalau mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah: 81)

Makna kemenangan kelima: Ketika seorang mujahid teguh di atas jalan dan prinsip jihad, apapun yang menimpa dirinya, baik kepayahan dan kegoncangan dan komentar-komentar yang melemahkannya, pada dasarnya ini sudah merupakan satu kemenangan. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Alloh meneguhkan orang-orang beri-man dengan perkataan yang kokoh ketika di dunia maupun di akhirat. Dan Alloh menyesatkan orang-orang dza-lim dan Alloh mengerjakan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrohim: 27)

Makna kemenangan ke-enam: Ada kemenangan lain yang dicapai seorang hamba ketika ia keluar untuk pergi berjihad, yaitu ketika ia korbankan jiwa, waktu dan hartanya dalam rangka mempertahankan prinsip-prinsip yang ia pe-gang, dalam rangka membela keya-kinan dan agamanya.

Karena berkorban demi agama pada dasarnya adalah kemenangan itu sendiri, entah kemenangan (militer) berada di fihaknya ataukah di fihak musuhnya. Ia dikatakan menang karena ia menjadi tinggi dengan prin-sip yang ia pegang teguh, ia rela berperang demi membela prinsip tersebut, ia rela mengorbankan nyawanya dengan murah demi menebusnya, itulah kemenangan hakiki walaupun ia menelan kekalahan di medan pertempuran. Alloh Ta‘ala berfirman kepada Rosul-Nya SAW dan para shahabatnya ketika mereka kalah di medan Uhud:

“…dan janganlah kamu merasa hina dan sedih sedangkan kalian adalah lebih tinggi…” (QS. Ali Imron: 139)

Makna kemenangan ke-Tujuh: Kemenangan yang selanjutnya adalah kemenangan yang Alloh berikan berupa kemenangan hujjah dan dalil. Ini dekat dengan makna keme-nangan sebelumnya. Bedanya, keme-nangan ini tidak hanya dirasakan pela-ku yang mendapat kemenangan ini, tapi meluas kepada orang lain, baik ketika orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Yang penting hujjah dia tersampaikan dan memuaskan hati orang walaupun dirinya sendiri lemah dan tidak meraih kemenangan di medan tempur.

Hal ini sebagaimana firman Alloh Ta‘ala mengenai kemenangan hujjah yang diraih Nabi Ibrohim AS atas kaumnya setelah sebelumnya mela-kukan perdebatan, firman-Nya:

“Dan itulah hujjah-hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim atas kaumnya, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki, sesungguhnya robbmu adalah Maha- bijaksana lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-An‘am: 83)

Pengangkatan derajat di sini maknanya adalah kemenangan. Alloh juga memenangkan Nabi Ibrohim atas raja Namrud ketika ia membantah dakwah beliau, Alloh berfirman:

“Tidakkah engkau perhatikan orang yang mendebat Ibrohim mengenai robbnya, orang itu diberi kekuasaan oleh Alloh, ketika Ibrohim menga- takan: Robbku adalah yang menghi- dupkan dan mematikan. Orang itu berkata: Aku juga bisa mematikan dan menghidupkan. Ibrohim berkata: Sesungguhnya Alloh menerbitkan matahari dari timur, maka terbit-kanlah matahari itu dari barat,” maka heran terdiamlah orang kafir itu. Dan Alloh tidak memberi petunjukkepada orang-orang dzalim.” (QS. Al-Baqoroh: 258)

Makna kemenangan ke-delapan: Di antara bentuk kemenangan yang Alloh berikan kepada para muja-hidin adalah dengan menghancurkan musuh mereka dengan menimpakan musibah dari sisi-Nya, musibah ini terjadi disebabkan karena jihad yang dilakukan para mujahidin.

“Betapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Alloh, dan Alloh bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 249)

“Dan Kami hancurkan apa yang diper-buat Firaun dan kaumnya serta apa yang mereka bangun.” (QS. Al-A‘roof: 137)

Makna kemenangan ke-sembilan: Bentuk kemenangan lain, jihad menjadi penyebab fakirnya orang kafir dan sebab matinya mereka di atas kekufurannya serta terhalanginya me-reka dari memperoleh hidayah. Ini termasuk kemenangan terbesar.

“Dan Musa berkata: Duhai robb kami, sesungguhnya Engkau telah membe- rikan kepada Firaun dan pengikutnya perhiasan dan harta benda di dunia, ya robb kami mereka mengguna- kannya untuk menyesatkan manusia dari jalan- Mu, ya robb kami hancur-kanlah harta mereka dan keraskanlah hati mereka sehingga mereka tidak akan beriman sampai melihat adzab yang pedih.” (QS. Yunus: 88)

Permintaan Nabi Musa ‘Alaihis Salam terhadap perkaraperkara ini menunjukkan jika perkara-perkara yang beliau minta tersebut terwujud berarti kemenangan hakiki berada di tangan. Kekalahan apakah yang lebih besar daripada ketika Alloh keraskan hati orang kafir sampai mereka jumpai adzab yang pedih? Ketika kaum mukminin nanti berbahagia dengan posisi yang diceritakan Alloh dalam Al-Quran ketika mereka mengatakan kepada para pemimpin orang-orang kafir:

“Rasakanlah (siksa neraka) sesung-guhnya kamu itu maha perkasa lagi maha mulia.” (QS. Ad-Dukhon: 49)

Jadi, kesombongan, keangkuhan dan keangkara murkaan orang-orang kafir serta klaim bahwa merekalah pembela kebebasan, pembela perada-ban dan orang yang memerangi tero-risme, itu semua akan berakhir de-ngan habisnya masa kehidupan mere-ka yang barangkali tidak akan ber-langsung lama. Setelah itu, mereka akan berpindah ke suatu tempat yang kaum mukminin merasa terobati hatinya dengan melihat mereka ada di tempat tersebut, ketika dikatakan kepada mereka:

“(Penduduk surga itu) berkata: Tidak- kah kamu mau melihat teman kamu itu? Maka iapun melihat dan menjumpai ia berada di tengah-tengah neraka jahim.” (QS. Ash-Shoffat: 54-55)

Makna kemenangan ke-sepuluh: Di antara bentuk kemenangan adalah ketika Alloh mengambil seba-gian hamba-Nya sebagai syuhada. Maka setiap hamba yang berjuang dan terluka karena Alloh Ta‘ala semua itu sebenarnya agar ia bisa memperoleh tiket masuk surga. Oleh karena itu, Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia dan agar Alloh mengetahui orang-orang yang benar-benar beriman serta mengambil seba-gian dari kalian sebagai syuhada. Dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imron: 140)

Makna kemenangan ke-sebelas: Bentuk kemenangan lain adalah kemenangan di medan tempur. Inilah makna kemenangan yang difahami oleh hampir seluruh umat manusia. Kebanyakan orang hanya membatasi kemenangan pada makna ini saja. Ini tentu pemahaman yang timpang. Kemenangan di medan tempur tak lain hanya salah satu dari sekian bentuk kemenangan.

“Apabila datang pertolongan dan ke-menangan dari Alloh, dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Alloh dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji robbmu dan meminta ampun-lah kepada-Nya, sesungguhnya Alloh Maha menerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1- 3)

RAMBU KE ENAM:
KETIKA SEORANG MUSLIM TERBUNUH, BUKAN BERARTI IA KALAH

Menegaskan tentang makna ke-kalahan, kami katakan: Permusuhan yang terjadi di ka-langan umat manusia di panggung dunia ini pada hakekatnya adalah per-musuhan prinsip yang selanjutnya diterjemahkan oleh bangsa-bangsa di dunia dalam bentuk peperangan fisik. Khususnya, permusuhan yang terjadi antara orang Islam dan orang kafir. Tetapi lebih dari itu, Alloh memerin-tahkan kita orang Islam untuk mengadakan bentrok fisik (baca: perang) dengan orang kafir.

Mengingat asal permusuhan ini adalah permusuhan prinsip dan keyakinan, maknanya siapa saja yang menanggalkan prinsip dan keyakinan yang ia pegang berarti ia kalah, meskipun secara fisik tetap segar bugar. Tidak berguna lagi keberadaan fisik ketika prinsip dan keyakinan lenyap.

MAKNA-MAKNA KEKALAHAN:
Makna kekalahan pertama: Mengikuti agama dan hawa nafsu orang kafir

“Orang yahudi dan nashrani tidak akan pernah rela kepada kamu (Hai Mu-hammad) sampai kamu mengikuti agama mereka, katakanlah (Hai Muhammad): Sesungguhnya petunjuk Alloh itulah petunjuk (sebenarnya), dan jika kalian mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepada kamu maka tidak ada lagi pelindung dan penolong bagi kamu.” (QS. Al-Baqoroh: 120)

“Dan jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka sesungguhnya eng-kau termasuk orang-orang dzalim.” (QS. Al-Baqoroh: 145)

Makna kekalahan ke-Dua: Ber-mudahanah (kompromi) de-ngan orang kafir

“Maka janganlah kamu mentaati orang-orang yang mendustakan, mereka ingin kamu berkompromi dan mereka berkompromi.” (QS. Al-Qalam: 9)

“Maka janganlah kamu mentaati or-ang-orang yang mendustakan.” (QS. Al-Qalam: 8)

Makna kekalahan yang ke-Tiga: Cenderung dan condong kepada orang kafir dan orang-orang yang mengikuti kebatilan

“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka me-ngambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-ham-pir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benar-lah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.” ((QS. Al-Isro’ : 73-75))

“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang dzalim sehingga kamu akan dijilat api neraka dan tidak ada pelindung bagimu selain Alloh kemu-dian kamu tidak akan ditolong.” (QS. Huud: 113)

Demikianlah, dan akhirnya…
Bagi orang yang mau menghayati makna kemenangan dan kekalahan yang telah kami terangkan di atas, ia akan mengerti dengan jelas betapa jahilnya orang yang menganggap Pemerintahan Islam Taliban kalah.

Dan juga bagi orang yang mau menghayati hakekat kemenangan dan kekalahan diatas, ia akan mengerti bahwa PERJUANGAN NEGARA ISLAM INDONESIA TERUS AKAN BERJALAN SAMPAI TERCAPAINYA CITA-CITA NII YANG TERMAKTUB DALAM PENJELASAN PROKLAMASI NII.