A. MERUPAKAN SUNNAH

Pengangkatan pemimpin berdasarkan maklumat/peraturan sudah dicontohkan oleh Nabi SAW, hanya tentu teknisnya berbeda, karena kondisi perangnya juga berbeda. Akan tetapi, nilainya sama dan tujuannya juga sama, yakni guna kelancaran dalam menghadapi Masa Perang.

Contoh maklumat estapeta pemimpin, yaitu sewaktu menghadapi Perang Mu’tah yang pertama, Rasulullah SAW mengumumkan pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang. Kemudian memaklumatkan juga sederetan nama calon pengganti panglima perang sebagai estapeta pimpinan, sehingga apabila pimpinan itu syahid tidak perlu musyawarah selama calon yang tercantum dalam maklumat itu masih ada.

“…waktu itu nabi SAW bersabda di muka bala tentara kaum muslimin yang telah bersiap lengkap itu, yang bunyinya :

“Jika Zaid tewas, maka Jakfar bin Abi Thalib sebagai penggantinya untuk memegang komando angkatan perang; dan jika Jakfar tewas maka Abdullah bin Rawahah sebagai penggantinya untuk memegang komando angkatan perang.”

Demikian satu riwayat yang lain wasiat tersebut ada tambahannya yang berbunyi demikian :

“Jika Ibnu Rawahah tewas, maka hendaklah kaum muslimin memilih seseorang dari mereka, lalu hendaklah mereka menetapkannya sebagai pemimpin atas mereka sendiri.” (KH. Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, buku Ke-enam, halaman 9 cetakan ke-6).

Kenyatannya hal itu terjadi, selagi Abdullah bin Rawahah yakni orang yang tercantum dalam peraturan itu masih ada, maka tidak diadakan musyawarah. Sunnah Rasul seperti dalam maklumat itu benar terjadi dan menjadi kenyataan. Maka, sudah sepatutnya kita mencontohnya sebagaimana yang dilakukan oleh ummat zaman Nabi Saw. Hal itu terlepas dari apakah untuk pimpinan pusat atau bukan, sebab pada zaman Nabi itu yang menjadi pimpinan pusat ialah Nabi Saw sendiri. Dengan demikian Sunnah (yang dicontohkan oleh Rasul Saw) itu berlaku bagi pimpinan pusat (tertinggi), atau bagi semua jenjang kepemimpinan pada saat sekarang.

Maklumat Komandemen Tertinggi No. 11, tahun 1959 yang dikeluarkan oleh Dewan Imamah NII strategisnya yaitu guna kehati-hatian dalam menampilkan calon Imam dalam Masa Perang. Juga, faedahnya ialah guna persatuan dan mencegah perselisihan. Dari itu jika ada yang mengadakan kepemimpinan di luar aturan, maka merekalah yang membuat perselisihan. Camkanlah itu semua….

B. BUKAN KEPEMILIKAN PRIBADI

Pemimpin tidak mutlak ideal. Sebab, ada beberapa factor untuk tidak ideal dalam menerima pemimpin, yaitu :

  1. Pemimpin adalah milik bersama yakni bukan kepemilikan pribadi.
  2. Dengan itu semua umatnya harus berpijak pada peraturan. Sebab, yang pertama dituntut itu, yakni “adanya”, dan bukan bagusnya dulu.
  3. Jika menunggu dulu hadirnya pemimpin ideal, baru diri siap untuk taat, maka sampai kapan harus menunggu ? Sedangkan berlalu waktu tanpa ada pemimpin yang jelas, karena mengikuti kehendak hati, hal itu berarti melanggar Qur’an surat 4 ayat 59 yang mewajibkan adanya pemimpin untuk ditaati. Berikutnya dalam Qur’an surat 2 ayat 257, yang diambil arti bahwa tidak berada dalam kepemimpinan yang haq, berarti di bawah kepemimpinan Thagut. Relakah diri menjadi Ashabut Thagut sehingga tiap detik identik dengan Ashabut Thagut ? Siapkah niat anda dicatat bahwa mau dipimpin itu bukan karena Allah, melainkan karena bila tercapai ideal anda ?
  4. Sebab, ideal tidak dijadikan ukuran oleh Nabi sebagai syarat kepemimpinan. Sekalipun secara fisik, budak hitam yang kepalanya seperti kismis, misalnya dia wajib ditaati bila berpijak pada azas legalitas, dan selama perintahnya tidak menjurus pada makshiat.

Dari empat point diatas, syaratnya pemimpin bukan ideal atau tidak, melainkan (a). Apakah dirinya memiliki landasan hukum dalam menduduki posisi tersebut ? (b). Apakah program perintahnya tidak menyimpang dari hukum-hukum yang sudah digariskan Allah SWT ? Jika ternyata dia memiliki legalitas dan memerintah pada yang benar kemudian diri tidak mau taat dengan alasan kurang ideal, maka berlindunglah pada Allah dari syetan, sebab jelas pikiran tadi dihembuskan syetan untuk mencegah anda berada pada posisi yang benar. Menolak pemimpin yang jelas di-Nash dalam aturan, adalah sifat orang Yahudi. (lihat Al-Qur’an Surat 2 : 247), kasus Tholut.

Ideal berasal dari kata “ide”=fikiran. Pemimpin ideal bermakna pemimpin yang cocok dengan fikiran/ide/angan-angan. Ide menurut si A belum tentu sama dengan ideal menurut si B, sebab tiap orang punya dan cita-cita tentang ideal menurut pandangannya masing-masing. Bila harapan otak belaka yang dijadikan rujukan, maka 1000 manusia tentu bisa seribu keinginan dan cita-cita, begitu pula seribu cita-cita tentang figur pemimpin menurut kehendaknya masing-masing. Bila keinginan yang harus diikuti, sampai kapanpun tidak akan bisa berhenti, sebab siapa yang bisa membatasi cita-cita dan pikirannya?

Dari itu diadakan “undang-undang”. Dengan itu konsekwensi logisnya, harus ada kesediaan diri untuk membatasi keinginan kita sesuai dengan aturan yang berlaku. Sekarang tinggal diri relakah membatasi keinginan guna taat pada undang-undang?