Kaitannya antara MKT No. 11 tahun 1959 tentang estapeta panglima tertinggi dengan amanat Imam di hadapan para panglima tahun 1959 dalam point 5 antara keduanya tidak bertentangan. Sebelum melanjutkan uraitan ini, kita kemukakan dulu bunyi amanat Imam tahun 1959 dalam point 5. yaitu, “Jika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan panglima, dan yang tertinggal hanya prajurit petit saja, maka prajurit petit harus sanggup tampil jadi Imam”.

Kalimat “harus sanggup tampil jadi Imam”, mengacu kepada kegigihan berjuang dan kesanggupan bertanggung jawab. Artinya, sanggup memimpin perjuangan tanpa menunggu panglima yang belum ditemukan. Kalimat di atas bukanlah sebagai pijakan dasar bagi estapeta kepemimpinan dalam arti jabatan formal kenegaraan secara permanen.

Bisa dibayangkan bila dalam satu pertempuran ada seratus orang prajurit terputus hubungan dengan panglima, kemudian dengan alasan wasiat Imam tadi, sebulan kemudian mereka keluar menemui teman-temannya dan masing-masing mendakwakan diri sebagai “Imam”. Akan bagaimanakah jadinya negara ini ? Bila ini dijadikan pijakan tanpa disertakan undang-undang lagi, maka tiap orang yang berhati bengkok serta pintar memanfaatkan kesempatan punya alasan untuk tampil jadi Imam. Kalau ditanya apa dasar keimaman anda ? Lalu dengan enteng menjawab “dulu saya pernah terpisah dari panglima”. Bisakah kita menerima kenyataan ini ? Ingatlah ! Imam (awal) bicara begitu, di hadapan yang sudah dianggap mengerti aturan, bukan di depan manusia awam yang buta aturan negara.

Jika kita kembalikan kepada Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 16, bahwa yang terpisah dari kesatuan pasukan punya kewajiban untuk bergabung. Artinya, menginduk kepada barisan terpimpin yang masih tersisa, bukan sekonyong-konyong tampil ingin memimpin. Dengan demikian “kesanggupan tampil jadi Imam” hal itu berlaku sebelum bergabung, berjumpa denga “Shaf” yang berdasarkan aturan. Namun, begitu Shaf/barisan terpimpin ditemukan. Ia harus bergabung padanya. Jika demikian baru akan terpelihara kesatuan komando di atas aturan negara yang memberikan hak legalitas kepemimpinan.