Syaikh Muhammad Amin Assy Syanqithi mengatakan ; Secara tinjauan bahasa, tanqih berarti menapis dan memurnikan. Tanqihul manaath berarti menyeleksi ‘ilah (alasan hukum) dan membersihkannya dengan cara membuang apa yang tidak bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum, dan menerima ‘ilah yang benar-benar bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum.” [Mudzakiratu Ushulil Fiqhi hal. 292].

Dalam hal ini, sebagian pihak telah salah ketika mereka mengira bahwa menetapnya banyak umat Islam di beberapa negara dengan aman dan mampu melaksanakan beberapa syiar agama mereka, seperti adzan, sholat, shaum dan lain-lain, sudah cukup untuk menganggap negara tersebut sebagai negara Islam. Bahkan sebagian pihak menyatakan , bagaimana kalian mengatakan  negara fulan adalah negara kafir, padahal di ibukotanya ada lebih dari seribu masjid ? Ini semua jelas bukan standar dalam menilai status sebuah negara, sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa standar untuk menilai sebuah negara terletak pada  faktor pihak yang berkuasa dan hukum-hukum yang diberlakukan. Sifat-sifat lain bukanlah sebagai standar dalam menilai status sebuah negara. Di antara sifat-sifat lain yang harus dibuang dalam kasus ini sebagai bentuk dari tanqihul manaath , adalah sebagai berikut :

1. Agama mayoritas warga negara tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Dasarnya adalah Khaibar yang ditinggali oleh kaum Yahudi. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menaklukkannya pada tahun 7 H, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya (hadits Bukhari no. 4248), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam  lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negara Khaibar adalah kaum Yahudi — sampai ketika Umar bin Khathab mengusir mereka pada masa kekhilafahannya —, meski demikian hal ini tidak menghalangi status  Khaibar sebagai sebuah negara Islam, karena Khaibar berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Hazm menyatakan ; Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam

«أنا بريء من كل مسلم أقام بين أظهر المشركين»

“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah orang-orang musyrik”

Menjelaskan pendapat kami ini. Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dari hadits ini adalah Daarul harbi. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengangkat para pejabat beliau (anshar) untuk daerah Khaibar, padahal seluruh warga negaranya adalah kaum Yahudi. Jika sebuah negara ditinggali oleh ahlu dzimah semata, tidak ada selain mereka (kaum muslimin) yang hidup bersama mereka, maka apabila ada orang Islam yang tinggal di tengah mereka untuk menjalankan pemerintahan atau berdagang,  ia tidak disebut sebagai orang kafir atau orang Islam yang berbuat kesalahan, melainkan ia adalah seorang muslim yang berbuat baik. Negara tersebut adalah negara Islam, bukan negara syirik, karena sebuah negara itu hanya dinisbahkan kepada pihak yang berkuasa dan memerintahnya.” [Al Muhalla 11/200]. Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan,” Bukanlah syarat sebuah negara sebagai negara Islam itu hendaknya di dalamnya ada kaum muslimin, melainkan cukup dengan keberadaan negara tersebut berada di bawah pemerintahan penguasa muslim.” [Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14].

2- Pelaksanaan sebagian syiar-syiar Islam atau syiar-syiar kafir tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Ketika masih di Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah melaksanakan Dien secara terang-terangan. Beliau mendakwahkan Islam, menampakkan secara terang-terangan permusuhan dan berlepas dirinya beliau dari orang-orang musyrik dan apa yang mereka ibadahi. Sebagian shahabat juga melaksanakan sholat dan membaca Al Qur’an secara terang-terangan. Meski demikian, Makkah tidak berubah statusnya menjadi sebuah negara Islam. Kaum muslimin bahkan berhijrah dari Makkah karena kekuasaan di Makkah berada di tangan orag-orang kafir. Dari sini, jelaslah kesalahan pendapat Imam Al-Mawardi yang mengatakan ; (Jika mampu melaksanakan secara terang-terangan ajaran dien di sebuah negara orang-orang kafir, maka negara tersebut berubah statusnya menjadi negara Islam. Menetap di negara tersebut lebih utama dari berpindah darinya, karena diharapkan penduduk lain akan ikut masuk Islam) [Fathul Baari 7/229]. Imam Asy Syaukani menukil pendapat ini lantas mengkritiknya (Pendapat ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits yang mengharamkan menetap di sebuah negara kafir) [Nailul Authar  8/178].

Demikian juga sebaliknya. Adanya beberapa orang kafir –seperti ahlu dzimah—di sebuah negara Islam dan mereka melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka secara terang-terangan, tidaklah mengubah status negara menjadi negara kafir, karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama kafir mereka secara terang-terangan bukan berasal dari kekuasaan mereka, melainkan dari izin kaum muslimin.Dengan demikian, pelaksanaan syiar-syiar agama secara terang-terangan tidak berpengaruh atas status sebuah negara.

3- Keamanan yang dirasakan oleh sebagian warga negara tidak berpengaruh atas status sebuah negara

Orang-orang kafir ahlu dzimmah bisa hidup dengan aman di negara Islam, namun hal ini tidak merubah status negara Islam tersebut. Kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah bisa menetap dengan aman, namun hal ini tidak merubah status negara kafir Habasyah menjadi negara Islam. Pada rentang waktu perjanjian damai Rasulullah dengan orang-orang kafir Makkah (perjanjian Hudaibiyah sampai penaklukan Makkah), kaum muslimin juga menetap dengan aman di Makkah, sehingga mereka bisa melaksanakan umrah qadha’.  Keamanan ini tidak merubah status negara Makkah dari negara kafir menjadi negara Islam. Sampai akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam menaklukkannya. Beliau bersabda : (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Beliau tidak bersabda (Tidak ada hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah). Hadits ini menerangkan bahwa standar penilaian status sebuah negara adalah kekuasaan, bukan sekedar keamanan.

Demikianlah pembahasan tentang tanqihul manaath dan pengetahuan tentang standar penilaian status sebuah negara. Dari sini anda mengetahui bahwa pada hari ini, negara-negara dengan mayoritas penduduk kaum muslimin namun diperintah oleh pemerintahan murtad yang menerapkan undang-undang positif kafir, adalah negara-negara kafir sekalipun mayoritas warga negaranya adalah kaum muslimin yang bisa melaksanakan syiar-syiar Islam seperti sholat Jum’at, sholat berjama’ah dan lainnya dengan aman. Negara-negara tersebut adalah negara kafir karena kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir dan undang-undang yang berlaku adalah undang-undang kafir. Kaum muslimin bisa melaksanakan sebagian syiar-syiar mereka, bukan karena mereka berkuasa, melainkan karena diizinkan oleh penguasa kafir. Jika penguasa kafir tersebut ingin merubah keamanan menjadi ketakutan dan fitnah lewat kekuasaan dan tentaranya, tentulah penguasa kafir tersebut (dengan mudah) bisa melakukannya, seperti realita yang hari ini di banyak negara dengan mengatasnamakan perang melawan terorisme dan kaum fundamentalis.