Dalam buku beliau (Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aziz) yang lain, penulis menerangkan : bahwa sistem demokrasi adalah sebuah sistem buatan manusia, yaitu prinsip mengatur rakyat oleh rakyat. Artinya bahwa kedaulatan itu sepenuhnya di tangan rakyat. Abul A’la Al Maududi menyebutnya dengan istilah “Haakimiyatul Jamaahir”.

Di dalam sistem demokrasi, yang bertindak sebagai pembuat undang-undang adalah rakyat melalui mayoritas wakil-wakilnya yang ada di parlemen. Undang-undang yang mereka buat itu selanjutnya menjadi aturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyat. Karena itulah, maka demokrasi merupakan bentuk syirik (menyekutukan) Allah dan kufur akbar yang nyata, sebab sistem ini telah merampas hak tasyri’ (membuat aturan hidup) yang hanya boleh dimiliki Allah dan memberikannya kepada manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ أَمَرَ أَلاَّتَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ
“Sesungguhnya keputusan (hukum/undang-undang) itu hanyalah milik Allah semata. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya saja.” (Yusuf : 40)

Kufurnya sistem demokrasi cukup dibuktikan dengan realita bahwa ketetapan-ketetapan/ keputusan-keputusan parlemen itu semuanya keluar atas nama rakyat bukan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena inilah maka sistem demokrasi merupakan bentuk ta’lih /mempertuhan manusia yang nyatanyata diharamkan sebagaimana firmanNya:
وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ

“Dan janganlah sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (Ali Imran : 64)

(dikutip dari Al ‘Umdah hal. 176)

Tentang orang-orang Eropa yang memberlakukan sistem demokrasi itu, Al ‘Allaamah Ahmad Syakir berkata, “Dua ayat tentang musyawarah yaitu Ali Imran : 159 dan Asy Syuura : 38, hari ini telah dijadikan oleh orang-orang yang bermain-main dengan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala baik mereka berasal dari kalangan ulama’ maupun yang lainnya sebagai alat untuk menyesatkan dan berbagai takwil ngawur lainnya agar dapat mencocoki/sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini dan sistem yang mereka pakai untuk mengibuli manusia yang mereka sebut dengan sistem demokrasi. Lalu dengan bermodal dua ayat inilah mereka yang bermain-main dengan agama itu menipu rakyat Islam atau siapa saja yang menisbatkan dirinya kepada Islam . Mereka mengucapkan kalimat yang benar tapi dengan tujuan batil. Dengan lantang mereka berkata, “Islam menyuruh agar bermusyawarah (berdasarkan dua ayat tadi).” Atau ucapan-ucapan lain yang semisal ini.

Benar, Islam memang memerintahkan untuk bermusyawarah. Tetapi perintah musyawarah itu ditujukan kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam dan siapa saja dari umatnya yang memegang tampuk kekuasaan, yaitu agar musyawarah itu berlaku di kalangan orang-orang sholih yang benar-benar menegakkan hukum-hukum Allah, bertaqwa kepada Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam :
لَيَلِيْنِي مِنْكُمْ أُوْلُو الأحْلامِ وَالنُهَى
“Hendaklah yang berada di belakangku orangorang yang dewasa dan pandai agama.”

Jadi musyawarah itu tidak berlaku bagi kaum atheis/sekuler yang jelas-jelas memerangi Agama Allah, maupun orang-orang yang suka berbuat kefasikan yang tidak pernah mengingkari perbuatan-perbuatan mungkar. Dan juga bukan orang-orang yang menyangka bahwa dirinya berhak membuat aturanaturan dan undang-undang yang bertentangan dengan agama Allah dan
menghancurkan Syari’at Islam
yang mana keadaan mereka antara kafir dan fasik, yang lebih pas diberi hukum pancung atau cambuk, bukan diberi kedudukan sebagai anggota musyawarah dan tukar menukar pendapat. (Al Umdah : 185186)

Karena sistem demokrasi ini benar-benar memberikan kekuasaan kepada rakyat di dalam membuat aturan-aturan dan undang-undang yang harus ditaati oleh manusia, maka sistem ini jelas-jelas telah menjadi Ad Diin Al Jadiid (agama baru), yang telah mengkafirkan/membuat murtad banyak orang disebabkan mereka memeluknya.

Karena itulah maka kami memutuskan bahwa haram hukumnya berpartisipasi di dalam pemilihan anggota legislatif dalam bentuk apapun, baik dengan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau ikut nyoblos, atau menjadi juru kampanye dan lain-lain. Karena siapapun yang terlibat di dalamnya tidak akan lepas dari kekufuran, atau berwala’ kepada orang kafir atau membela sistem kafir mereka.
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa di antara kalian yang berwala’/menjadi teman setia mereka berarti ia menjadi golongan mereka.” (Al Maidah : 51)

Atau paling tidak “membantu perbuatan dosa”, Allah berfirman :
وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِق ابِ
“Dan janganlah kalian tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.” (Al Maidah : 2)

Dan dalam hal ini, semua bentuk takwil/anggapan dan klaim akan tertolak! Misalnya anggapan adanya kemaslahatan bila berpartisipasi di dalamnya.

Ini disebabkan, bahwa sekiranya syarat-syarat mencapai kemaslahatan itu terpenuhi, maka hal yang demikian ini masih di dalam tataran/lingkup ijtihad. Dan sama sekali tidak boleh ada ijtihad bila Nash telah ada.

Atau anggapan bahwa asalkan disertai niat yang benar, maka terlibat di dalam pemilu itu tidak mengapa. Ketahuilah bahwa Ahlul Ilmi telah sepakat, bahwa niat itu tidak bisa menghalalkan yang haram!! (Al Umdah : 191-192)