Ad Dien (Agama), salah satu artinya adalah undang-undang hidup manusia dan aturan hidup bagi mereka, baik ia benar (Dienul Haq) atau salah (Dienul Bathil). Dalilnya adalah surat Al Kafirun.

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ {} لآ أَعْبُدُ مَاتَعْبُدُونَ {} وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ {} وَلآَأَنَا عَابِدُُ مَّاعَبَدتُّمْ {} وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ {} لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Katakanlah, “Wahai orangorang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menjadi penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak menjadi penyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Qs. Al Kaafirun:1-6)

Jadi Allah menamakan keyakinan kufur mereka dengan kata dien (agama). Dalil lain adalah :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari (memeluk) agama selain Islam niscaya tidak akan diterima dan dia termasuk orangorang yang merugi di akhirat.” (Ali Imran : 85)

Maka di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa ajaran agama selain Islam juga disebut dengan kata Dien (agama), hanya saja agama itu tidak akan diterima.

Dan manakala hukum-hukum positif itu menjadi undang-undang dan aturan hidup manusia di suatu negara yang dasar hukumnya berlandaskan hukum-hukum positif itu, maka hukum-hukum positif itu adalah agama mereka. Dengan begitu mereka telah kafir disebabkan mereka mengikuti agama selain Islam walaupun mereka mengira bahwa mereka masih berpegang terhadap satu ajaran dari ajaran-ajaran Islam.

Keadaan mereka itu seperti orang-orang kafir Arab di zaman Jahiliyah, di mana mereka masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim, yaitu dengan tetap berhaji ke Baitullah, sehingga akhirnya Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi wa sallam pun melarang mereka dengan sabda beliau :
لا يَحُجُّونَ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ
“Setelah tahun ini (Fathu Makkah) tidak boleh ada seorang musyrik pun yang berhaji.”

Sabda beliau ini sebagai perwujudan dari perintah Allah dalam surat At Taubah, yaitu bahwa orang-orang musyrik itu najis tidak boleh dekat-dekat dengan Baitullah setelah tahun 9 Hijriyah.

Keadaan orang-orang muslim hari ini yang berpegang teguh dengan hukum-hukum positif, dan kaum kafir jahiliyah yang memegang ajaran Nabi Ibrahim dengan tetap berhaji itu bersesuaian dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
و م اي ؤ مِنُ أَك ث رَه مْ بالله إلا وَ هُمْ م ش ر ك و نَ
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu beriman kepada Allah melainkan pasti mereka masih berbuat syirik.” (Yusuf :106)”

Mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan shalat dan shiyam dan pada saat yang sama mereka beribadah kepada Thaghut (hukum-hukumnya) di dalam memutuskan suatuperkara atau membuat aturan. Tentu mereka telah kafir dengan itu semua.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ

“Mereka hendak berhukum kepada Thaghut sedangkan mereka diperintahkan agar mengkafirinya.” ( An nisa :60 )

(Sebelumnya hal ini telah diterangkan) Dan bahwasanya berhukum dengan hukum Thaghut berarti telah beriman dan beribadah kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ أَمَرَ أَلاَّتَعْبُدُوا إِلآإِيَّاهُ
“Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah, Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepadaNya.” (Yusuf : 40)

Dan barangsiapa mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam hukum dan berhukum berarti telah beribadah kepadaNya saja.

Inilah hakekat Tauhid…!!!
Dan barangsiapa berhukum kepada selain Allah berarti telah mengibadahinya dan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلاَيُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan.” (Al Kahfi : 26)

Ayat ini secara jelas menerangkan adanya larangan untuk mengambil sekutu bagi Allah di dalam menetapkan keputusan. Maka barangsiapa berhukum kepada selain syari’atNya berarti telah mengambil sekutu bagi Allah di dalam menentukan/mengambil keputusan. Ini jelas merupakan kesyirikan dan kekufuran yang paling besar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَن لَّمْ يَح كُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan (kitab) yang telah diturunkan oleh Allah, berarti mereka telah kafir.” (Al Maidah : 44)

Ini merupakan nash yang jelas tentang kafirnya orang yang meninggalkan hukum Allah dan berhukum dengan selainnya. Seperti mereka yang memutuskan sesuatu dengan undang-undang atau hukum-hukum positif dan hukum internasional.

Ayat ini turun pada orang-orang Yahudi yang menyangka bahwa mereka beriman tetapi mereka tidak mau berhukum kepada hukum Taurat. Allah telah mewajibkan mereka agar merajam kasus
zina muhshan
(zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami/beristri) dan mereka malah membuat hukum baru sebagai pengganti lalu Allah menghukumi/memvonis mereka dengan vonis kafir. Nash ayat ini bersifat umum dan berlaku bagi siapa saja yang melakukan hal seperti itu.

Fenomena hari ini yang terjadi di negeri-negeri Islam adalah sejenis/serupa dengan gambaran sebab turunnya ayat 44 surat Al Maidah. Yaitu adanya kaum yang menyangka dirinya beriman dan Islam sedangkan mereka justru meninggalkan hukum-hukum Allah dan berhukum dengan syari’at buatan mereka.

Anda jangan tertipu dengan orang yang berkata kepada anda bahwa yang dimaksud ayat itu adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar) yang tidak mengeluarkan seseorang dari millah Islam! Sebab pendapat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ini adalah atsar yang dha’if (lemah), karena Hisyam bin Jubair meriwayatkan sendirian dan sekiranya ia benar dari Ibnu Abbas, tentu pendapat ini tertolak, sebab bertentangan dengan pendapat sahabat yang lain. Ibnu Mas’ud misalnya, beliau berpendapat, “Hal itu kufur.”

Dan bahwa ucapan sahabat itu tidak bisa mengkhususkan nash yang bersifat umum sebagaimana ucapan sahabat juga tdak bisa dijadikan hujjah bila bertentangan dengan ucapan sahabat yang lain, tetapi haruslah melalui proses Tarjih untuk menentukan mana yang lebih tepat.

Kata kufur pada ayat ini dalam bentuk ma’rifah (dengan Alif Lam) yang berarti Kufur Akbar. Dan kaidah-kaidah ushul ini sudah merupakan kesepakatan ahli ilmu.

Anda juga jangan tertipu dengan orang yang berkata, “Kufur yang dimaksud ayat ini adalah kufur Akbar tetapi khusus bagi orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau sebaliknya. Ini adalah kekeliruan yang banyak beredar di tengah-tengah umat Islam melalui nukilan-nukilan yang ada di kitab-kitab mereka. Jelas sekali bahwa pendapat ini tanpa dalil dan tanpa landasan ilmu dan keyakinan, tetapi lebih sekedar taklid/ikutikutan. Pendapat seperti ini bagian dari ucapan-ucapan Ghulatul Murjiah (kaum murjiah yang sudah parah kesesatannya) yang bocor dan berhasil masuk di kitab-kitab para Fuqoha’.

Pendapat seperti ini telah tertolak oleh ijma’ shahabat yang mengatakan bahwa dosa-dosa mukaffiroh (yang dapat menyebabkan pelakunya kafir) itu dapat mengkafirkan pelakunya walau hanya dengan terlaksana perbuatan dosa itu tanpa embel-embel apapun. Tanpa melihat ada tidaknya juhud atau istihlal (Ingkar/penghalalan yang haram). Misalnya meninggalkan shalat, sebagaimana yang telah dinukil oleh Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya “Ash Sholat”.

Adapun dosa-dosa ghoiru mukaffiroh (tidak mengkafirkan pelakunya), seperti minum khamer maka pelakunya tidak dapat dikafirkan dengan perbuatannya itu bila tidak disertai penghalalan (istihlal). Sebagaimana ijma’ para sahabat terhadap Qudamah bin Mazh’un.

Dosa-dosa mukaffiroh itu dengan sendirinya dapat mengkafirkan pelakunya bila dilakukan. Inilah pemahaman yang benar yang didasarkan atas Nash Syar’i yang sehat/selamat. dari pertentangan/kesimpangsiuran dalil. Dan di antara contohnya adalah berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan kata lain, apa yang terjadi pada mayoritas umat Islam hari ini adalah jelas-jelas merupakan bentuk istihlal, yaitu penghalalan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakannya sebagai hal yang mubah/boleh.

Mereka membolehkan berhukum dengan hukum-hukum positif bahkan mengharuskan penerapannya, padahal hal itu jelas-jelas diharamkan.

Mereka membolehkan riba, khamer dan zina dengan ridho padahal kesemuanya itu adalah haram secara qoth’i. Dan di dalam undang-undang buatan mereka dinyatakan bahwa tidak disebutkannya sesuatu perbuatan sebagai tindak kriminal/pidana menunjukkan bahwa hal itu boleh dilakukan.

Bila tadi telah saya katakan bahwa hukum-hukum atau undang-undang positif adalah agama baru, maka ini tidak berarti bahwa seluruh penduduk yang mana negaranya berhukum dengannya adalah kafir, tetapi yang divonis kafir adalah mereka yang menjadikannya sebagai aturan, yang memerintahkan dengannya dan yang mengambil keputusan dengannya serta yang ridho untuk berhukum kepadanya.

Lalu bagaimana dengan undang-undang perdagangan, undang-undang pekerjaan, undang-undang kepegawaian serta undang-undang hukum pidana buatan mereka. Dan ternyata semua undang-undang/hukumhukum positif itu bertentangan dengan Syari’at Islam.

Dan bagaimana dengan tidak diberlakukannya hukum-hukum had Syari’at secara menyeluruh di mayoritas negeri yang mengaku Islami?

Kesimpulan masalah ini adalah sebagai jawabannya :
Pertama, Agar anda mengetahui bahwa negeri-negeri yang menyangka bahwa ia negeri Islam dan menginginkan agar diajak berkoalisi bersama Amerika adalah negara negara non Islam , karena negara-negara itu berhukum dengan hukum-hukum selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentunya wajib hukumnya untuk menggulingkan para penguasanya, mencopotnya dan mengangkat penguasa-penguasa muslim di dalamnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam :

وأنْ لا نُنَازِعَ الأمْرَ أهْلَهُ إلا أنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ الله فِيْهِ بُرْهَانٌ

“Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari penguasa yang sah … kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata (yang dilakukan oleh penguasa) dan kalian bukti/dalil yang kuat dari Allah tentang hal itu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Kedua, Setiap muslim wajib berusaha untuk mewujudkan hukum-hukum Alloh disetiap negerinya dan menghancurkan hukum-hukum positif tersebut, maka barangsiapa mau berusaha pasti mendapat pahala, sedangkan yang duduk-duduk pasti mendapat dosa kecuali orang-orang yang menderita udzurudzur Syar’i. Dan barangsiapa yang ridho terhadap mereka, maka ia adalah golongan mereka.