Jika persiapkan diri dan keluarga harus demikian matang bagi seorang mujahid, maka bagaimanakah kasus polygami dalam kehidupan mujahid? Dari sudut laki-laki sendiri, ini tinjauan yang jauh ke depan, bersih dari kehendak, memanfaatkan dalil untuk pemenuhan kepuasan nafsu semata. Polygami dalam kehidupan mujahid, tidak terlepas dari kepentingan perjuangan dan restu pimpinan.

Mengapa untuk menikah lagi perlu idzin komandan segala, bukanlah pernikahan hanyalah urusan pribadi semata? Bagi non mujahid nikah adalah urusan pribadi, tapi tidak demikian halnya bagi pejuang Islam yang tengah berbaris rapat dibawah satu komando jihad.

Sebab bila karena polygami, kemudian tenaga mujahid tadi terkuras habis di sekitar pemenuhan nafkah keluarga belaka, apalagi sampai terhenti jihad gara-gara pertengkaran yang tak habis-habisnya diantara mereka, jika sudah begini, tapi sudah menyangkut kekuatan barisan secara keseluruhan! Dari itu kita mengerti bila komandan perlu turun tangan guna menertibkan masalah polygami. Salah satu taktik lawan untuk merusak citra perjuangan Islam salah satunya dengan cara menyusupkan idndividu atau jama’ah atas nama perjuangan Islam yang suci.  Mereka melakukan tindakan tidak terpuji, ada yang tidak menegakkan sholat fardhu, menganggap enteng sholat nawafil, termasuk polygamy yang sembrono. Di tengah-tengah kesibukan dakwah merekrut ummat dibawah panji palsu yang mereka kibarkan, mereka sibuk pula berlomba-lomba menambah isteri. Mereka lakukan akad pernikahan itu diantara sesama mereka saja, tanpa lebih dahulu minta idzin pada atasannya. Pernikahannya pun tak diseimbangkan dengan kemampuan menafkahi, karena memang tujuannya cuma untk bersenang-senang dan merusak potensi ummat Islam, akibatnya karena lapar tidak bisa dinanti nanti, akhirnya uang infak yang seharusnya tersalur untuk perjuangan, kini mengalir ke dapur orang-orang pintar mereka. Banyak isteri-isteri yang mengeluh, tapi apa dayanya seorang wanita bila telah hamil dan punya anak ….??? Kepercayaan ummat pun memudar, dana terserak-serak pada akhirnya orang jadi alergi dengan perjuangan Islam, tercapailah target musuh mencoreng perjuangan dari dalam.

beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah :

Pertama, Pertimbangkanlah Isteri Anda !

Apakah pernikahan yang kedua ini nanti tidak meruntuhkan moral juang isteri anda? Ini perlu diperhatikan, sebab salah satu bendahara rahasia perjuangan adalah istri mujahid itu sendiri. Sebagaimana kita menjaga hati rekan perjuangan jangan sampai ada yang berbalik benci lalu membocorkan rahasia perjuangan, apatah lagi kita terhadap isteri-isteri kita.

Paparan diatas bukan berarti penulis tidak menyetujui polygami, na’udzubillahi min dzalik, tidak mungkin seorang mujahid membenci apa yang diidzinkan Robbnya. Sebab kita semua sudah mengerti, satu ayat saja dari Al Quran ada yang kita tolak, atau benci, maka hapuslah semua amal (QS. 5:5 ujung ayat, S 47:28, S. 40:4). Yang kita pertimbangkan disini adalah, bagaimana agar polygami itu tidak merusak barisan dan kekuatan perjuangan yang tengah kita susun bersama.

Polygami sesungguhnya ideal untuk mempererat ukhuwwah dan memperkokoh barisan perjuangan, asal jalan menuju ke arah itu benar-benar ditempuh dengan baik. Bagaimana tidak akan kuat rasa persaudaraan diantara keempat orang akhwat, sebab bukankah mereka bukan sekedar satu ‘aqidah’ tapi juga satu suami? Bagaimana tidak akan kuat rasa pembelaan diantara belasan anak-anak mereka, bukankah bukan sekedar karena satu aqidah mereka bersatu, tapi juga karena satu ayah?

Sekarang mari kita jawab dengan jujur seperti itukah kebanyakan suasana keluarga polygami sekarang, atau malah menciptakan ukhuwwah yang renggang dan saling iri diantara para istri? Jika selesai berpolygami urusan perjuangan malah jadi tidak karuan, waktu habis untuk meredakan pertengkaran dan dendam diantara para isteri, moral juang isteri jadi acak-acakan karena situasi hati yang dibakar cemburu. Maka jelas ada yang salah dalam polygami seperti ini. Bukan salah hukumnya, sebab kita sepakat bahwa itu halal, besar kemungkinan kesalahan itu terjadi pada proses awal atau pengelolaannya.

Perlu diingat bahwa ta’addud jauzah (menambah isteri) dalam kehidupan seorang mujahid, senantiasa terikat dengan kepentingan perjuangan itu sendiri. Pernikahan kedua dan selanjutnya, tidak mungkin terjadi karena terlalu sering beradu pandang misalnya, sebab mujahid yang betul-betul mujahid tentu akan disiplin dengan ketentuan Illahi, menundukkan pandangan dari wanita selain isterinya (QS. 24:30, S. 40:19). Juga jelas bukan karena ikhtilat (bercampur gaul) berakrab-akrab, sebab seorang mujahid tidak akan sudi berdua-dua dengan wanita lain tanpa mahromnya, tidak juga membanyakkan senda gurau dengan selain isterinya, mujahid kenal betul dengan syaria’at hijab dan tata bicara (S. 33:32, 53). Juga bukan karena keinginan mencari ‘variasi’, sebab dia tahu bahwa hidup bukan sekedar kenikmatan seksual, tapi ‘aqidah dan perjuangan’!

Memang ada beberapa hal yang memungkinkan seorang mujahid menikah lagi, tanpa merusak pondasi rumah tangga yang lama telah ia bina (dan dicanangkan dibawa sampai ke syurga, QS 43 :70), diantaranya sebagai berikut :

  • Karena Kepentingan Perjuangan dan Pertimbangan Komandan

Dalam situasi perjuangan yang terdesak, banyak tentara Islam yang gugur hingga para janda dan anak-anak yatim yang terlantar. Maka demi menyelamatkan moral juang mereka serta kelanjutan kariernya di front perjuangan (supaya janda syuhada itu tetap bisa berpartisipasi aktif melanjutkan jihad mendukung perjuangan suaminya yang baru, dan anak-anaknyapun tetap tumbuh ditempa panasnya perjuangan), maka beberapa orang mujahid yang “mampu”akan dipanggil untuk diamanahi janda atau anak-anak para syuhada itu. Tentunya yang dipanggil tidak hanya suaminya saja, tetapi juga isterinya untuk diajak musyawarah menerima keluarga baru ini.

Mengapa isterinya juga diajak, sebab bukankah wanita ini akan diamanahkan oleh lembaga perjuangan itu kelak akan bersama-sama berjama’ah beribadah munakahah dengan isteri pertama bahu membahu berbakti pada suami dan mendukung perjuangannya ? Dalam musyawarah itu dibicarakan berbagai hal yang berhubungan dengan kelancaran juang dan pernikahan kelak di kemudian hari. Kita tidak menggunakan istilah ‘isteri tua”, tetapi isteri pertama, sebab dalam perjuangan Islam tidak selamanya isteri yang kedua itu lebih muda dari yang pertama. Istilah “isteri tua-isteri muda” hanya muncul di kalangan non pejuang, yang memang memanfaatkan kebolehan polygamy, untk membungkus keinginan nafsu sex semata, terbukti isteri kedua selalu dicari yang lebih cantik dari isterinya yang pertama. Pertimbangannya nafsu, bukan perjuangan. Dalam perjuangan pun, mungkin saja terjadi, isteri kedua lebih muda, tapi bukan karena mudanya dan meraiknya ia dinikahi, kepentingan perjuangan jugalah yang menjadi ukuran, demikian, harap jelas!!!

Mengajak isteri pertama bermusyawarah, walaupun bukan syarat syahnya nikah kedua dan selanjutnya, tetapi itu jadi syarat kesatupaduan gerak perjuangan berikutnya ! Dan bukankah isteri kita selama ini adalah pendamping perjuangan kita, atau hanya dianggap sebagai “pelengkap penderitaan perjuangan”saja?

Muslim yang baik adalah yang terbaik sikapnya pada keluarga, apakah bukan kebaikan jika kita bermusyawarah dengan isteri tentang keberadaannya sebagai isteri pertama kelak? Di sini moral mujahid diuji, sebab yang pertama kali merasakan ketenangan dan jaminan perlindungan dari seorang mujahid adalah isterinya sendiri … Bila semua pihak menerima dengan baik, maka dimulailah kehidupan baru seorang mujahid didampingi dua mujahidah yang siap mendukungnya.

Disini kita melihat bahwa polygami erat hubungannya dengan strategi pertahanan perang, yang bisa memperkuat soliditas pasukan dalam rangka manunggal dengan rakyat Islam yang dibelanya. Karenanya jika polygami dilaksanakan serampangan, sembunyi-sembunyi dari isteri pertama, bahkan tanpa sepengetahuan komandan pasukan yang bijak, seringkali malah membuka peluang bagi infiltrasi syetan ke tubuh pasukan Islam, dengan meniupkan dendam dan kebencian, bahkan tidak mustahil darinya terjadi pembelotan seorang iteri yang kecewa ke pihak lawan dan membongkar rahasia perjuangan. Harap setiap mujahid mengutamakan keselamatan perjuangan, daripada keperluan syahwatnya!

Atau kasus lain misalnya, disaat yang menyambut seruan perjuangan kebanyakan kalangan muslimah, sehingga jumlah personil front Islam lebih bayak musllimah mujahidahnya daripada muslim mujahid. Jelas tidak mungkin tiap diri ingin berpegang pada motto “Sudesi”(sukses dengan satu isteri), sebab jika demikian, mana kesetiaan kita terhadap saudara perjuangan, hendak dikemanakan muslimah yang tulus mengharap perlindungan syari’at itu ? Mau dinikahkah dengan rakyat musuh? Senapan saja tidak rela bila sampai terebut musuh, apatah lagi sumber daya manusia telah menggenggam informasi perjuangan Islam. Hanya pemimpin yang dayuts (tidak punya kepedulian, lemah rasa tanggung jawab, tidak punya ghiroh. Orang yang dayuts tidak masuk syurga) sajalah yang merelakah muslimah di barisannya menyebrang ke perlindungan lelaki yang tak jelas sikapnya terhadap perjuangan.

Penanggung jawab, dalam hal ini tentu terlebih dahulu akan menccoba menghubungi komandan di pos-pos lain, sebab bukan tidak mungkin di belahan bumi perjuangan yang lain mujahid lebih banyak dari mujahidahnya, lewat koordinasi tadi, dicoba dipertemukan, mengintip taqdir, kalau-kalau memang betul di lauhul mahfudz dua insan di front perjuangan yang berbeda tempat itu ditaqdirkan Allah untuk jadi suami isteri. Ini justru bagus, mempererat tali koordinasi perjuangan. Langkah ini yang hendaknya dicoba terlebih dahulu, jangan mentang-mentang di satu daerah, jumlah mujahidahnya berlebihan, lantas saja ‘dibagikan’ diantara keluarga yang ada. Disamping mungkin bisa menimbulkan masalah baru, tapi juga kurang memperhatikan asas pemerataan.

Insya Allah cara demikian, bersih dari hawa nafsu yang jahat, sebab ketiga pihak (suami, istri pertama dan isteri selanjutnya) menerima atas dasar taat pada pimpinan perjuangan dan dengan penuh kesadaran (ba’da musyawarah), maka segala konsekwensi polygami itu kemudian, akan diterima bersama dengan penuh kesadaran pula. Di sisi lain kita juga bisa menilai sejauh mana kejelian, dan kebijakan komandan dalam mengatur pasukan dan mengayomi rakyat Islam dibawahnya. Akan nampak bedanya antara komandan yang memanfaatkan jabatannya untuk melegimitasi maksud tersembunyi, dengan komandan yang betul-betul tanggung jawab dunia akhirat.

  • Karena Usulan Isteri

Ada beberapa orang muslimah mujahidah, kesadarannya begitu tinggi serta penuh tanggung jawab terhadap perjuangan, cintanya yang utama adalah pada Allah, Rosul dan Jihad (QS 9:24), ia melihat segala sesuatu dari sudut kepentingan ini, ia tidak rela melihat saudaranya seperjuangan terkatung-katung tanpa perlindungan. Pada saat yang sama ia pun merasakan kebahagiaan berumah tangga dengan sang mujahid yang ditaqdirkan Allah untuknya. Terlintas dihatinya untuk berjama’ah nikah dengan saudaranya, sama-sama berbakti, mendukung tugas mujahid yang kini jadi suaminya. Kemudian maksud baik tersebut dibicarakan dengan suaminya dan komandan yang membawahinya. Dari sini kita bisa melihat bahwa polygami berfungsi sebagai perekat ukhuwwah dan perlindungan. Adakah isteri seperti itu, ada! Bila pembinaan aqidah dan tuntutan perjuangan telah sampai ke arah itu, sang mujahidah menghendakinya dangan sadar sebagai konsekwensi perjuangan tanpa merasa dimanipulasi atau dieksploitasi.

Kedua, Pertimbangan Suami

Berangkat ke medan tugas yang jauh terpisah dari keluarga, merupakan masalah tersendiri bagi sementara mujahid, sebagai manusia, dia memiliki naluri biologis. Namun sebagai mujahid, tentu dia tidak akan menyelesaikan sendiri masalah ini mengikut hawa nafsunya, sebab nafsu sudah sejak lama ia perangi sebelum melangkah ke gelanggang jihad. Ia akan mengkonsultasikan masalah ini dengan komandan di tempat ia bertugas dan atasan yang menugasknan, juga isteri yang cintainya.

Kemungkinan pertama adalah memindahkan sang isteri ke tempat tugas suaminya, jika itu tak mungkin dengan berbagai alasan yang tepat, maka kembali persoalannya ke point pertama diatas (Kepentingan Perjuangan dan Pertimbangan Komandan), meminta kerelaan isteri pertama untuk memberi jalan hadirnya muslimah mujahidah lain bersama-sama dia mendampingi suaminya. Jalan musyawarah diantara tiga pihak ini, dipandang perlu, sebab pengambilan keputusan sepihak, bisa saja mengecewakan pihak isteri, bukan tidak mungkin ini mendorongnya untuk membelot, yang akhirnya perjuangan secara keseluruhan harus memikul kerugiannya. Selain pertimbangan diatas, mungkin pula ada orang yang melakukan polygamy karena dorongan seks yang teramat kuat, atau harta yang cukup banyak hingga dirasa mampu mengelola lebih dari satu keluarga. Jika  ini yang dijadikan alasan, maka komandan yang bijak perlu memusyawarahkannya dulu dengan berbagai pihak yang terkait.