Kalau pada point sebelumnya dibeberkan tentang kehidupan isteri dari isteri mujahid, maka pada point ini dibicarakan tentang isteri yang mujahidah dalam artian wanita itupun benar-benar terlibat dan terjun langsung dalam kancah perjuangan sebagaimana halnya suaminya (mujahidah isteri mujahid).

Seorang mujahidah bukan sekedar mendampingi suaminya yang mujahid saja, namun dia sendiri adalah pejuang Islam, sama seperti suaminya! Mereka bahu membahu dengan suami menunaikan tugas di medan jihad. Isteri yang begini sama berdayung dengan suaminya dalam melayarkan bahtera rumah tangga, juga sama berdayung dengan suaminya dalam melayarkan bahtera perjuangan.

Bila mereka bisa membangun saling pengertian, saling bahu membahu dalam rumah tangga, saling membagi waktu untuk semua itu. Inilah isteri yang paling harapan, bukan hanya harapan suami dan anak-anaknya, tapi harapan keseluruhan front perjuangan Islam.

Seluruh problem perjuangan yang dipikul suaminya, sang isteri mengerti pula. Hingga bila suatu saat suaminya berhalangan, maka sang isteri mampu membuatnya tidak terbengkelai, mampu menggantikan dan melanjutkan tanpa tersendat (tentu dalam batas-batas yang dibenarkan syari’at bagi wanita Islam).

Adakalanya isteri yang pejuang itu lebih hebat dan lebih tangguh dari suaminya, lihatlah seperti Jenderal Pejuang Tentara Islam di Aceh, Chut Nya Dien. Atau Nashibah tentara Islam semasa Rosululloh, resapi biograpi para wanita pejuang Islam, agar jiwa kita hidup pula karenanya.

Maka itu, isteri yang mujahidah harus tahu betul mengatur waktu untuk perjuangan, untuk mendapat tambahan nafkah, karena biaya hidup keluarga mujahid, walaupun tidak mewah relatif lebih besar daripada yang non mujahid, sebab ia pun mesti menyediakan dana sendiri untuk biaya perjuangannya, tidak hanya mengandalkan kas perjuangan.

Juga untuk pekerjaan rumah tangga seperti masak, mencuci, mengasuh anak, menata isterinya secara sepihak, sebagaimana ia turut berjuang seperti suaminya di medan jihad, maka suami yang mujahid harus terlibat pula membantu tunainya tugas sang isteri di rumahnya. Terlalu berat kalau isteri yang mujahidah tadi, disamping berjuang diluar harus pula 100 prosen menyelesaikan sendiri segala sesuatunya di rumah.

Apalagi kalau saudara perjuangan datang bertamu untuk satu keperluan, jauh malam hari dan belum makan, janganlah suami hanya menunggu atau memaksa sang isteri untuk menyiapkan makanan. Sang suami harus mampu menyiapkan dengan tak mengusik isteri yang mungkin sudah lelah di siang hari dengan tugas luangnya.

Sebab jangan lupa, bagaimanapun pada umumnya, apalagi isteri yang aktif dalam perjuangan, pekerjaannya lebih berat dan menganggap bahwa pekerjaan isteri itu lebih enteng dan tak terlalu melelahkan daripada kerja sang suaminya, jadi bukti bahwa ia sebenarnya tak begitu telaten memperhatikan keluarganya.

Sikap menganggap isteri sebagai budak belian, sangat tidak pantas dilakukan seorang mujahid. Wanita Islam terlau mulia untuk dipandang sebagai pemuas syahwat, apalagi disetarakan dengan budak belian, Ia dengan ketakwaaannya mesti dipandang sebagai mitra jihad, yang dengannya kita bahu membahu menunaikan tugas juang ini. Di bawah pengawasan Allah Pemegang Komando Tertinggi Front Sabilillah. Memandang rendah isteri bukanlah kepribadian mujahid, begitu pula memandang rendah suami bukan akhlaq wanita pejuang Islam (mujahidah).

Dalam rumah tangga yang begini, timbullah sikap saling melayani, saling membantu, saling mendorong untk kemajuan, saling bersyukur atas suksesnya karir masing-masing.

Bila perlu, bila isteri pulang dari tugas juang (berdakwah, silaturahmi dsb) nampak lelah dan capai, sang suami harus dengan lega hati dan bangga menyiapkan makanan untuk isterinya yang pulang jihad, membawakan minum baginya.

Jadi bukan hanya sang suami yang harus dilayani diwaktu mereka sedang lelah dan pulang tugas, sang isteri pun harus dan wajar bila diperlakukan sama.

Bagi bagi seorang mujahidah, mestilah cermat menggunakan waktunya secara effektif, jangan semuanya dihabiskan di dapur, jangan bertele-tele dalam mengatur dapur, yang serba ringkas saja, cekatan, dan sederhana. Jangan dibiasakan menghabiskan waktu berlarut-larut di dapur. Dari pagi hingga siang, bahkan sore hari cuma melingkar di dapur dengan berbagai resep kue-kue kaum kapitalis, ini bukan dapurnya pejuang Islam! Pakailah waktu sesederhana mungkin dengan memasak yang seringkas-ringkasnya, sebab suasana perjuangan meminta anda untuk menyediakan waktu lebih banyak lagi.

Begitu juga dengan mencuci pakaian, dengan ditumpuk banyak-banyak, apa yang perlu dicuci itu hari, jangan ditunda sampai esok. Kalau perlu setiap mandi, cicillah cucian anda, baik sang isteri, suami maupun akan-anak yang mulai berangkat besar. Sudah makan langsung cuci piring, jangan sampai tunggu dua tiga jam baru dicuci, supaya tidak jadi repot, karena tugas gerak juang meminta waktu lebih banyak lagi.

Begitulah sedikit gambaran wanit pejuang Islam, dan pengaturan rumah tangga dalam keluarga mujahid.

Biasakanlah mendiskusikan setiap problema dengan isteri kita yang juga pejuang itu, guna menambah pengalaman dan pengertian kedua belah pihak dalam perjuangan.

Dengan begini isteri benar-benar merasa diperlakukan sebagai mitra jihad, bukan sebagai budak belian, yang hanya diperintah, dimarahi, dibentak, apalagi dipukul. Kalau begini caranya, jadi tidak jelas, mana yang sedang dimusuhi dan mana kerabat kerja perjuangan. Cara-cara negatif, memperbudak, atau menghina isteri bukanlah kepribadian mujahid sejati.