Menyerahkan diri kepada musuh jelas bukan perintah Imam. Dan seandainya itu perintahnya maka tidak boleh dita’ati. Sebagai dasarnya yaitu : Sabda Nabi saja bisa menjadi Dho’if bila bertentangan dengan ayat, apalagi sekedar perkataan Imam. Seandainya Imam memerintahkan menyerah, maka “perintah” itu batal demi hokum ! (perhatikan Q.S. 47 : 35).

  1. Perintah menyerah, bertentangan dengan amanat Imam tahun 1959 di hadapan para panglima dan prajurit. Yaitu : “Apabila Imam memerintahkan menyerah, maka tembaklah ia sebab ia iblis”.
  2. Imam memerintahkan menyerah itu bertentangan dengan kenyataan, sebab nyatanya Imam itu adalah tertangkap di Medan Perang, setelah beberapa panglimanya berkhianat, datang ke pihak musuh.
  3. “Sekiranya” ada yang meyakini bahwa Imam memerintahkan menyerah kepada musuh, maka berpeganglah kepada :                          (a)    Al-Qur’an Surat 33 ayat 144 yang bunyinya :“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik kebelakang? Barangsiapa yang berbalik kebelakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun ; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Ali Imron : 144). Maksud dari ayat ini, sekalipun Nabi SAW yang apabila terbunuh di medan perang, maka tentara Islam tidak boleh berhenti mengadakan perlawanan. Yakni, tidak boleh kembali kepada system pemerintahan jahiliyah, melainkan harus menentukan lagi pemimpin baru untuk melanjutkan perang. (b) Kita berjuang bukan karena pemimpin, melainkan karena perintah Allah. Apabila pemimpin itu mengajak kepada kesesatan, tidak perlu diikuti, sebab kelak di “Jahannam” dia akan berlepas diri (Q.S. 2 : 166, Q.S. 14 : 21, Q.S. 40 : 48). Dari itu, tidak ada jaminan di Hadirat Allah, bila kita berhenti dari berjihad, karena mengikuti pemimpin atau para komandan yang pada kabur menyerahkan diri ke pihak “Jahiliyah”.   (c) Sabda Nabi Saw yang bunyinya : “Barangsiapa memerintahkan kamu dengan perbuatan durhaka, maka janganlah kamu menta’atinya”. (HR Imam Ahmad, diambil dari kitab Fathur Rohman, Juz XIV No. 147).
  4. Pada tanggal 4 Juni 1962, Imam itu dalam keadaan sakit. “Oleh Atjeng Kurnia Letda Suhanda ditunjukkan sebuah gubug dimana berdiam pemimpinnya. Ternjata ketika itu Kartosuwiryo telah pajah sekali keadaanja, akibat penjakit paru-paru dan ambeian jang dideritanja dan sebuah luka dipahanja” (………. terbitan 2 Nopember 1962, tahun ke III halaman 21). Imam tidak berdaya sehingga tertangkap kemudian diboyong oleh musuh. Maka, sejak itu Imam berhalangan dari menunaikan tugasnya. Juga sejak saat itu pula tugas sebagai KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia) langsung beralih kepada yang tercantum dalam Maklumat Komandemen Tertinggi No. 11 Tahun 1959 atau untuk sementara putus hubungan, maka kembali keamanat Imam tahun 1959 di hadapan para panglima. Dan jika sudah bertemu dengan yang sesuai berazaskan MKT No. 11 tahun 1959, maka kepemimpinan diserahkan kepadanya.