Rosululloh SAW bersabda:
وأنا آمرآم بخمس، الله أمرني بهن، الجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد في سبيل الله
“Dan aku perintahkan kalian lima hal yang Alloh perintahkan kelima hal itu
kepadaku: Berjama’ah, mendengar dan ta’at, hijrah dan jihad di jalan Alloh.”
(HR. Ahmad dari Al-Haris Al-Asy’ari dan dishohihkan oleh Al-Albani.)

Rosululloh SAW juga bersabda:
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
“Hijrah tidak akan pernah terputus sampai taubat terputus dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Abu Dawud dari Mu’awiyah dan dishohihkan oleh Al-Albani (Irwaa’ul Gholil V/33)

Hijroh wajib lantaran beberapa sebab, yaitu:

1. Lari membawa agama memisahkan diri dari kaum musyrikin karena khawatir agamanya terkena fitnah.

Ini adalah hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam atau ke negeri yang aman jika memang ia mampu melakukannya.
Rosululloh SAW bersabda:
أنا بريء من آل مسلم یقيم بين أظهر المشرآين لا تراءى نارهما
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin, jangan sampai kedua belah pihak saling melihat api masing-masing.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Jarif, Al-Albani menshohihkannya (Irwaa’ul Gholil V/30).

Bukhori meriwayatkan dari ‘Atho’ bin Abi Robah ia berkata: Aku berkunjung kepada Aisyah Radhiyallohu ‘Anha bersama ‘Ubaid bin ‘Umair Al-Laits, lalu kami bertanya kepada beliau tentang hijrah, maka Aisyah berkata: “Tidak ada hijrah lagi hari ini, dulu kaum mukminin lari membawa agama mereka kepada Alloh dan Rosul-Nya karena takut terkena fitnah. Adapun hari ini Alloh telah menangkan Islam, dan hari ini tuhan orang Islam disembah dengan leluasa, yang ada sekarang tinggal jihad dan niat.” (Hadits 3900.)

Saya katakan:
Hijrah yang dinafikan sayyidah Aisyah Radhiyallohu ‘Anha adalah hijrah dari negeri Islam, seperti ditunjukkan dalam perkataan beliau: “Tidak ada hijrah lagi hari ini…” saat itu mereka semua berada di negeri Islam, kemudian ibunda Aisyah menetapkan bahwa sebab hijrah adalah lari membawa agama lantaran takut terkena fitnah.

2. Hijrah sebagai tahap pertama jihad

Di sini, Rosululloh SAW menjadikan hijrah sebagai mukaddimah dan pengiring jihad.
Alloh SWT berfirman:
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِینَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Dan sesungguhnya Robbmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Robbmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl:110)

Dalam konteks ayat ini, hijrah setelah terjadi fitnah bukanlah jalan terakhir, tapi justru merupakan titik awal kepada tahapan berikutnya, yaitu tahapan jihad dan sabar.
Rosululloh SAW bersabda:
لا تنقطع الهجرة مادام العدو یُقَاتَل
“Hijrah tidak akan pernah berhenti selama masih ada musuh yang diperangi. (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Sa’di, dishohihkan oleh Al-Albani (Irwaa’ul Gholil V/33).

Mengenai hukum hijrah, Ibnu Qudamah berkata:
“Pasal: tentang hijrah”, Hijrah adalah keluar dari negeri kafir ke negeri Islam,
Alloh SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِینَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ آُنتُمْ قَالُوا آُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Alloh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” (QS. An-Nisa’:47)

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda:
أنا بريء من مسلم بين مشرآين لاتراءا ناراهما
“Aku berlepas diri dari orang Islam yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin, jangan sampai kedua belah pihak saling melihat api masing-masing.” (HR. Abu Dawud)
Makna hadits ini adalah janganlah seorang muslim itu berada di tempat yang
ia bisa melihat api kaum musyrikin dan kaum musyrikin bisa melihat api dia jika dinyalakan, hadits-hadits selain dua dalil di atas sangatlah banyak dan
Rosululloh SAW menetapkan bahwa hijrah ini akan terus berlangsung hingga
hari kiamat sebagaimana dikatakan kebanyakan ahli ilmu, sebagian kaum
mengatakan bahwa hijrah telah terputus, sebab Rosululloh SAW bersabda:
لا هجرة بعد الفتح
“Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah.”
Beliau juga bersabda:
قد انقطعت الهجرة ولكن جهاد ونية
“Hijrah telah selesai, tinggallah jihad dan niat.”

Diriwayatkan juga dari Shofwan bin Umayyah bahwa ketika ia masuk Islam ada yang mengatakan kepadanya: “Tidak ada agama siapa yang tidak mau berhijrah.” Maka ia datang ke Madinah, kemudian Nabi SAW bersabda:
ما جاء بك أبا وهب
“Apa yang membuatmu datang kemari wahai Abu Wahab?”
Ia menjawab: “Katanya, tidak ada agama bagi siapa yang tidak berhijrah.”
Beliau bersabda:
ارجع أبا وهب إلى أباطح مكة أقروا على مساآنكم فقد انقطعت الهجرة ولكن جهاد ونية
“Pulanglah wahai Abu Wahab ke padang pasir-padang pasir Mekkah, tinggallah kalian semua di rumah kalian, hijrah sudah sekarang tinggal jihad dan niat.”
Semua hadits tadi diriwayatkan oleh Sa’id.

Adapun dalil kami adalah hadits yang diriwayatkan Mu’awiyah ia berkata: “Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda:

لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
“Hijrah tidak akan pernah berhenti sampai taubat terputus, dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Abu Dawud)
Diriwayatkan juga dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda:
لا تنقطع الهجرة ما آان الجهاد“Hijrah tidak akan pernah terputus selama ada jihad.”
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan yang lain.

Ditambah dengan berlakunya ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan
pendapat kami ini secara mutlak dan kandungannya yang setelah diteliti ternyata berlaku pada setiap zaman.

Adapun hadits pertama, maksudnya adalah tidak ada hijrah setelah penaklukan sebuah negeri ke dalam Islam.

Sedangkan sabda beliau kepada Shofwan bahwa hijrah telah selesai maksudnya adalah hijrah dari Mekkah, sebab pengertian hijrah adalah keluar dari negeri orang-orang kafir, maka apabila negeri itu telah ditaklukkan dan tidak ada lagi negeri kafir, berarti tidak ada lagi hijrah. Demikian halnya dengan setiap negeri yang telah ditaklukkan, tidak perlu lagi hijrah dari sana.

Jika hal ini sudah jelas, selanjutnya manusia yang berhijrah ada tiga kelompok:

Yang pertama, orang yang wajib melakukan hijrah. Yaitu mereka yang mampu hijrah sementara ia tidak bisa menjalankan agamanya dengan terangterangan dan tidak memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya jika ia tetap tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir, maka orang seperti ini wajib berhijrah berdasarkan firman Alloh SWT:
إِنَّ الَّذِینَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ آُنتُمْ قَالُوا آُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Alloh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu.” Orang-orang itu tempatnya naar Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali,” (QS. An-Nisa’:97)
Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan hukum wajib.

Kedua, orang yang tidak mempunyai kewajiban hijrah. Yaitu orang yang tidak mampu melaksanakannya, karena sakit, terpaksa tidak berangkat hijrah, atau karena kondisi lemah yaitu dari kalangan wanita, anak-anak dan orang-orang semisal mereka.
Orang-orang seperti ini tidak ada kewajiban hijrah berdasarkan firman Alloh
SWT:
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا یَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا یَهْتَدُونَ سَبِيلا
فَأُوْلَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ یَعْفُوَ عَنْهُمْ وَآَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“…kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Alloh memaafkannya. Dan Alloh Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’:98-99)

Bagi kelompok ini, hijrah tidak bisa dihukumi sunnah, sebab mereka tidak mampu melakukannya.

Ketiga, orang yang disunnahkan berhijrah namun tidak wajib. Yaitu orang
yang mampu berhijrah tapi ia bisa melaksanakan agama dan tinggal dengan
terang-terangan di negeri kafir.
Orang seperti ini disunnahkan melakukan hijrah dengan tujuan nantinya bisa
berjihad memerangi orang-orang kafir di negeri di mana ia tinggal tadi, memperbanyak serta membantu kaum muslimin,
melepaskan diri dari memperbanyak jumlah dan bercampur baur dengan orang-orang kafir dan menghindari menyaksikan kemungkaran di tengah-tengah mereka.

Hijrah tidak wajib ia lakukan karena ia bisa melaksanakan kewajiban agamanya tanpa harus berhijrah. Dahulu ‘Abbas, paman Nabi SAW tetap tinggal di Mekkah padahal beliau sudah masuk Islam.

Kami juga meriwayatkan bahwasanya ketika Nu’aim An-Nuham hendak berhijrah, kaumnya — Bani ‘Adi — datang kepadanya, mereka mengatakan:
“Tetap tinggallah Anda bersama kami, silahkan tetap memeluk agama Anda,
kami akan melindungi Anda dari orang yang hendak menyakiti Anda dan
cukupilah kebutuhan yang kami inginkan dari Anda.” Ketika itu ia menjadi
orang yang mencukupi kebutuhan anak-anak yatim dan janda-janda Bani ‘Adi. Akhirnya Nu’aim menunda hijrahnya beberapa waktu, walupun kemudian ia tetap berhijrah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya:

قومك آانوا خيرا لك من قومي لي، قومي أخرجوني وأرادوا قتلي وقومك حفظوك
ومنعوك

“Sikap kaummu kepadamu lebih baik daripada sikap kaumku kepadaku, kaumku mengusirku, mereka ingin membunuhku sementara kaummu ingin menjaga dan melindungimu.”

Nu’aim berkata: “Wahai Rosululloh, tetapi kaum Anda mengusir Anda menuju ketaatan kepada Alloh serta kepada jihad melawan musuh-Nya sementara kaumku menahan diriku dari hijrah dan dari ketaatan kepada Alloh,” atau perkataan yang hampir mirip dengan ini.” Sampai di sini perkataan Ibnu Qudamah. (Al-Mughni Was-Syarhul Kabir , juz X hal. 513-515.)