Dari pokok-pokok pikiran yang sudah disebutkan, kini Anda tahu bahwa kaum muslimin terbebani untuk melakukan jihad ofensive dan defensive, sudah dibahas juga bahwa jihad bisa fardhu kifayah dan bisa fardhu ‘ain, latihan militer adalah wajib dan harus dilakukan secara terus menerus.

Kemudian, jika kita melihat kepada jihad ofensive, yaitu terlebih dahulu menyerang musuh di negerinya, maka jumhur ulama mengatakan jihad seperti ini wajib dilakukan minimal satu tahun sekali, inilah batasan minimal kewajiban, ini tidak bisa dihentikan dengan alasan apapun selain ketika kaum muslimin dalam kondisi tidak mampu (lemah) atau mengadakan perjanjian damai dengan musuh. Ulama lain berpendapat bahwa jihad seperti ini bisa dilakukan kapanpun jika kondisi memungkinkan tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu.

Yang mewajibkannya setahun sekali — yaitu jumhur — berdalih bahwa jizyah diwajibkan atas orang-orang non muslim, yang tinggal di negeri Islam paling tidak setahun sekali sebagai ganti jihad, sedangkan jizyah ini wajib dipungut setahun sekali berdasarkan ijma’, maka penggantinya — yaitu jihad — pun haruslah dilakukan sekali dalam setahun (Lihat Al-Mughni was Syarhul Kabir X/367-368).

Saya katakan: Hukum wajibnya jihad tholabi setahun sekali bisa juga disimpulkan dalam firman Alloh SWT:

أَوَلا یَرَوْنَ أَنَّهُمْ یُفْتَنُونَ فِي آُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لا یَتُوبُونَ وَلا هُمْ یَذَّآَّرُونَ
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” QS. At-Taubah:126

Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya menukil dari Qotadah perkataan beliau: “Mereka diuji dengan perang dalam setahun satu sekali.”

Al-Qurthubi berkata tentang jihad tholabi (ofensive): “Kewajiban kedua dari jihad yang harus dilakukan seorang imam adalah mengutus satu pasukan perangkepada musuh setahun sekali, bisa ia pimpin langsung atau menunjuk orang yang ia percaya, ini dilakukan dalam rangka menyeru musuh kepada Islam dan untuk menimbulkan kedongkolan hati dalam diri musuh, untuk menghentikan gangguan mereka dan memenangkan agama Alloh atas mereka sehingga mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah langsung dari tangannya. Ada juga jihad yang sunnah, yaitu ketika imam mengutus kelompok perkelompok serta mengutus ekspedisi-ekspedisi di saat-saat musuh lengah dan mengintai mereka dengan melakukan ribath di tempat yang dikhawatirkan diserang atau ketika melakukan unjuk kekuatan.” (Tafsir Al-Qurthubi VIII/152.)

Saya katakan: Di sini, Al-Qurthubi — seperti halnya jumhur — berpendapat bahwa yang wajib adalah satu tahun satu kali, sedangkan selebihnya adalah sunnah.

Jika kita melihat kewajiban ini serta sependapat bahwa melakukan i’daad (latihan perang) dalam rangka jihad hukumnya wajib seperti tercantum dalam firman Alloh Ta’ala:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” QS. Al-Anfal:60
… tahulah kita bahwa umat Islam ini adalah umat yang paling berhak menyandang karakter jihad/militer.

Agar kewajiban-kewajiban ini terlaksana dengan baik, maka semua roda kehidupan politik umat ini, baik internal maupun eksternal, haruslah diarahkan kepada terlaksananya kewajiban-kewajiban jihad tadi. Oleh karena itu, silabus pendidikan, industri produksi, pertanian, perdagangan dan kependudukan serta yang lain, semuanya harus terencana dan ditundukkan untuk berkhidmat kepada jihad.

Nabi SAW bersabda:
المؤمن للمؤمن آالبنيان یشد بعضه بعضا
“Orang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat satu bangunan, saling
menguatkan satu sama lain”,

… Beliau menganyam jari jemarinya. (Muttafaq ‘Alaih dari Abu Musa.)

Beliau juga bersabda:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم آمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو
تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemah lembutan mereka adalah ibarat satu tubuh, jika salah satu merasakan sakit, seluruh anggota badan akan mengerang dengan merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaq ‘Alaih dari Nu’man bin Basyir.)