Alhamdulillah, calon yang tercantum dalam MKT No.11 Tahun 1959
pasca Imam SM Kartosoewirjo dieksekusi pada September 1962, waktu itu
masih ada KUKT yaitu Abdul Fatah Wirananggapati (AFW). Beliau dalam
sejarahnya tertangkap pada 2 Mei 1953 di Jakarta setelah kembali dari Aceh
mengangkat Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai Panglima Wilayah V
Divisi TII Cik Di Tiro, dan beliau sempat 15 hari tinggal bersama Tgk.
Muhammad Daud Beureueh.26 Dalam buku Peristiwa berdarah di Aceh,
Meuraxe Dada, merupakan bukti sejarah yang benar bahwa Abdul Fatah
Wirananggapati adalah KUKT.27 Perlu dipahami bahwa sebelum SMK
(Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo) mengangkat AFW sebagai KUKT, telah
diutus seorang kurir yang bernama Mustofa Rasyid yang mempunyai tugas
menyampaikan amanat kepada Tgk. Muhammad Daud Beureueh dengan
membawa dokumen perjuangan NKA-NII. Kurir tersebut memperoleh surat
jalan tahun 1952 dari Nawawi Dusky (wakil ketua GPII). Mustofa Rasyid
berangkat ke Medan pada bulan April 1952 dan tertangkap di Sumatera Utara
pada bulan April 1953.28 Jadi, sebelum AFW tertangkap, terlebih dulu Mustofa
Rasyid tertangkap dan tersita pula beberapa dokumen yang berhubungan
dengan Tgk. Muhammad Daud Beureueh.29 Pernyataannya Aceh telah
menjadi wilayah bagian Negara Islam Indonesia, bukanlah dalam kondisi
rahasia, melainkan secara terbuka, terdapat sebagian komandan dan prajurit
TNI mengikuti jejak Tgk Muhammad Daud Beureueh hingga melepaskan
seragam TNI dan diganti dengan seragam Tentara Islam Indonesia (TII).
Diberitakan “bahwa di dalam peristiwa Aceh ini banyak bupati meninggalkan
posnya, dan masih belum diketahui kemana mereka pergi”. 30 Adanya
keterangan, bahwa Mustofa Rasyid adalah kurir yang diutus oleh SMK, maka
merupakan bukti bahwa Abdul Fatah Wirananggapati yang selama ini
dianggap hanya sebagai kurir adalah suatu kesalahan. untuk itu penting
dipertegas, bahwa Mustofa Rasyid bukanlah Abdul Fatah Wirananggapati.

Jabatan KUKT untuk Aceh pada mulanya dirangkap oleh Imam, SM.
Kartosoewirjo, hal itu didapat dari: 1) Dalam lembaran Manifesto tertanggal 7
Agustus 1952 tertulis nama Idharul Huda; 2) Berdasarkan keterangan dari
Ateng Djaelani Setiawan bahwa Imam Kartosoewirjo mempunyai banyak
nama samaran. Pada satu daerah tertentu ia memakai salah satu nama
samarannja. Nama depan Kartosoewirjo “SM” adalah singkatan “Sekarmadji
Maridjan”, jadi nama lengkapnja adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Nama samaran jang biasa dipakai adalah Kalipaksi (nama ini kemudian
dipakai untuk sebuah resimennja), Idharul Huda (dipakai untuk sebuah
bataljonnja yang biasanja disingkat “I.H.”), Him Cokro, Ahmad Djamaluddin,
Hadi SU Darmawaskita, AT Ridjalulloh, Marsidi Ajuninggoro dan samaran
yang baru adalah Widjaja.31

Dari dua keterangan itu jelas bahwa jabatan KUKT untuk Aceh
sebelum dijabat oleh AFW, diemban oleh Imam sendiri. Namun, pada
akhirnya Imam Awal membutuhkan seorang yang bisa memegang jabatan
KUKT untuk bertugas keluar pulau Jawa. Dalam pencarian personal yang
layak untuk jabatan itu, Imam Awal menghubungi Anwar Cokroaminoto
seorang kepercayaan SMK yang aktiv di kalangan masyarakat umum tapi
disembunyikan dalam kalangan NKA-NII. Dan Anwar Cokroaminoto dipercaya
untuk mencari orang yang memenuhi persyaratan sebagai KUKT. Dalam hal
itu Anwar Cokroaminoto menyebutkan nama Abdul Fatah Wirananggapati
yang sudah dikenalnya sebagai aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam
Indonesia). Setelah data-data kompetensi dirinya dikemukakan, kemudian
Anwar Cokroaminoto diperintahkan untuk menghubungi AFW. Setibanya
Anwar Cokroaminoto di Cirebon, AFW tidak berada di tempat yang dituju
sehingga tidak bertemu dengannya. Dalam keadaan itu Anwar Cokroaminoto
menemui Agus Abdullah dan menyampaikan perintah dari Imam Awal bahwa
AFW harus dipertemukkan dengan Imam Awal. Pada saatnya, Agus Abdullah
mengantarkan AFW dan dipertemukannya sesuai perintah.32 Seminggu
lamanya bersama Imam Awal dan berdikusi tentang NKA-NII lalu AFW
dilantik sebagai KUKT, dan disaksikkan oleh Zaenal Abidin dan Baharudin.33

Kemudian oleh Imam Awal, AFW diperintahkan berangkat ke Aceh. Zaenal Abidin
dalam kesaksiannya menjelaskan Abdul Fatah Wirananggapati diperkenalkan
sebagai KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi) oleh almarhum SM.
Kartosoewirjo dalam suatu pertemuan. Dalam kedudukannya sebagai KUKT
itulah beliau diutus ke Aceh untuk melantik Tgk. Muhammad Daud
Beureueh34. Keterangan AFW di pengadilan tahun 1953 menerangkan, “A,
Fatah jang berumur 29 tahun djabatan terachir kuasa usaha Darul Islam dan
pernah mendjadi ketua GPII daerah Tjirebon di dalam tahun 1949, dalam
keterangannja di depan hakim menerangkan bahwa ia sudah kurang lebih
setahun mendjadi anggauta D.I. diterangkannja bahwa ia sangat tertarik
akan organisasi tsb. Dan pernah mendapat tugas membingbing perjuangan
mendirikan negara Islam di Atjeh dari pemimpin D.I. Kartosoewirjo”.35
Keterangan di depan hakim itu posisi AFW bukan sebagai terdakwa
melainkan sebagai saksi. Sampai saat ini tidak ditemukan referensi AFW
diadili.

Tatkala akan meninggalkan Aceh, dua pengawal, yaitu Tgk. Ilijas
Leubai dan Hasan Gajo diperintah mengantarkannya oleh Tgk. Muhammad
Daud Beureueh sampai Jakarta. Setibanya di Jakarta salah seorang dari
petugas membawanya ke rumah famili petugas itu untuk menginap. Dan
pada malam itu juga terjadi penangkapan. Dalam penangkapan itu AFW
sempat lolos. Pada kesempatan itu berusaha untuk bisa segera melaporkan
tugasnya ke pusat. Namun, untuk itu perlu persiapan yang berkaitan dengan
situasi dan kondisi waktu itu. Dalam keadaan demikian teringat pada seorang
ummat yang tinggal di Manggarai kemudian menuju rumahnya. Tetapi, baru
saja mandi serta ganti baju datang pula penggerebegan, AFW tertangkap
kembali lalu dibawa ke penjara Cirebon. Dalam penjara tersebut pada waktu
itu dihuni banyak orang komunis yang terlibat Pemberontakan PKI (Partai
Komunis Indonesia) Madiun 1948. Sedangkan aparatur pemerintah RI di
Cirebon pada waktu itu di antaranya orang-orang PKI maka diterimalah kabar
oleh orang–orang komunis dalam penjara, datangnya orang kedua dari
Kartosoewirjo maka sebagian orang PKI itu mengeroyok untuk
membunuhnya. AFW sempat melawan, menangkis pisau dengan
menggunakan handuk, juga perlawanan itu dibantu oleh Zaenal Hatomi, dia
adalah pejuang NKA-NII yang lebih dulu tertangkap dan dimasukkan ke
penjara Cirebon. Dirinya mengetahui datangnya orang kedua dari
Kartosoewirjo kabar dari orang – orang komunis pada saat akan terjadi
pengeroyokan. (Kejadian di penjara Cirebon ini keterangan dari Zaenal
Hatomi, dalam wawancara dengannya Tahun 1992).36
AFW selamat, adapun Zaenal Hatomi kena luka di bagian kepalanya.
AFW hanya singgah di penjara Cirebon, karena sesudah peristiwa
pengeroyokan itu dipindahkan ke Nusakambangan. Di sana bertemu kembali
dengan Baharuddin yang pernah menyaksikan pengangkatan AFW sebagai
KUKT (Keterangan dari Baharudin). Sesudah Imam Awal dieksikusi bulan
September, AFW dibebaskan pada tahun 1963.

Sumber Sejarah:

26 Peristiwa berdarah di Aceh, Meuraxe Dada, Pustaka Sedar, Medan,1956, halaman 31-33.
27 Ibid.
28 Merdeka, 23 Nopember 1953.
29 Merdeka, … 1953.
30 Merdeka, 25 September 1953.

31 Pikiran Rakjat, 9 Mei 1962, hal.2 kol.3.
32 Wawancara dengan Zaenal Hatomi.
33 Keterangan dari Baharuddin Yang pada waktu itu sebagai Keuangan Resimen.
34 Pikiran Rakyat, 1 April 1982.
35 Harian Merdeka, 8 September 1953.