Dalam kehidupan seorang Mujahid disuatu Negara, ia memiliki dua tugas utama sekaligus yaitu tugas Mujahid sebagai warga Negara dan tugas Mujahid sebagai penduduk suatu Negara. Sangat penting bagi Mujahid untuk mampu membedakan pada tugas yang mana ketika ia berada disuatu tempat. Sebab, jika Mujahid tidak mampu membedakannya dikhawatirkan akan terjadi kerancuan dalam berjuang. Ia tidak bisa membedakan antara harus berbuat sesuatu dengan tidak perlu berbuat sesuatu.
Penduduk adalah istilah untuk orang-orang tinggal disuatu Negara tetapi tidak memiliki hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Ia hanya memiliki identitas domisili dan mengikuti sedikit aturan berkenaan dengan kebijakan daerah dimana ia tinggal. Kadang ia harus ikut siskamling untuk keamanan daerahnya, tetapi tidak mungkin ia mengikuti wajib militer karena bukan warga Negara. Ia mungkin harus turut mengibarkan bendera Negara dimana ia tinggal tetapi tentu hatinya sama sekali tidak ada rasa haru, kagum ataupun merasa memiliki sebagaimana hati para Mujahid seperti Ja’far bin Abdul Mutholib ketika mempertahankan bendera Islam meskipun kedua tangannya habis dibabat musuh. Mungkin pula ia harus duduk di DPR tetapi tentu saja duduknya bukan untuk memperbaiki Negara dimana ia tinggal tetapi untuk mencari celah-celah perjuangan (QS. 40 : 28). Atau mungkin pula ia ikut membaur dengan masyarakat umum sehingga tidak Nampak adanya permusuhan (QS. 41:34) tetapi الله انشا secara aqidah ada dinding pemisah yang sangat halus yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya dan orang-orang yang bersamanya (QS. 25:52-53). Bisa juga ia memiliki berbagai kegiatan islam seperti majlis ta’lim tetapi kehadirannya tentu membawa misi pencerahan (QS. 6:70) agar dirinya terhindar dari kemusyrikan yang disebabkan tidak disampaikannya risalah (QS. 28:87)
Itulah berbagai contoh sikap Mujahid berkenaan dengan tugas sebagai penduduk Negara. Sedang warga Negara adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga Negara, yang mengikat warga Negara tersebut dimana pun ia tinggal. Dalam istilah dien ikatan ini disebut dengan wala’ atau perlindungan. Sebab dimanapun ia tinggal akan senantiasa diperhatikan keselamatannya dan akan diberikan perlindungan oleh Negara tempat ia berwala’ jika warga tersebut terancam keberadaannya. Rasul memberikan jaminan perlindungan bagi mereka yang berwala’ (mengambil pemimpin) kepada beliau (QS. 8 : 72) tetapi Rasul ber-Baroah (berlepas diri) dari kaum Muslimin yang tidak mengambil beliau sebagai walinya (BM : 1288) karena itu seorang Mujahid tentu tidak akan rela jika negaranya di cerca, dicaci maki atau dihinakan. Ia dengan sekuat tenaga akan menepis setiap berita miring yang menyangkut negaranya (QS. 5 : 54). Sebagai warga ia akan tampil sebaik mungkin agar orang bersimpati kepada Negara yang sedang diperjuangkannya (QS. 3 : 159). Ia senantiasa berusaha agar memiliki akhlak yang agung sebagaimana rasul memilikinya (QS. 68 : 4) agar kebenaran semakin nampak jelas (QS. 68 : 5-6). Ia akan tunjukan kepada orang banyak bahwa ia memiliki akhlak terpuji yang memang sudah seharusnya dimiliki setiap Mujahid. Ia senantiasa ingat akan janji setianya untuk tidak menodai perjuangan dengan membuat citra buruk dihadapan umat Islam.
Sebagai warga Negara seorang Mujahid harus memahami setiap perundangan yang dikeluarkan oleh Negara. Dengan memahami setiap perundangan tersebut maka ia bisa mengoreksi setiap kekurangan atau ketidak sesuaian baik dengan Al-Qur’an, Hadits Shohih ataupun Atsar Sahabat dan perundangan yang lainnya. Dengan memahami perundangan pula, maka setiap langkah kehidupannya akan senantiasa terkontrol dan tidak keluar dari rel-rel perjuangan. Ia senantiasa berada pada kerangka Amruna sehingga tidak Raddun.
Sebagai warga Negara, seorang Mujahid harus memahami sejarah baik sejarah para Rasul, Salafusholih, maupun Kholafusholih sebagai cermin penguat hati, pertimbangan kebenaran, pengajaran ataupun peringatan (QS. 11 : 120) dan sekaligus bercermin dalam hal kesabaran (QS. 46 : 35).
Sebagai warga Negara, seorang Mujahid harus berusaha keras menguatkan, membesarkan dan membersihkan diennya (QS. 48:9) sehingga dimanapun ia berada ia akan mengembangkan dan membangun. Ia akan berjalan sebagai motor penggerak dan bukan sebagai beban yang akan menghambat lajunya perjuangan. Ia akan berusaha memandaikan diri, tidak pasif hanya menerima materi dari Murobi saja tetapi disetiap kesempatan disetiap waktu ia tambah sendiri ilmu dan wawasannya sehingga menjadi Mujahid yang terdidik, tertarbiyyah dan hasilnya adalah tidak berhati lemah, tidak patah semangat apalagi tunduk pada musuh (QS. 3 : 146)
Dan terakhir, sebagai warga Negara dan sekaligus manusia biasa seorang Mujahid tentu tidak bisa luput dari kesalahan. Dia bisa salah, orang lain juga bisa salah. Karena itu tidak ada hak bagi dirinya untuk mencela atau memperolok orang lain karena “Innamal Mu’minuna Ikhwah” (QS 49:10-12). Yang terbaik adalah sikap untuk saling mendoakan (QS 59:10).
Itulah beberapa contoh tugas Mujahid yang harus dibedakan antara dirinya sebagai penduduk suatu Negara dengan dirinya sebagai warga Negara suatu Negara. Kedua-duanya sama-sama perlu perhatian agar perjuangan yang dilaksanakan memiliki nilai sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu dan sepandai-pandai siasat. Wallamu’alam bissawab…
Maret 6, 2012 at 1:21 pm
Jazakumullah atas emailnya, tentang materi 10 kesadaran mujahid sudah aku unduh semuanya, aku mau tanya berkenaan dengan hadits hudazifah tentang perintah bergabung dengan jamaah muslimin dan imamnya. sebagian kaum muslimin menganggap bahwa hadits ini belum saatnya, jadi menurut mereka perintah ini berlaku pada akhir zaman.
terima kasih ditunggu jawabanya di emai aku.
Maret 7, 2012 at 8:37 am
akhir zaman?apakah yang dimaksud dengan beriman kepada Alloh dan hari kemudian atau hari akhirat atau akhir zaman atau jaman perubahan?
beriman kepada Alloh?
beriman kepada langkah dan kebiasaan yang ditempuh oleh para “teladanNya” yang setia mengabdi kepadaNya walaupun yang mengatur “hatinya” tidak terlihat oleh beliau.
langkah dan kebiasaan itu terdapat pada sesuatu yang terlihat oleh indera manusia yang dihadirkan seiring dengan “perjalanan waktu” yaitu AjaranNya dalam bentuk tertulis (KitabNya) maupun AjaranNya dalam bentuk suara atau yang disampaikan oleh wali yang terikat dan sesuai garis JalanNya.
pertanyaan komentar diatas aku coba semalatkan dengan ilmuNya MilikNya:
hadits hudazifah tentang perintah bergabung dengan jamaah muslimin dan imamnya?
jejak waliNya terkait hal tersebut banyak “tanda” yang disebutkan, diantaranya adalah kata jaHiliyah(jaa Haa laam), syaraa(sya raa raa),abwabi (alif baa baa),dukhanun (daa khaa nuun) dlsb
aku jelaskan dengan yang terkait kata “jamaah muslimin dan imamnya”..
didahului dengan kata “talzamu”(laam zaa miim) dengan makna:
qs25:77 (لِزَامًا)->the inevitable (punishment)=tersebut (hukum alam/kebiasaan) yang tak terelakkan
qs20:129 (لِزَامًا) an obligation =suatu kewajiban yang melekat pada “kertas resmi/surat berharga jangka panjang” yang berisi kebijakan dalam lingkup kebersamaan
qs48:26 (وَأَلْزَمَهُمْ) and made them adhere=dan membuat mereka mematuhi
qs17:13 (أَلْزَمْنَاهُ) We have fastened to him= Kami telah diikat kepadanya
qs 11:28 (أَنُلْزِمُكُمُوهَا) should We compel you (to accept) it=Kami harus memaksa Anda (untuk menerima) itu
kata “jamaa-‘ata almuslimi(y)n wa imaa-maHum” dimaknakan sebagai sesuatu yang menghimpun perbuatan keilmuan yang dibarengi sifat “muslim” atau menjalamnkan dengan ketundukan hati atau yang tersebut pada qs22:78 Huwa sammaakumul-muslimi(y)n. dan kata “wa imaa-maHum” dimaknakan sebagai pengendalian Petunjuk yang tercipta dari proses tersebut yang dapat memimpin arah tanpa memecah-belah qs22:78(kebersamaan dari para pendahulu)
dukhanun itu dimaknakan sebagai pembawa RisalahNya yang belum mendapatkan pengakuan secara umum dimasyarakat luas terkait perjalanan AjaranNya. Sehingga dilukiskan sikap yang diterima olehnya saat menebarkan nilai keselamatan KitabNya dan waliNya-> dengan kata “watunkiru” atau pasti terdapat penolakan atau tidak dipercaya petunjuknya yang dibawanya atau anda pasti mengingkarinya karena nilai “pengakuan” dalam pandangan kelayakan manusia yang sudah berlangsung lama.
kata “tunkiru” (nun Kaaf raa) kembalikan pemahamannya ke->qs40:81
…dipendekkan…
kata “firaqa”(faa raa qaaf) adalah golongan berita AjaranNya atau pengelompokan cara menyikapi beritaNya (terkait kuat dengan qs3:4 “al furqana”)
contoh:
jaman siA masih hidup maka siA yang memimpin berita AjaranNya..
jaman siB (siA sudah wafat puluhan/ratusan/ribuan yang lalu) maka siA hanya mendampingi siB dalam memimpin berita AjaranNya…
pahami qs42:13 “wala tatafarraquw” atau dua taa dalam pelaksanaan perjalanan dua raa yang disatukan
firaqa itu mengisyaratkan “durasi” berkenaan waktu yang terikat perjalanan KitabNya dan waliNya…
quran itu bacaan AjaranNya(langit) dan Al quran itu sesuatu yang Hidup(bumi) dan melangkahkan keilmuan yang terdapat pada quran dengan KehendakNya atau Kehendak Sang Khaliq atau Sang Waktu…
Tips:
bentuk zhalim adalah seperti pertanyaan “apa itu makanan”?
jawaban umum adalah untuk menghilangkan rasa lapar…dan jawaban “ruwh” atau yang terkandung dalam pertanyaan itu adalah pertanyaan :
mengapa manusia diciptakan membutuhkan makanan dalam bertahan di kehidupannya..mengapa..mengapa …lainnya yang ujungnya adalah INGAT kepada Yang Maha Pemurah Yang Maha Pengampun
clue:
“hadits Hudzaifah” yg tersebut itu seperti pelaksanaan perbuatan dari seruan ki-ain syaqaw dan al futsina di artikel KESADARAN 6(QAAF)
salam Kesadaran anda semua
Maret 7, 2012 at 9:05 am
qs22:78 Huwa sammaakumul-muslimi(y)n
kalo di”suarakan” dalam bahasa “gaul”->
Kalau Tunduk mengabdi KepadaKU ya sama-sama dong ah..jangan yang sekarang melupakan yang dahulu dan yang dahulu dijadikan alasan melupakan keberadaan “cipta” yang sekarang…
jadi sudah tau tidak artinya syirik atau kejahatan KalimatNya?
salam kewaspadaan bagi anda yang Ingat segala KemuarahanNya
Oktober 14, 2012 at 2:57 pm
assalamu’alaikum
salam ukhuwah pak abu. kalau saya ingin sharing dengan pak abu gimana caranya ya? syukran.