POIN KESATU dalam Bai’at NII
“Saya menyatakan bai’at ini kepada Alloh dihadapan dan dengan persaksian Komandan Tentara/ Pemimpin Negara yang bertanggungjawab”.
Kalimat “Saya menyatakan bai’at ini kepada Alloh;
- Dengan adanya kalimat “saya menyatakan” jelas dan nyata sekali bahwa seseorang tidak sedang dibai’at melainkan dialah yang sedang berbai’at, maka hal itu berarti pula bahwa seseorang melakukannya dalam keadaan sadar tanpa tekanan dan paksaan dari apa dan siapapun juga, serta mempunyai motivasi yang jelas.
- Kata “ini” yang menyertai kata bai’at dapat dikonotasikan bahwa hal dimaksud berada dekat dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa bai’at yang akan dinyatakan telah ada dan tersimpan dalam hati seseorang yang akan menyatakan/ mengikrarkannya, berarti pula orang tersebut telah memahami sebelumnya terhadap apa yang ia nyatakan dengan segala konsekuensinya.
- Kalimat “kepada Alloh”, hal ini menunjukkan dengan sejelas-jelasnya bahwa setiap individu yang berbai’at tengah bernegosiasi langsung kepada Alloh, dengan demikian segala apa yang termasuk dalam transaksi akan mendatangkan keuntungan tanpa terzholimi (Qs. 61:10, 9:111)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?” (QS. 61:10)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS. 9:111)
Kalimat “dihadapan dan dengan persaksian Komandan Tentara/ Pemimpin Negara yang bertanggungjawab”.
Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwa status dan fungsi Pemimpin atau Imam, diantaranya sebagai berikut:
1. Status; mengingat bai’at itu hakekatnya adalah kepada Alloh, maka status Pemimpin Negara, Komandan Tentara adalah sebagai saksi (Qs. 22:78, 48:8)
“dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. 22:78)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (QS. 48:8)
2. Fungsi; secara garis besar fungsi Pemimpin Negara/ Pemerintah terbagi dua, yaitu:
- memberlakukan syari’ah (Qs. 45:18, 22:67, 38:26)
“kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. 45:18)
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”. (QS. 22:67)
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. 38:26)
- memelihara keamanan (Qs. 2:126, 6:82, 24:55)
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Robbku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. 2:126)
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 6:82)
“dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (QS. 24:55)
Dengan demikian untuk dapat merealisasikan tanggungjawab sebagai Imam/ Pemerintah, maka dibentuklah Dewan Imamah atau struktur pemerintahan dan perundang-undangan serta institusi-institusi yang berkenaan pelayanan masyarakat, dan seterusnya.
Desember 2, 2009 at 6:12 am
Mullah Muhammad Omar Mujahid telah mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin dan Banyak Mujahid yang telah membaiatnya.
Syaikh Usamah Bin Ladin dan AlQaeda telah berbaiat kpd Beliau.
maka bergabunglah dengan mereka, tinggalkan ke ashabiyahan NII saudaraku… af1, ini nasehat sebagai saudara.
Desember 7, 2009 at 11:59 am
afwan akhi, coba anda bijak dalam melihat.
1. baiat yang telah dimaklumatkan lewat MKT No 6 ini dikeluarkan tahun 1952, oleh Pemerintahan NII,
2. Lihatlah hasil konferensi cisayong yan disenggelarakan oleh 362 ulama pada tanggal 12 dan 13 februari 1948, yang memutuskan tahapan tahapan tercapainya khilafah fil ardh(kepemimpinan islam secara mendunia)yang kelak mengangkat seorang khalifah untuk bertanggung jawab tentang keadaan seluruh ummat islam di dunia. itu dimulai dari didirikannya NII bukan berarti harus semata-mata indonesia, tapi setiap individu muslim di setiap negara wajib mendirikan Negara Islam untuk kemudian bersama-sama menciptakan dewan Imamah dunia(khilafah fil ardh)
jadi, ashobiyah yang anda katakan bukanlah sifat perjuangan NII.
3. sedangkan Mullah muhammad omar, baru mendeklarasikan tahun berapa??? namun demikian saya bersyukur, dengan ini menandakan sudah adanya amir(imam) di beberapa negara islam yang kelak bersama-sama akan mewujudkan Khilafah fil ardh.
4. jika anda ditakdirkan lahir di indonesia sebagai mana di firmankan oleh Allah surah 49:12, maka anda bertanggung jawab jika di indonesia ini hukum islam tidak tegak, tapi InsyaAllah anda tidak diminta pertanggung jawaban, mengapa di wilayah lain atau negara lain hukum islam tidak tegak. karena itu, menjadi tanggung jawab muslim di setiap tempat.
Desember 3, 2009 at 10:04 am
ha’a yuk- .
kt gabung
Juni 30, 2010 at 5:49 pm
Ha ha ha ha ha ha wkwkwkwkwkwkwkw
Setiap hari juga syahadat dari subuh sampai subuh lagi, begitu dan begitu seterusnya…ga perlu pake saksi, saksi na mah Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah….. aya – aya weeeee
September 23, 2010 at 8:53 am
kamu to kaya burung bio yang yang pandai bicara tapi tak mrengerti artinya yang kau ucapkan… celakalah bagi kamu jika kamu tdk mengerti kata tauhid itu
September 28, 2010 at 4:20 am
http://millah-ibrahim.com/aqidah/seri-materi-tauhid
Belajar lagi mengenai Tauhid.
April 7, 2012 at 1:33 am
B A I A T
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[1]
Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : “Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?”. Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : “shofaquu ‘alaihi” (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata “baaya’tahu” berasal dari kata “al-baiy’u” dan “al-baiy’atu” demikian pula kata “al-tabaaya’u”. Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‘Ala tubaa yi’uunii ‘ala al-islami’
“Maukah kalian membaiatku di atas Islam”
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[2]
Bai’at Secara Istilah (Terminologi).
“Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa ‘a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari’at.[3]
Dan ba’iat itu secara syar’i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[4]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal ‘aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [5]
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[6] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [7]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.
[a]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar” [Al-Fath : 10]
[b]. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [Al-Fath : 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
[a] “Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya” [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
[b]. “Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[c]. “Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa’id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.
Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :”Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : “Inilah imam”, maka inilah makna imam”[8]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata [9] :”Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma”
Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid mengatakan : “Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :
[1]. Kelompok Pertama
Mengatakan : “Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir”. Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.
[2]. Kelompok Kedua
Mengatakan :”Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa”. Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [11]
[3]. Kelompok Ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun.
Mereka mengatakan : “Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang”. Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah yang berada di atas kebenaran” [12]
Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [13]
—————————————————————————
Foote Note.
[1]. Bahjah an-Nufus Syarh Mukhtashar al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi Jamrah
[2]. Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
[3]. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[4]. Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
[5]. Al-Khilafah … hal.13. Rasyid Ridha
[6]. Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86, dan lain-lain
[7]. Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid
[8]. Masa’il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani’
[9]. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (I/273). Dan lihat syarh an-Nawawi atas shahih al-Bukhari (12/231)
[10]. Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[11]. Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh ‘Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[12]. Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid
[13]. Maatsirul Anafah fi Ma’alim al-Khilafah (I/39) al-Qalqasynadi
Desember 27, 2012 at 12:22 pm
APAKAH BAI’AT NEGARA ISLAM INDONESIA (NII) SESUAI TUNTUNAN RASULULLAH.?
Bai’at Negara Islam Indonesia (NII)
Bismillahi tawakkalna ‘alallah, lahaula wala quwwata illa billah!
Asjhadu an-la ilaha illallah, wa asjhadu anna Muhammadar Rasulullah.
Wallahi. Demi Allah!
1. Saja menjatakan Bai’at ini kepada Allah, dihadapan dan dengan persaksian Komandan Tentara/Pemimpin Negara, jang bertanggung djawab.
2. Saja menjatakan Bai’at ini sungguh-sungguh karena ichlas dan sutji hati, lillahi ta’ala semata-mata, dan tidak sekali-kali karena sesuatu diluar dan keluar daripada kepentingan Agama Allah, Agama Islam dan Negara Islam Indonesia.
3. Saja sanggup berkorban dengan djiwa, raga dan njawa saja serta apapun jang ada pada saja, berdasarkan sebesar-besar taqwa dan sesempurna-sempurna tawakal ‘alallah, bagi:
a. Mentegakkan kalimatillah—li—I’lai Kalimatillah—; dan
b. Mempertahankan berdirinja Negara Islam Indonesia; hingga hukum Sjari’at Islam seluruhnja berlaku dengan seluas-luasnja dalam kalangan Ummat Islam Bangsa Indonesia, di Indonesia.
4. Saja akan tha’at sepenuhnja kepada perintah Allah, kepada perintah Rasulullah dan kepada perintah Ulil Amri saja, dan mendjauhi segala larangannja, dengan tulus dan setia-hati.
5. Saja tidak akan berchianat kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada Komandan Tentara, serta Pemimpin Negara, dan tidak pula akan membuat noda atas Ummat Islam Bangsa Indonesia.
6. Saja sanggup membela Komandan-komandan Tentara Islam Indonesia dan Pemimpin-pemimpin Negara Islam Indonesia, daripada bahaja, bentjana dan chianat darimana dan apapun djuga.
7. Saja sanggup menerima hukuman dari Ulil Amri saja, sepandjang ke’adilan hukum Islam, bila saja inkar daripada Bai’at jang saja njatakan ini.
8. Semoga Allah berkenan membenarkan pernjataan Bai’at saja ini, serta berkenan pula kiranja Ia melimpahkan Tolong dan Kurnia-Nja atas saja sehingga saja dipandaikan-Nja melakukan tugas sutji, ialah haq dan kewadjiban tiap-tiap Mudjahid: Menggalang Negara Kurnia Allah, Negara Islam Indonesia! Amin. 9. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Kalau kita lihat kalimat “Saya berbai’at kepada Allah dihadapan Ulil Amri..”,
ternyata mereka berbai’at bukan kepada khalifah (manusia), melainkan kepada Allah.
Bai’at dalam pandangan Islam
Bai’at (janji) adalah salah satu hukum syar’i yang berkaitan dengan kepemimpinan, sedangkan bentuk perjanjian yang lain, dalam islam tidaklah dipergunakan istilah bai’at. Bai’at terbagi menjadi dua, yaitu bai’at in’iqadh dan bai’at tha’at.
Bai’at in’iqadh merupakan syarat sah seseorang menjadi khalifah. Bai’at ini hukumnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Ini didasarkan pada ijma’ shahabat, dimana ketika peristiwa di tsaqifah bani saidah, yang membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah hanya ahlul halli wal aqdi bukan seluruh kaum muslimin.
Bai’at tha’at adalah bai’at (janji) dari kaum muslimin yang ditujukan kepada seorang khalifah yang telah ditunjuk, untuk senantiasa mendengar dan tha’at di bawah kepemimpinannya. Bai’at tha’at ini hukumnya adalah fardhu ‘ain atas seluruh kaum muslimin yang telah mendapatkan takliful hukmi (beban hokum).
“Saya berbai’at kepada Allah dihadapan Ulil Amri..”,
Dalam kalimat ini kita bisa simpulkan bahwa mereka melakukan bai’at kepada Allah, bukan kepada khalifah. Shohih atau bathilkah bai’at ini dalam pandangan Islam ?
Hadits Rasulullah saw :
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah, (shahabat) bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepada kami ? (Rasulullah) menjawab : penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama saja. (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Hadits ini tidak memerintahkan kepada kita untuk melakukan bai’at kepada Allah (bahkan hadits ini tidak menyinggung Allah), melainkan kepada manusia (khalifah). Kalau kita lihat lebih rinci urutan hadits ini, bahwa dulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, yang itu merupakan manusia (bukan Allah). Setelah Rasulullah, tidak akan ada nabi kembali, melainkan khalifah. Khalifah inipun manusia, bukan Allah. Jadi perintah dalam hadits ini untuk berbai’at kepada seorang manusia (khalifah), bukan Allah.
Dalam hadits yang lain :
«إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika telah dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya. (HR. Muslim)
Kata li dalam hadits ini langsung disambung dengan lafadz khalifah, bukan lafadz Allah. Sehingga perintah membunuh itu hanya diberikan kepada khalifah yang terakhir dibai’at. Merupakan suatu kejanggalan dalam hadits ini, jika seandainya bai’at diberikan kepada Allah. Sebab hadits ini memerintahkan kita untuk membunuh orang terakhir yang dibai’at, sementara Allah hanya satu (tidak lebih dari satu), sehingga bagaimana mungkin ada dua Allah yang kita bai’at, dan bagaimana mungkin kita bisa membunuh Allah ?
Hadits Rasulullah saw :
«وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ»
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam sekaligus memberikan kedua tangannya dan buah hatinya, maka taatilah imam itu semampunya. (HR Muslim).
Hadits ini lebih jelas lagi memerintahkan kita (secara tidak langsung), untuk membai’at seorang khalifah. Dan bai’at hanya ditujukan kepada khalifah, bukan kepada manusia lain atau bahkan kepada Allah.
Rasulullah dalam perjalanan hidupnya, pernah mendapatkan bai’at dari kaum muslimin. Ini terjadi pada peristiwa bai’at aqabah I dan II.
«قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ»
Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun tidak kami senangi. (HR Muslim).
Hadits ini semakin memperjelas bahwa sesungguhnya bai’at itu bukan ditujukan kepada Allah, melainkan kepada manusia. Sehingga bai’at yang ditujukan kepada Allah adalah bathil, karena tidak sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah dalam beberapa hadits.
Sedangkan dalam hadits Rasulullah saw. yang lain disebutkan :
“Barangsiapa yang berbuat suatu amal perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya itu tertolak” (HR. Muslim)
Ketika bai’at yang ditujukan kepada Allah, maka bai’at itu adalah bathil. Karena secara amal tidak mengikuti tuntunan Rasulullah, yang akan mengakibatkan amal tersebut tertolak.