Perkataan semacam itu biasanya muncul dari satu di antara tiga keadaan seseorang:

Pertama, Perkataan terkesan/bernada yang putus asa,  yakni tidak mau susah banyak mikir. Padahal susah atau tidak susah,  mikir atau tidak mikir, pada Hari Kiamat tiap diri akan didatangkan pimpinannya. Perhatikan Firman Allah yang bunyi-Nya:

“(Ingatlah) suatu  hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya  ditangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. -(Q.S. Al Israa:71).

Berdasarkan ayat di atas itu,  sadar atau tidak bahwa di bumi ada dua kepemimpinan. Yakni,  jika diri tidak berada dalam kepemimpinan yang haq,  berarti berada dalam kepemimpinan batal. Dengan itu  sekalipun  bagi  yang tidak merasakan dalam suatu kepemimpinan maka kepadanya tetap akan didatangkan saksinya yaitu pemimpin,  terlepas  dari apakah itu  yang bathal atau  yang haq.  Dalam  Al-Qur’an surat 90 ayat 10 dinyatakan  yang bunyinya  :     “وهدينه النجدين”    “Dan Kami telah menunjukkan  kepadanya dua jalan”.Dengan itu jelas  bila tidak dalam yang haq, berarti dalam  bathal.

Sehubungan dengan saksi di Akhirat, kita perhatikan lagi ayat yang bunyinya:

“Dan bagaimanakah (jadinya) nanti jika diri tiap-tiap umat kami datangkan seorang saksi,  dan kami datangkan engkau sebagai saksi terhadap mereka ?”_(Q.S. An-Nisa:41).

Sebuah riwayat menerangkan bahwa Nabi Saw pernah berkata kepada Abdullah bin Mas’ud: “Bacakanlah Qur’an untukku !” Abdullah bin Mas’ud menjawab: Ya,  Rasulullah,  bagaimana aku membacanya untuk engkau,  sedangkan Al-Qur’an itu turun kepada engkau ?” Nabi SAW  menerangkan: “Aku ingin mendengarnya dari yang lain”. Kemudian Abdullah bin Mas’ud membacakan surat An-Nisa. Sesa’at sampai pada ayat di atas tadi (Q.S.4:41),  Nabi Saw berkata:”Cukuplah sekarang !” Ketika Abdullah bin Mas’ud menolehnya,  tampak air mata beliau berlinang-linang. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu Nabi Saw  menambahkan perkataannya : ”Sebagai saksi selama aku berada di tengah-tengah mereka…”.

Dari keterangan tersebut itu dimengerti Bahwa Nabi Muhammad Saw akan menjadi saksi nanti di akhirat terhadap perbuatan umatnya sewaktu masih dipimpin olehnya, tetapi sesudah mereka ditinggalkan wafat oleh Rasulullah SAW,  maka persaksian itu bukan haknya lagi. Pada hari kiamat kelak Nabi Saw akan dikejutkan oleh orang-orang yang sewaktu hayatnya Rasul s a w dipandang sebagai orang-orang yang tetap ta’at pada Hukum-Hukum Allah,  tetapi sesudah Nabi s a w itu wafat,  dan mereka itu menghadapi rupa-rupa cobaan ternyata dari perbuatan mereka itu diantaranya banyak didorong oleh nafsu duniawi,  sehingga melanggar aturan-aturan Islam. Mengenai mereka itu kelak Nabi SAW  akan berkata kepada Allah SWT sebagaimana yang dikatakan  oleh Nabi Isas as:

“…aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku,  Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan  Engkau  adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”.-(Q.S. Al Maidah:117).

Lebih lanjut kita perhatikan  ayat yang bunyinya:

“Allah berfirman:”Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain ….”.-(Q.S. Al A’raf:24).

Dari ayat di atas itu dimengerti, disadari atau tidak  bahwa di dunia ini terjadi permusuhan. Yaitu antara Hizbullah (Q.S.5:56)dengan Hijbusyaithooan(Q.S.58:19), antara yang taat sepenuhnya terhadap hukum Allah dengan manusia-manusia yang  mendurhakai-Nya.

“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan(dari jenis)manusia dan (dari jenis) jin,  sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk  menipu (menyesatkan). Jikalau  Robbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,  maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka kerjakan”._(Q.S. Al An’am:112).

Dari ayat itu dipahami bahwa golongan syaitan dari jenis manusia itu adalah umum,  artinya tidak mesti dengan  nama yang  khusus,  tetapi bisa saja dengan sebutan yang sesuai  dengan kondisi  dan situasi jamannya. Dengan demikian dalam versi apapun namanya,  baik itu mengatas-namakan Islam atau bukan,  tetapi jika keberadaannya tidak memiliki ketegasan memihak kepada yang sepenuhnya ta’at terhadap Allah, maka tetap dalam kepemimpinan “syetan”! Dalam arti tidak memiliki    “Furqoon”.

Pribadi mu’min tidak lepas dari kewajiban memiliki pemimpin. Apalagi  untuk menjalankan hukum-hukum seperti “Hudud (Q.S.5:38),  Qishas (Q.S.5:45),  Jinayah (Q.S.24:2)”. Bisa tegaknya hukum-hukum itu jika  tegak kedaulatan Islam. Bisanya tegak kedaulatan Islam jika didahului oleh adanya kepemimpinan yang “  Furqon.” Sebab itu bila tidak butuh dengan kepemimpinan sedemikian, bukanlah seorang  Islam,  sebab tidak menjalankan Qur’an surat 4 An-Nisa ayat 59).

Kedua, Pernyataan tersebut keluar dari yang belum paham tata-cara jihad dalam Islam. Mengapa ? Karena,  perkataan ini muncul biasanya dari yang kelelahan mencari pemimpin. Apalagi jika yang diikuti selama ini adalah orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu dengan aturan,  berangan-angan melamunkan seorang pemimpin ideal. Akhirnya bergonta-ganti pimpinan,  maka ujung ceritanya adalah kenyataan di atas: “Sudahlah tidak usah meributkan pimpinan, yang penting kerja saja !”

Padahal jihad itu harus dibawah komando Imam (Pemimpin Negara). Para sahabat saja sampai terpaksa menunda pengurusan jenazah Rasul SAW. terlambat dua hari setengah,  karena menunggu wujudnya kepemimpinan guna melakukan jihad fisabilillah.

Ketiga, Bisa juga perkataan di atas tadi itu timbul dari perasaan bahwa ibadahnya sudah sempurna atau tidak lagi mempunyai dosa,  karena anggapan cukup dengan menjalankan ibadah puasa Bulan Ramadhan. Sehingga merasa tidak perlu adanya pemimpin. Hampir banyak yang hapal akan sabda Nabi Saw  yang  bunyinya:

من صام رمضان إ يمانا واحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه.(متفق عليه).

“Barang siapa  yang berpuasa  Ramadhan atas dasar keimanan dan tepat perhitungan waktunya,  diampunilah baginya  apa-apa yang terdahulu daripada dosanya.” (H.R.Bukhori-Muslim).

Pengertian dari hadist di atas,  yaitu dia berpuasa sesuai dengan aturannya, juga posisi dirinya berada dalam kepemimpinan yang terpisah dari kepemimpinan yang memusuhi hukum Islam. Umpama saja seorang  guru kelas 2 S.D. IV berkata kepada muridnya:  “Barangsiapa yang bisa menggambar mobil seperti gambar mobil ini maka akan memperoleh hadiah buku tebal ini”. Jelas,  hadiah cuma diberikan kepada yang berhasil mengerjakannya dari murid kelas 2 S.D. IV. Jadi, tidak masuk akal kalau ada murid dari kelas atau sekolah lain menggambar mobil memperoleh hadiah buku tebal yang dijanjikan oleh guru kelas 2,  S.D. IV tadi.

Nabi SAW tidak mengemukakan adanya kewajiban berpuasa kepada  para pengikut Abu Jahal cs. Karena itu,  apa yang disabdakannya juga tidak ditujukan kepada yang masih mengabdikan dirinya bagi “Kebangsaan Quraiys Makkah” sehingga anti pemerintahan Islam di Madinah. Tidak ditujukan kepada yang anti terhadap negara yang didasari Qur’an  dan Sunnah Nabi SAW. Tidak ditujukan kepada yang beriman akan sebagian ayat serta ingkar kepada sebagiannya. Tidak pula ditujukan kepada mereka yang  menjadi alat pemerintahan yang anti terhadap hukum-hukum Al-Qur’an sehingga ikut terlibat menjegal tegaknya hukum   Islam secara keseluruhan.

Keempat, Perkataan di atas tadi muncul dari orang yang tidak mengerti tentang pentingnya nilai kepemimpinan dalam Islam.

Bila  menyusun Shaf tanpa harus mempertimbangkan dasar kepemimpinan,  maka atas dasar apa penyusunan itu dilakukan ? Atas dasar inisiatip pribadi ? Ya,  kalau pribadi bisa-bisa seribu pribadi jadi pemimpin,  bahkan lebih dari seribu…. Bila dasarnya inisiatip maka ini jelas bukan logika rakyat Negara Islam yang mendasarkan dirinya pada keta’atan yang lengkap pada Alloh,  Rosul dan Ulil Amri (S.4:59). Bagaimana bisa tertib kepemimpinan,  kalau awalnya saja sudah tidak teratur,  berjalan bagaimana kemauan sendiri sendiri !

Syarat berdirinya negara,  salah satunya adalah adanya pemimpin. Jika syarat utama ini diabaikan/dianggap tidak mendesak,  maka secara langsung orang yang berpendapat begitu,  meruntuhkan negara itu sendiri. Jadi,  perjuangan apa yang sedang disusun itu ?

Sepanjang sejarah sunnah,  gerakan ummat itu muncul dari adanya pemimpin. Sebelum adanya kesatuan muslimin,  baik itu di Makkah ataupun di Madinah,  didahului adanya pemimpin.

Menjawab pertanyaan di atas tadi,  perhatikan lebih dahulu ayat-ayat di bawah ini:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,  untuk tunduk hati mereka untuk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”–(Q.S. Al hadid:16).

“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa : “Hai kaumku, bukankah Robbmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik ? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Robbmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku ?”. —(Q.S. Thaahaa:86).

Dari kedua ayat di atas itu diambil arti,  sebagai mukmin harus bisa bertahan dalam berpegang pada ketetapan Allah,  meski waktu telah begitu lama melampauinya. Jika dikaitkan dengan lamanya diri mencari kejelasan pimpinan,  sementara belum juga mendapatinya maka dalam hal itu tidak boleh berkata yang menyalahi dari ketetapan Allah,  seperti halnya sudah tidak perlu adanya pemimpin.

Mestinya, jika diri sudah berusaha mencari pemimpin yang sebenarnya sedangkan belum juga didapati,  maka berkatanya pun harus mengandung unsur perlu adanya pemimpin sehingga padanya didapat “nilai kesabaran”. Perhatikan ayat yang bunyinya :

“Dan di antara mereka kami jadikan pemimpin untuk memberi petunjuk dengan perintah kami pada waktu mereka sabar. Dan mereka yakin kepada ayat-ayat Kami.” —(Q.S. As Sajdah:24).

Meskipun ayat di atas itu terkait dengan  kisah Bani Israil,  namun sejarah tadi termaktub dalam Al-Qur’an,  maka sudah seharusnya segenap Ahlul Qur’an mengambil hikmah. Ayat di atas memberikan gambaran pada kita bahwa munculnya pemimpin sebagai kekuatan de fakto adalah hasil proses kesabaran yang panjang. Untuk jelasnya kita ulangi lagi ayat yang bunyinya:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,  untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasik.”__(Q.S. Al Hadid:16).

Ayat di atas itu mengingatkan kita bahwa setiap mukmin hendaknya bersegera menerima kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka. Jangan seperti Yahudi / Nasrani, di mana ketika datang kebenaran pada mereka,  hati mereka bukan terbuka,  malah menutup dan mengeras saking lamanya mereka berketerusan dalam kegamangan tanpa informasi. Ujung ayat dijelaskan bahwa menolak kebenaran yang baru datang , dan tetap berpegang pada informasi lama yang gamang tadi akan menjadikan keliru dalam melangkah dan mengambil keputusan, jadilah orang fasik dalam pandangan-Nya. Naudzubillaahi min dzalik.

Kembali kepada persoalan kita, penjelasan ini pun akan membelah ummat menjadi dua golongan :

  1. Yang dengan hati terbuka menerima perundang-undangan NII.
  2. Yang menutup dan mengeras, karena terpaut dalam kekuasaan dengan waktu yang lama mengambil keputusan diluar hukum tata aturan NII.

Kepada yang enggan menerima hanya karena terlanjur lama berpegang pada “tradisi lisan” para tokoh mereka, cobalah bertanya pada diri,  patutkah menamakan diri gerakan Negara Islam bila tidak ada dasar kejelasan kepemimpinannya ? Dan tahukah anda bahwa sikap keras hati menolak aturan itulah yang memperpanjang kemelut permusuhan dan saling membenci di antara umat ? Bukankah umat Nasrani pun terus menerus dalam permusuhan dan kebencian karena mereka melalaikan sebagian peringatan (Q.S.5/14) sebagaimana anda pun telah memisahkan NII dengan kesempurnaan aturannya ?

Dalam diri kita ada hawa nafsu yang harus diperangi. Jika tidak bisa mengalahkannya,  maka begitu datang kejelasan hukum,  bukannya bersyukur dan membersihkan diri,  tetapi malah berkelit-kelit mengikuti nafsu yang telah lama dalam keterlanjuran. Karena itu,  terhadap mereka yang selalu menghindar dari kepemimpinan yang berdasarkan perundang-undangan NII,  maka tinggalkan saja,  dan kita berpegang pada ayat yang bunyinya:

” Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Robbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertaqwa.”-(Q.S. Ali Imron:33).