Pengangkatan Adah Jaelani Tirtapraja pada Tahun 1978 itu tidak bisa dinyatakan sebagai musyawarah NII, sebab bertentangan dengan undang-undang Negara Islam Indonesia. Musyawarah bisa disebut baik, apabila musyawarah itu sesuai dengan undang-undang NII. Tetapi, karena yang menamakan musyawarah NII, 1978 itu bertentangan dengan undang-undang NII, maka pengangkatan Adah Jaelani Tirtapraja sebagai Imamnya itu bukan saja tidak baik, melainkan juga secara hukum bukanlah musyawarah NII yang sebenarnya dari Proklamasi 7 Agustus 1949. Bila ada yang mengatakan baik, maka itu hanyalah menurut tinjauan dari pribadi dan bukan menurut dasar hukum NII. Sebab-sebabnya antara lain yaitu :

  1. Menurut Qanun Azasy (UUD NII) Bab VI Pasal 12 ayat 2 “Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 dari pada seluruh anggota”. Dan menurut Bab II Pasal 4 Ayat 1 “Majlis Syuro terdiri atas wakil-wakil rakyat ditambah dengan utusan golongan-golongan menurut ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan mereka yagn mengatasnamakan musyawarah pengangkatan Imam NII 1978 itu, para pelakunya bukan wakil-wakil rakyat NII juga bukan utusan golongan-golongan, melainkan adalah pribadi-pribadi dalam arti tidak berhak mengangkat Imam NII.
  2. Sejak Proklamasi 7 Agustus 1949 sampai ditulisnya buku ini, Negara Islam Indonesia dalam keadaan Masa Perang sehingga belum ada Parlemen (Majlis Syuro) yang seperti dalam Bab II Pasal 4 ayat 1 tadi. Dengan keadaan demikian berlaku Undang-undang Pasal 3 ayat 2, “Jika keadaan memaksa, hak Majlis Syuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah”. Sedangkan mereka yang mengatasnamakan Musyawarah 1978 itu bukanlah para anggota Dewan Imamah, melainkan terdiri dari sebagian tokoh yang telah melarikan diri dari Medan Perang atau datang menyerahkan diri ke pihak musuh.
  3. Menurut Bab XV Perubahan Qanun Azasy Pasal 34 dalam hal, “Cara Berputarnya Roda Pemerintahan”. Pasal 1 ; “Pada umumnya roda Pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan dalam “Qanun Azasy”, dan sesuai dengan pasal 3 dari “Qanun Azasy”, sementara belum ada Parlemen (Majlis Syuro), segala undang-undang ditetapkan oleh Dewan Imamah dalam bentuk Maklumat-Maklumat yang ditanda-tangani oleh Imam”

Adapun bunyi Maklumat yang ditetapkan oleh Dewan Imamah yang tercantum dalam Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) No. 11, Tahun 1959 di antaranya yaitu :

“K.P.S.I. dipimpin langsung oleh Imam-Plm. T.APN.I.I., Jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh”.

“Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan di antara Anggota-Anggota K.T., termasuk didalamnya K.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggota-Anggota K.T.”.

Berdasarkan undang-undang itu (MKT. no. 11 Thn 1959), maka yang berhak dipilih sebagai Panglima Perang Pusat (Imam) dalam Masa Perang (sementara belum ada Parlemen) harus diambil dari A.K.T. (Anggota Komandemen Tertinggi), termasuk didalamnya K.S.U. (Kepala Staf Umum) dan K.U.K.T. (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi) atau yang setaraf dengan A.K.T. yang dalam hal ini adalah Panglima KPWB (Komando Perang Wilayah Besar), Sedangkan Musyawarah 1978 tidak sesuai dengan undang-undang tersebut di atas tadi. Antara lain :

a). Bukan saja karena kebanyakan yang ikut bermusyawarah itu orang-orang yang tidak berkedudukan setaraf dengan A.K.T., tetapi mereka juga adalah yang sudah keluar dari NII (meninggalkan Imam di Medan Jihad).

b). Yang diangkat oleh mereka sebagai Imam NII adalah Adah Jaelani Tirtapraja yang sudah desersi, keluar dari NII; menyerahkan diri kepada Pemerintah R.I. Dengan itu dia tidak lagi menjadi A.K.T.

Kesimpulannya, Musyawarah 1978 itu tidak memakai undang-undang NII. Terbukti telah melanggar:

  1. Bab IV Pasal 12 Ayat 2, “Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh anggota”. Sedangkan pada kondisi Masa Perang ini belum ada Majlis Syuro (Parlemen).
  2. Bab IV Pasal 13 Ayat 3 : “Didalam hal-hal yang amat memaksa, maka Dewan Imamah harus selekas mungkin mengadakan sidang untuk memutuskan Wakil Imam Sementara”. Sedangkan yang hadir pada musyawarah itu bukan anggota-anggota Dewan Imamah. Dengan demikian pengangkatan Imam diluar undang-undang, adalah “illegal”. Artinya, posisi kepemimpinan Adah Jaelani Tirtapraja itu sekali diluar ketentuan hokum NII. Dari itu, bagaimana mungkin orang yang diangkat berdasarkan ketentuan Non NII, bisa “sah” memimpin Negara Islam Indonesia???
  3. Bab XV Perubahan Qanun Azasy Pasal 34. “Cara Berputarnya Roda Pemerintahan”. Ayat 1 yang dituangkan kepada Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) No. 11 Tahun 1959 mengenai penggantian Imam dalam Masa Perang, singkatnya menerangkan bahwa yang mengangkat dan yang diangkat sebagai Imam itu harus setaraf dengan A.K.T.  Sedangkan musyawarah 1978 itu para pelakunya bukanlah yang setaraf dengan A.K.T, dan yang diangkatnya juga bukan anggota AKT lagi. Melainkan, yaitu Adah Jaelani Tirtapraja bekas AKT, sebab telah melaporkan diri ke pihak musuh sewaktu Imam S.M. Kartosoewirjo belum tertangkap. Adah Djaelani turun 29 Mei 1962 (Suluh Indonesia, 29 Djuni 1962). Bernegara berarti berhukum dan berarti pula berundang-undang. Maka, bermusyawarahnya juga mesti berdasarkan peraturan dari negara itu. Jika sekedar mengaku telah bermusyawarah tanpa undang-undang negara, maka siapa pun bisa. Cuma, jadi pemimpin apa namanya? Sebab, bila aturannya dari Persatuan Pencak Silat, ya, pemimpin Persatuan Pencak Silat.

Begitu juga jika aturannya dari pribadi-pribadi maka hasilnya juga jadi pemimpin pribadi-pribadi. Kemudian bila yang aturannya dari pribadi-pribadi itu dilakukan sebagai pemimpin negara, maka hasil musyawarah seperti itu bukan hanya “tidak baik melainkan juga ngawur” Negara, sedangkan aturannya dari pribadi, maka bisa-bisa banyak sekali yang mengatasnamakan Negara Islam di Indonesia. Jika hal demikian masih saja dianggap baik maka waspadalah jangan kena ayat di bawah ini :

“…. Dan syaithan pun menampakkan kepada mereka kebaikan apa yang selalu mereka kerjakan”. (Q.S. Al An’am : 43).

Catatan: Sekali lagi pengelola blog ini mohon maaf bila dalam penyebutan “tokoh” ada yang merasa “tersinggung” baik dari pribadinya, keluarganya maupun pengikutnya. Saya tidak ada motivasi lain apalagi membuka aib orang, na’udzu billah min dzalik SELAIN HANYA UNTUK MELURUSKAN SEJARAH PERJALANAN DAN PERJUANGAN NII.

Sumber: Buku Rujukan Negara Islam Indonesia (RUNISI) jilid 2