Isyu lain yang mengguncang ummat adalah dikatakan bahwa Negara Islam Indonesia memberlakukan sistem kufur, karena sifat negara itu berbentuk Jumhuriyah (republik) bukan sistem khilafah. Hal ini didasarkan pada Qanun Azasy Negara Islam Indonesia Bab I, Padal 1, ayat 2, yang menegaskan bahwa sifat negara bukanlah kerajaan tetapi Jumhuriyah atau Republik.

 

Ada yang lucu ketika saya berdialog dengan mereka yang menerima isyu di atas sebagai sebuah kebenaran, ketika saya tanyakan: “Apa itu sistem Khilafah?” Jawabannya sederhana: “Pemimpinnya disebut seorang kholifah, bukan Presiden, dan negaranya mendunia bukan lokal seperti NII”. Kemudian saya tanya: “Kapan kekhilafahan berakhir?” Dia jawab: “Tahun 1924, dengan jatuhnya khilafah Turki Utsmani.” Saya katakan: “Anda katakan sendiri Khilafah itu Turki, bahkan Utsmani lagi, di mana letak kemenduniaannya? Bagaimana dengan pernyataan Nabi SAW, bahwa khilafah sepeninggalku tiga puluh tahun, kemudian setelah itu akan datang masa kerajaan? Apa itu sistem Khilafah dan apa itu sistem Kerajaan?” Ternyata banyak yang mengelu-elukan sistem khilafah, tetapi tidak tahu hakikat dari sistem khilafah tersebut, bahkan tidak bisa membedakannya dengan sistem kerajaan yang disebutkan Nabi SAW akan menggantikan sistem Khilafah.

Begitu juga ketika ditanyakan tentang apa arti Republik, dengan sederhana, dan tata bahasa Ingris yang salah, mereka mengartikan Republik, sebagai Re (dikembalikan kepada) Publik (umum), katanya urusan undang-undang atau apa pun dalam sebuah Republik adalah dikembalikan kepada umum. Penjelasan ini menggelikan karena Republik bukanlah seperti itu penjelasannya. Ia berasal dari kata Res-publica yang artinya kesejahteraan umum.

Dalam Ilmu Kenegaraan Umum, republik adalah sebuah negara yang  pemerintahannya beda dengan sistem kerajaan yang dipegang oleh satu dinasti/keluarga secara turun temurun. Dalam Sistem Kenegaraan Islam, khilafah sebagaimana difahami para shahabat Nabi SAW yang mulia, adalah jabatan yang dipilih dan harus diputuskan berdasarkan kerelaan kaum muslimin dan hasil musyawarah antar mereka. Adapun pewarisan atau merampas kekuasaan secara paksa, maka itu –dalam pandangan para sahabat ra- bukanlah khilafah, tapi kerajaan. Abu Musa Al Asy‘ari menjelaskan perbedaan antara kekhalifahan dan kerajaan dengan kata-kata yang sangat jelas menunjukkan pendirian mereka:

“Kepemimpinan yang benar adalah yang berdasarkan musyawarah. Adapun Kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan pedang. (Ibnu Sa’d , At Thabaqat Kubra, Daar Shadir, Beirut, 1957M, Jilid 4, hal 113).

Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Menyalami Mu’awiyah setelah ia dibai’at dengan ucapan “Assalamu’alaykum wahai raja.” Muawiyah berkata: “Apa salahnya sekiranya anda berkata: Wahai Amirul Mukminin?” Sa’ad menjawab: “Demi Allah, aku sungguh-sungguh tidak ingin memperoleh jabatan itu dengan cara yang telah menyebabkan anda memperoleh-nya” (Ibnu Atsir, Al Kamil, Al Muniriyah, Mesir, 1356 H, jilid 3 hal 405). Bahkan Mu’awiyah sendiri mengerti hakikat ini, sehingga pada suatu hari ia berkata:Aku adalah raja pertama(Ibnu ‘Abdil Barr, Al Isti’ab, Dairaat Al Maarif, Haidar Abad, India, 1336H, jilid 1 hal. 254. juga Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, as Saadah, Mesir , tt, jilid 8 hal. 135)

Kerajaan difahami para shahabat nabi sebagai pemerintahan yang tidak berdasarkan kerelaan rakyat, tidak berdasarkan bai’at ummah secara sukarela, tapi dipaksakan dengan kekuasaan. Sebagaimana Muawi-yah disebut sebagai raja yang pertama dalam sejarah Islam karena pengangkatannya bukan atas kerelaan ummat.

Dan dalam pandangan ahli sejarah Islam, diakui sebagai Kholifah apabila pemerintah yang menjalankan syariat Islam itu terangkat atas dasar kerelaan Ummat. Sebagaimana Kholifah Umar bin Abdul Aziz disebut khalifah kelima, menyelip di antara silsilah raja-raja Bani Umayyah, sebab beliau terangkat dengan kerelaan Ummah, berbeda dengan raja-raja Bani Umayyah lainnya.

Sekalipun pada tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz terangkat sebagai ‘Khalifah’ atas wasiat rahasia Sulaiman bin Abdul Malik, namun ia tidak menjadikan itu sebagai dasar kepemimpinannya. Bahkan ia berpidato, yang di dalamnya secara tidak langsung dijelaskan kepada rakyat, perbedaan antara Khilafah dan Kerajaan: “Saudara-sauudara, sesungguhnya aku ditimpa bala dengan kedudukanku ini, yang telah kuperoleh tanpa dimusyawarahkan dengan diriku sebelumnya dan tidak pernah pula dimusyawarahkan dengan muslimin. Kini aku melepaskan bai’at kepadaku yang melingkungi leher kalian, maka pilihlah bagi kalian dan urusan kalian, siapa yang kalian rela”. Maka berteriaklah para hadirin secara serentak: “Kami telah memilih diri anda bagi diri kami dan urusan-urusan kami dan kami semua ridha dengan anda (Ibnu Katsir, Al Bidayah, as Saadah, Mesir , tt, jilid 9 hal. 212 – 213)

Disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam yang benar adalah yang menganut “Kedaulatan hak mutlak Allah, sedang Kekuasaan di tangan ummat” dalam arti bahwa kekuasaan membuat hukum dan menegakkan pemerintahan di muka bumi adalah hak Allah semata, dan seseorang hanya boleh menjalankan kekuasaan dan menetapkan hukum, dengan syarat hukum dan pemerintahan itu sejalan dengan kehendak Allah semata, sedangkan siapa yang berhak memegang kekuasaan tertinggi atas negara itu, haruslah mendapatkan pemilihan dan persetujuan (wakil-wakil) rakyat atas pemilihan Khilafah tersebut.

Dalam Negara Islam Indonesia, “Kedaulatan sebagai hak mutlak Allah” digariskan dalam Qanun Azasy Negara Islam Indonesia Bab I (Negara, Hukum dan Kekuasaan) pasal 2 ayat 1 dan 2, dengan kalimat:

  1. Dasar dan Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Islam.
  2. Hukum yang tertinggi adalah qur’an dan Hadits sahih.

Adapun masalah “Kekuasaan di tangan ummat”, digariskan dengan tegas dalam Qanun Azasy Negara Islam Indonesia Bab I, Padal 1, ayat 2, yang menegaskan bahwa sifat negara bukanlah kerajaan tetapi Jumhuriyah atau Republik. Istilah republik ini diambil dengan mengacu kepada Teori Kenegaraan Umum, yang pada intinya sama dengan sistem “Khilafah” yang membedakannya dengan sistem Kerajaan dalam Teori Kenegaraan Islam, seperti telah dijelaskan di muka.

Jika demikian maka Qanun Azasy Negara Islam Indonesia yang mendasarkan negara atas Islam, menjadikan hukum tertinggi Al Quran dan Hadits Shahih serta pemimpin tertinggi negara dan pemerintahannya bukanlah bentuk kerajaan tetapi diserahkan pada pilihan rakyat. Maka sifat negara seperti inilah yang dimaksud dengan sistem Khilafah dalam Teori Politik Islam, atau disebut Republik jika mengikuti sistem pembagian jenis suksesi pemerintahan menurut Ilmu Kenegaraan Umum. Dan Negara Islam Indonesia telah memenuhi kriteria tersebut.

Memang untuk menghilangkan fitnah di kalangan orang awam, yang sulit memahami masalah ilmu politik, baik ilmu politik kenegaraan Islam maupun ilmu politik kenegaraan umum, akan lebih baik apabila redaksi Qanun Azasy diubah dengan menegaskan bahwa sifat negara itu menganut sistem Khilafah. Walaupun sebenarnya dengan kesatuan pasal demi pasal dalam Bab I Qanun Azasy Negara Islam Indonesia sendiri sudah mencukupi maksud tersebut.

Perubahan Qanun Azasy memerlukan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota Majlis Syuro (Qanun Azasy, Negara Islam Indonesia, Bab XV, Pasal 34, ayat 1) yang dalam keadaan berjaya, anggota Majlis Syuro ini terdiri dari wakil-wakil rakyat dan utusan golongan. Bukan hanya yang sekarang aktif sebagai rakyat Islam berjuang saja, tapi juga para ulama dan cendekiawan dari organisasi-organisasi dakwah yang hari ini aktif bergerak di Nusantara, bahkan individu yang dipercaya rakyat untuk mewakili mereka. Seluruh pihak yang berkompeten yang terpilih sesuai dengan undang-undang, akan duduk dan bermusyawarah menetapkan perubahan Qanun Azasy.

Berjayanya Negara Islam Indonesia, tidak akan membubarkan organisasi-organisasi Islam yang kini bergerak aktif di Nusantara, sebab Negara Islam Indonesia bukanlah saingan dari organisasi-organisasi itu, bahkan NII akan melindungi mereka, sebagai organisasi massa yang terus mencerdaskan rakyat dalam partisipasi politik mereka sebagai warga negara Islam berjaya kelak. Mereka juga yang akan turut mengawal jalannya revolusi Islam dan pembangunan Peradaban Islam agar tidak keluar dari jalur syariat.

Sehingga walaupun hari ini, belum cukup syarat untuk merubahnya, namun secara wacana dan pengertian hal ini sudah dikemukakan.

Dalam paparan di atas, terbukti, sekalipun dengan redaksi yang berbeda, pada hakikatnya Jumhuriyah (Republik) dengan Sistem Khilafah tidaklah berbeda, walaupun di kalangan orang yang buta ilmu politik, hal ini menjadi perbincangan keras dan debat kusir yang berkepanjangan.

Sumber: Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita/ Al Chaidar