Tanya:

“Bagaimana jika  Ikrar Bersama,  1 Agustus 1962 itu diniatkan sebagaimana yang terjadi pada Amar bin Yasir atau juga sebagai siasat perang ?”

Jawab:

1. Bukan Ijtihad

Sebagian Tentara Islam Indonesia yang menyerahkan diri kepada musuh pada tahun 1962 atau sebelumnya itu bukan merupakan ijtihad. Sebagai dasarnya antara lain yaitu :

  1. Adanya ijtihad itu apabila menghadapi masalah yang tidak didapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka diputuskan dengan ijtihaad, dan keputusan itu tidak menyimpang dari Qur’an dan Sunnah. Adapun kabar dari medan perang meninggalkan Imam kemudian sengaja datang kepada musuh menyerahkan diri serta menyatakan setia kepada mereka itu, jelas melanggar hokum Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
  2. Dibolehkan ijtihad hanya untuk kebaikan dalam arti tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan meninggalkan Imam, kemudian melaporkan diri kepada musuh jelas itu melanggari baiat dan jelas sekali melanggar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
  3. Jika melarikan diri dari medan perang, meninggalkan Imam dengan dalih ijtihad karena terdesak, maka dimana letak pembelaan kepada  pimpinan dan perjuangan dengan pengorbanannya ?
  4. Jika kabur dari medan perang dengan meninggalkan Imam dan banyak kesatuan prajurit bawahanya dibenarkan dengan dalih ijtihad, sedangkan hal itu jelas merusak Jihad, maka bagaimana bisa dikatakan tidak melanggar Qur’an ?
  5. Apabila melarikan diri dari medan perang kemudian menyerahkan senjata kepada musuh dibolehkan dengan dalih ijtihad terdesak, maka apa artinya ancaman hukum bagi para pelaku Firror pada Perang Uhud dan Perang Akhzaab sedangkan kondisinya sama terdesak ?
  6. Pada Perang Akhzaab dan Perang Hunain pun terdesak, namun umat pada zaman Nabi SAW diwajibkan bersabar sehingga terbunuh atau menang (Q.S. An Nisa : 74).
  7. Para prajurit yang meninggalkan medan perang Akhzaab mereka diklasifikasikan sebagai kaum munafiq padahal larinya bukan ke pihak musuh, maka bagaimanakah bagi yang meninggalkan Imam di medan perang, kemudian melaporkan diri ke pihak musuh sehingga Imam tertangkap Tanggal 4 Juni 1962 ?
  8. Bila setiap terdesak oleh musuh kemudian dibolehkan menyerahkan diri dengan dalih ijtihad, maka tidak relevan dengan harapan Mati Syahid dan tidak relevan pula dengan ayat yang bunyinya :
  9. Jika setiap terdesak kemudian boleh menyerahkan diri kepada musuh, maka tidak ada artinya menegakkan Hak. Dan selamanya tidak akan tegak “Kebenaran”, jika setiap terdesak lalu menyerah. Lagi pula apa artinya begitu lama menyusun kekuatan dengan banyak pengorbanan, jika akhirnya boleh menyerahkan diri kepada musuh ?

Dengan sembilan point diatas itu saja sudah cukup, bahwa kabur meninggalkan medan perang itu bukanlah ijtihad. Apalagi jika hal itu dilakukan oleh para komandan yang bisa mempengaruhi banyak prajurit. Perhatikan ayat di bawah ini :

“Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah : “Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)”. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggung jawabannya.

“Katakanlah : “Lari itu sekali kali tidak berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian, atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja” (Q.S. Al Ahzab : 15-16).

2. Bukan Siasat

Untuk memahami mengenai perbedaan antara yang menyerah kepada musuh dengan yang mengatur siasat, perhatikan Al-Qur’an Surat 8 ayat 16 yang bunyinya :

“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) diwaktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam dan sangat buruklah kediamannya itu.” (Q.S. Al Anfal : 16).

Pada ayat itu didapat kalimat “kecuali berbelok untuk (siasat) perang.” Pengertiannya, yaitu diperbolehkannya mundur jika  hal itu merupakan manuver guna memukul balik serangan musuh. Tegasnya, ialah mundur teratur guna bisa meneruskan perlawanan sampai datang pertolongan dari Allah. Dengan itu mesti memanfaatkan kekuatan yang ada, baik personal maupun persenjataan. Jadi, yang dinamakan mundur mengatur siasat itu bukannya untuk angkat tangan dihadapan musuh, dan meletakkan senjata untuk diambil oleh musuh. Hal sedemikian bukan memanfaatkan kekuatan yang ada, tapi meluluhkan pasukan yang ditinggalkan para panglimanya ! Seratus prajurit menyerah, maka kecil pengaruhnya terhadap panglima. Tetapi, jika ada di antara panglima menyerah kepada musuh maka akan besar mempengaruhi ribuan prajurit. Dengan itu sikap panglima sedemikian (tahun 1961-1962) tidak memiliki nilai menggabungkan diri dengan pasukan yang ada. Memanfaatkan kekuatan yang ada bukanlah meninggalkan Imam hingga tertangkap !.

Pada ayat lain (Q.S. Al Anfal : 16) juga didapat kalimat “atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain”. Yang dimaksud pasukan lain ialah pasukan yang berada pada garis belakang atau pasukan yang posisinya terpisah darinya untuk kemudian bisa bersama-sama mengadakan perlawanan kembali. Sedangkan yang mereka lakukan pada tahun 1962 itu bukanlah menggabungkan diri kepada pasukan yang masih bertahan, tetapi malah sebaliknya yakni berbelok ke pihak musuh kemudian mempengaruhi yang lainnya untuk menyerahkan diri ke pihak musuh pula. Dengan demikian bahwa kejadian pada tahun 1961-1962 jelas bukan siasat perang. Dan itu memang perbuatan mereka bertentangan dengan Al-Qur’an surat 8 ayat 16 tersebut di atas.

3. Tidak Sama dengan kasus ‘Amar Bin Yasir

Ikrar Bersama, 1 Agustus 1962 itu tidak bisa diniatkan sebagaimana yang terjadi pada Ammar bin Yassir. Guna mengetahui perbedaannya, baiknya lihat dulu cuplikan tarikh mengenai Ammar bin Yassir dikemukakan di bawah ini :

“Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan kepadanya : “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami !”, lalu diajarkan kepadanya kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.

Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya…, maka hilanglah akalnya dan terbayanglah di ruang matanya betapa besar kesalahan yang dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi…, hingga beberapa saat dirasakannya siksaan orang-orang musyrik terhadap dirinya sebagai obat pembalur luka dan suatu kenikmatan juga…! Dan seandainya ia dibiarkan dalam perasaan itu agak beberapa jam saja, tak dapat tiada tentulah akan membawa ajalnya…

‘Ammar dapat bertahan menangguhkan siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, ialah karena jiwa yang sedang berada pada kondisi puncak. Tetapi sekarang ini, demi disangkanya jiwanya telah menyerah kalah, maka duka cita dan sesal kecewa hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya…

Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung Lagi Maha TInggi telah memutuskan agar peristiwa yang mengharukan itu mencapai titik kesudahan yang amat luhur…, Dan tangan wahyu yang penuh berkah itu pun terulurlah menjabat tangan ‘Ammar, sambil menyampaikan ucapan selamat kepadanya : “Bangunlah hai pahlawan …! Tak ada sesalan atasmu dan tak ada cacat…!”

Ketika Rasul SAW menemui sahabatnya itu didapatinya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya sabdanya :

“Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu kedalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu…?”

“Benar”, wahai Rasul”, ujar “Ammar sambil meratap. Maka sabda Rasul sambil tersenyum : “Jika mereka memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi…!”

Lalu dibacakan Rasul SAW kepadanya ayat mulia berikut ini :

“Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan..” (Q.S. An Nahl : 106).

Kembalilah ‘Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi, terjadilah dan ia tidak akan peduli. Jiwanya berbahagia, keimanannya di pihak yang menang ! Ucapannya yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al-Qur’an, maka apa lagi yang akan dirisaukannya…? ‘Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maha kukuh…!” (Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, halaman 250-251 cetakan XII 1996. Penerbit CV. Diponegoro, Bandung.)

Perbedaannya…!!!

Adanya Ikrar Bersama 1 Agustus 1962 akibat dari pada pelakunya itu setelah menyerahkan diri dengan sengaja mendatangi musuh, yang akhirnya pihak musuh juga minta bukti hitam diatas putih kepada mereka supaya menandatangani pernyataan untuk dijadikan bukti sejarah. Tidak bedanya dengan sholat ashar kehabisan waktunya karena ia sengaja tidur pada waktu ashar sehingga jika bangunnya pada waktu maghrib, hal itu merupakan pelanggaran sebab didahului oleh kesengajaan.

Ammar bin Yassir tidak bisa disebut menyerahkan diri kepada musuh, karena tidak sengaja mendatangi pihak musuh melainkan dia ditangkap. Jadi, apa yang diucapkannya kepada musuh bisa disebut terpaksa (Q.S. 16 : 106). Dan penyiksaannya pun sudah betul-betul terjadi kepada dirinya. Kasus Ammar bin Yassir berbeda dengan kasus para mantan pimpinan / komandan TII yang sudah menyerah kepada musuh, seperti halnya dalam Ikrar Bersama yang sudah mereka tanda tangani. Ikrar Bersama, 1 Agustus 1962 tidak bisa di sebut keadaan terpaksa, sebab sudah didahului oleh perbuatan sengaja mendatangi musuh yang akibatnya musuh pun menyuruh menandatangani Ikrar Bersama. Apalagi bila hal itu tidak didahului oleh penyiksaan, hanya ditakut-takuti yang kenyataannya tidak terjadi. Sedang terhadap Amar bin Yassir sudah benar-benar terjadi.

Bisa saja akibat bila tidak menandatangani Ikrar Bersama 1 Agustus 1962 itu akan disiksa, tetapi yang menjadi penilaian hukum itu ialah penyebabnya bukan akibatnya. Walau akibatnya sama, penyebabnya berbeda. Yang dipertanggungjawabkan itu adalah dari hal penyebabnya, yaitu menyerahkan diri kepada musuh. Begitupun bagi yang mengikutinya akan sama dalam hal pertanggungjawabannya . (Q.S. 25 : 29).

Sebab itu sebagai patokan untuk diikuti supaya diri tidak terbawa sesat, harus berdasarkan hukum, bukan karena figur seseorang. Dan jangan mengikuti perasaan / nafsu yang senantiasa relatif (berbeda-beda), melainkan harus berpegang pada nilai hukum sehingga bisa dipertanggungjawabkan di Akhirat.